Tinta Media - Ekonom dari Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPD) Dr. Fahrur Ulum, M.E.I menilai kebutuhan beras Indonesia lebih banyak dipenuhi oleh impor dibanding produksi sendiri.
“Kebutuhan beras Indonesia lebih banyak dipenuhi dari impor dari pada produksi sendiri. Kondisi el nino dituding sebagai penyebab turunnya produksi dalam negeri,” ujarnya di Kabar Petang: Beras Dari Cina Berbahaya? di kanal Youtube Khilafah News, Kamis (5/10/2023).
Ia menerangkan, konsumsi beras penduduk Indonesia berkisar 35,3 juta ton per tahun sementara produksi beras dalam negeri makin tahun makin menurun. Kebutuhan beras yang cukup tinggi ini secara logika ekonomi memang mengharuskan adanya impor.
“Impor beras bukan lagi sebagai suplemen tapi sudah menjadi penopang utama untuk memenuhi kebutuhan. Lihat saja pada tahun-tahun sebelumnya, kita sudah impor ke Thailand sebesar 50 persen dari kebutuhan, Vietnam 42 persen, India 5 persen, dan Pakistan 3 persen,” bebernya.
Pada akhir tahun 2023, ucapnya, Indonesia masih akan impor beras yang diperkirakan sekitar 1 juta ton dari Cina dan akan berlanjut di tahun 2024 masih tetap akan impor 1 juta ton lagi dari Cina.
Oleh karena itu, ia berkesimpulan, bahwa Indonesia sudah menjadi net importer beras karena lebih banyak ditopang oleh impor dari pada produksi beras sendiri untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
“Persoalan impor beras ini kalau dilihat dari sudut pandang ekonomi kapitalis wajar, karena kebutuhan melebihi produksi. Amanat dari Undang-Undang mengharuskan ada 1,2 juta ton setiap saat. Nah sekarang sudah mulai menipis, kurang dari 1,6 juta ton yang ada di cadangan beras pemerintah. Karena cadangan beras menipis, produksi terus turun mau tidak mau harus impor. Ini logika ekonomi,” ulasnya.
Meski demikian, Fahrur mengkritik, persoalannya tidak sekedar transaksional seperti itu, karena beras merupakan kebutuhan pokok.
“Harus ada upaya lebih maksimal dengan mengerahkan semua komponen bangsa, komponen masyarakat, para ahli di bidang pertanian dan sebagainya untuk duduk bersama membicarakan agar dalam jangka panjang tidak menjadi ketergantungan,” sarannya.
Terlebih, ia menerangkan, Indonesia adalah negeri agraris di mana sumber daya produksi beras itu potensinya tinggi, masyarakat yang tinggal di pedesaan banyak, wilayahnya subur, kenapa harus jatuh kepada perangkap ekonomi ansich yaitu ekspor impor.
Koordinasi
Fahrur menganalisa, yang menjadi permasalahan adalah belum adanya koordinasi yang cukup solid dari semua elemen untuk menciptakan ketahanan pangan.
“Tata ruang tanah di Indonesia harus diperbaiki kembali, mempertahankan kontur tekstur lahan pertanian, melakukan intensifikasi, dan pengembangan lahan serta peningkatan teknologi,” ujarnya.
Selain itu, ia juga mengingatkan agar tidak memberi kemudahan pada investor untuk masuk yang kemudian akan membabat habis lahan-lahan pertanian.
“Semua itu bisa dilakukan jika negara mempunyai goodwill atau keinginan yang baik untuk menjadikan negaranya swasembada pangan. Saya yakin bisa. Persoalannya mau atau tidak?” pungkasnya.[] Irianti Aminatun