Tinta Media - Pemerintah Kabupaten Bandung melalui dinas pariwisata dan kebudayaan, mengungkapkan bahwa hingga saat ini telah dibentuk 38 desa wisata yang digali potensinya serta keunggulan alamnya untuk menarik wisatawan mancanegara maupun lokal.
Setiap desa wisata tersebut mempunyai potensi yang beraneka ragam dengan keindahan alamnya yang dipandang dapat mendongkrak perekonomian kreatif agar bisa eksis dan berkembang.
Dalam upaya mengembangkan desa wisata ini, Dinas Pendapatan Daerah mengatakan bahwa pihaknya harus melibatkan pihak akademisi agar mampu meningkatkan perekonomian di daerah desa wisata tersebut.
Pembangunan desa wisata diupayakan oleh pemerintah daerah untuk mendapatkan keuntungan bagi daerah setempat agar dapat menutupi anggaran pendapatan belanja daerah. Sayangnya, semua itu hanya sebatas pemikiran bagaimana memberikan suguhan yang dapat memikat dan menarik para wisatawan mancanegara maupun lokal untuk berkunjung ke desa wisata tersebut, tanpa memperhatikan bagaimana dampak buruk yang mungkin dapat muncul.
Ada hal yang tidak dapat dihindari, misalnya kerusakan lingkungan, seperti terganggunya ekosistem maupun habitat tempat hidup. Kemaksiatan yang berbalut hiburan, semisal hadirnya tempat-tempat hiburan malam yang menyediakan berbagai fasilitas, mulai dari minuman beralkohol, pornoaksi, perjudian, hingga prostitusi, memang telah menjadi hal biasa terdapat di area wisata.
Hal tersebut akan menciptakan arus kebebasan yang semakin deras, yaitu masuknya budaya asing tanpa disaring. Selain itu, bisa Hal tersebut juga memengaruhi masyarakat lokal, hingga mengubah tatanan kehidupan, dari desa yang menjunjung nilai-nilai moral dan sosial yang tinggi, menjadi penuh dengan gaya hidup hedonis materialistis.
Inilah buah dari penerapan sistem sekularisme kapitalisme saat ini yang hanya memikirkan asas manfaat semata. Lingkungan pun dijadikan bahan eksploitasi untuk memperoleh keuntungan ekonomi, bahkan mencampakkan dampak buruk yang akan terjadi pada kemaslahatan umat.
Berbeda dengan sistem Islam yang melakukan pembangunan dan pengembangan desa semata hanya untuk melakukan pengaturan urusan rakyat secara maksimal. Kalau pun ada desa yang dijadikan sebagai objek wisata, akan dikembangkan oleh pemimpin sebagai sarana dakwah, dalam membentuk dan menguatkan keimanan dan ketakwaan rakyatnya, tidak ada unsur bisnis sedikit pun.
Desa wisata dengan potensinya yang sangat beragam, seperti pantai, pegunungan, air terjun, dan lain sebagainya, dijadikan sebagai sarana untuk memahami keberadaan Allah Swt. sebagai Sang Pencipta, yaitu sebagai sarana untuk bertaqarub kepada Allah.
Begitu pun dengan berbagai peninggalan sejarah peradaban Islam yang akan menjadi sarana dalam memahami bagaimana penerapan sistem Islam kaffah diterapkan di masa lalu oleh sebuah negara.
Dengan demikian, pariwisata tidak dijadikan sebagai sumber pemasukan kas negara, karena
negara dalam Islam telah mempunyai sumber-sumber pemasukan kas negara yang tetap, melalui pos pos, di antaranya: zakat, jizyah, kharaj, fa'i, gonnimah, dan hasil sumber daya alam yang merupakan kepemilikan umum.
Semua pos tersebut, mempunyai kontribusi besar dalam membiayai perekonomian negara, sehingga menjadikan negara mandiri tanpa harus menzalimi rakyat seperti yang terjadi saat ini.
Oleh: Yuli Ummu Shabira
Sahabat Tinta Media