Kebakaran Hutan dan Lahan Indonesia Butuh Solusi Sistemik - Tinta Media

Kamis, 19 Oktober 2023

Kebakaran Hutan dan Lahan Indonesia Butuh Solusi Sistemik

Tinta Media - Musim kemarau dan El Nino menjadi pemicu kebakaran hutan dan lahan meningkat seperti yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Di Kalimantan Barat, yaitu tempat area PT. MTI Unit 1 Jelai (1.151 Ha), PT. CG 267 Ha, PT. SUM 168,2 Ha, dan PT. FWL 121,24 Ha. Tim pengawas dan Polisi Hutan Balai Gakkum KLHK Kawasan Kalimantan, sudah melakukan penyegelan empat tempat kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Semua itu dilakukan untuk menghentikan kebakaran hutan dan lahan.

Melalui data hotspot, Tim Gakkum KLHK terus mengawasi secara intensif tempat-tempat yang terindikasi adanya titik api. Rasio Ridho Sani Direktur Jendral Gakkum KLHK mengatakan, sudah memerintahkan semua kantor Balai Gakkum baik di Sumatera ataupun Kalimantan untuk terus mengawasi serta melakukan verifikasi lapangan dan penyelidikan atas terjadinya karhutla pada area  konsesi perusahaan ataupun tempat yang dikuasai oleh masyarakat.  


Oleh karena itu, menurut Rasio, instrumen penegak hukum yang menjadi kewenangan KLHK akan digunakan untuk menindak tegas kepada penanggung jawab usaha atau kegiatan atas terjadinya kebakaran hutan dan lahan, baik berupa sanksi administrasi sampai pencabutan izin, gugatan perdata berupa ganti rugi pemulihan lingkungan hidup ataupun penegakan hukum pidana.

Selain melakukan penyegelan kepada 4 tempat konsesi perusahaan yang terjadi kebakaran, juga dilakukan pemasangan papan larangan kegiatan dan garis PPLH, satu perusahaan dilakukan proses penyelidikan/pulbaket, dan satu perusahaan sudah direkomendasikan agar diberikan sanksi administrasi paksaan pemerintah melalui kepala daerah. 

Karena itu, Rasio menegaskan bahwa penyegelan ini harus menjadikan perhatian bagi perusahaan. Selain itu, perusahaan tempat terjadinya kebakaran dapat dikenakan sanksi administratif, termasuk pembekuan dan pencabutan izin, serta gugatan perdata terkait ganti rugi lingkungan hidup dan penegakan hukum pidana. 

Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi sekarang ini menyebabkan beberapa kota di Indonesia diselimuti kabut asap. Hal ini mengakibatkan meningkatnya kasus infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Dua negara tetangga Indonesia, Malaysia dan Singapura, juga merasa terganggu dan merasa dirugikan.

Dengan meluasnya karhutla, seharusnya pemerintah bisa melakukan evaluasi terhadap usaha penanganan yang ada. Apakah semua yang dilakukan pemerintah selama ini dalam mencegah dan mengatasi karhutla sudah efektif dan antisipatif? Pertanyaan itu muncul karena kejadian karhutla terus berulang. Hal itu menunjukkan bahwa upaya pencegahan dan penanganan karhutla masih minim dan belum berhasil.

Namun, semua permasalahan karhutla sebenarnya bukan hanya permasalahan teknis semata, tetapi sudah termasuk permasalahan sistemis. Karhutla merupakan salah satu dampak kapitalisasi hutan atas nama konsesi. 

Perusakan hutan besar-besaran dimulai sejak adanya UU 5/1967 tentang Ketentuan Pokok-Pokok  Kehutanan. Semenjak UU ini berlaku, penguasa dan konglomerat menjadi penentu dalam izin pengelolaan hutan. Izin konsesi hutan inilah yang menjadi faktor utama penyebab karhutla terus terjadi.

Demi kepentingan bisnis kaum kapitalis, pembukaan lahan gambut, termasuk deforestasi ini juga masih berlangsung. Sejak adanya UU yang berlaku, korporasi boleh membakar hutan dan lahan, meski dengan ketentuan dan syarat tertentu. Semua ini makin menegaskan bahwa peran negara tidak lebih sekadar regulator dan fasilitator  bagi kepentingan korporasi.

Dampak dari penerapan sistem kapitalisme yaitu pemberian izin konsesi hutan, alih fungsi lahan melalui pembukaan lahan gambut, sampai deforestasi. UU negara juga melegalisasi eksploitasi dan pemanfaatan hutan. Sungguh paket lengkap dalam upaya mendegradasi fungsi hutan menjadi ladang bisnis korporasi, padahal tugas negara adalah memenuhi kebutuhan rakyat, termasuk menjaga rakyat dari bahaya kebakaran hutan dan dampaknya.

Karena itu, selama pengelolaan hutan masih menggunakan konsep kapitalisme dan kebebasan kepemilikan masih menjadi dasar menguasai aset-aset strategis tanpa batas, maka karhutla dan perusakan hutan jangan harap bisa dihentikan.

Karhutla dapat teratasi secara tuntas jika negara menerapkan sistem Islam secara kaffah. Maka dari itu, tidak ada masalah yang tidak memiliki solusi, begitu pun karhutla.

Pengelolaan hutan dan pemanfaatannya berprinsip tidak ada kebebasan secara mutlak dalam Islam. Para individu wajib berada dalam sistem Islam. Individu boleh mempunyai lahan dengan syarat yang dibenarkan syariat. Lahan-lahan yang dimiliki harus dikelola dengan produktif dan tidak ditelantarkan lebih dari 3 tahun.

Jika lahan tersebut ditelantarkan lebih dari tiga tahun, lahan tersebut berstatus menjadi tanah mati. Lalu negara akan memberikan kepada orang yang lebih dulu menggarap dan menghidupkan tanah oahan itu. Pengelolaannya tidak boleh membakar atau cara apa pun yang dapat menghilangkan unsur hara dan merusak ekosistem.

Islam memerintahkan bahwa kepemilikan umum hanya dikelola oleh negara, lalu hasilnya diberikan sebagai hak rakyat. Salah satunya, hutan tidak boleh dikelola oleh swasta, individu, bahkan asing. Hal ini karena hutan berkepemilikam umum dan harus dikelola oleh negara.

Negara boleh melakukan konservasi hutan yang berupaya untuk melindungi hak-hak ekologi, serta SDA yang asli. Negara juga dapat memproteksi hutan untuk kawasan konversi. Ini dilakukan saat eksplorasi hutan berpotensi membahayakan dan menimbulkan bencana ekologis bagi masyarakat.

Dengan penjelasan di atas, saat sistem Islam diterapkan, negara akan menjalankan fungsinya sebagaimana semestinya, yaitu sebagai raa'in (mengurusi seluruh urusan rakyat). Maka, tidak akan ada ekploitasi hutan secara ugal-ugalan. Wallahu a'lam bish shawab.

Oleh: Aning Juningsih (Aktivitas Muslimah)

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :