Tinta Media - Kasus bullying anak yang beberapa hari ini tengah viral dan meresahkan masyarakat, khususnya orang tua sebenarnya merupakan fenomena gunung es yang harus menjadi perhatian serius oleh semua pihak. Bullying adalah segala bentuk penindasan atau kekerasan, yang dilakukan secara sengaja oleh satu orang atau kelompok yang lebih kuat. Tujuan dari bullying ini untuk menyakiti orang lain dan dilakukan terus menerus.
Masyarakat dihebohkan oleh kekerasan di kalangan anak SMP di Cilacap, Jawa Tengah. Kasus perundungan itu viral lewat video di media sosial. Setelah menangkap pelaku, polisi mengungkap motif penganiayaan siswa SMP di Cilacap tersebut. Dari hasil penyidikan pihak kepolisian, terungkap bahwa motifnya adalah saat korban mengaku menjadi anggota kelompok Barisan Siswa (Basis). Padahal dia bukan sebagai anggota kelompok ini. Ini sebenarnya masalah sepele dan bisa diselesaikan dengan baik, namun kenapa harus terjadi tindak kekerasan ?
Sebenarnya berbagai kasus kriminalitas yang melibatkan siswa atau remaja membuat hati miris. Sebab kriminalitas di kalangan remaja sudah sampai kasus pembunuhan yang tak terbayang sebelumnya. Berbagai kasus pembunuhan berantai juga kerap dilakukan oleh seorang remaja, khususnya siswa. Sebagai contoh adalah kematian akibat tawuran karena terkena senjata tajam. Menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja adalah bentuk kriminal.
Kriminalitas di kalangan pelajar ini mengkonfirmasi bahwa generasi muda bangsa ini telah kehilangan adab (loss of adab). Jika generasi bangsa mengalami krisis adab, maka rusaklah peradaban bangsa tersebut. Apalah artinya sebuah bangsa yang maju secara ekonomi dan sains, jika generasi mudanya justru amoral.
Bullying merupakan masalah serius yang dapat terjadi di berbagai lingkungan, termasuk di lembaga pendidikan. Ada beberapa faktor penyebab bullying di lembaga pendidikan. Adanya perbedaan yang disikapi secara berlebihan bisa menyebabkan terjadinya perundungan. Perbedaan itu bisa berbasis gender, orientasi seksual, ras, kelompok, organisasi, agama, atau kecacatan fisik dapat memicu tindakan bullying. Kasus bullying di Cilacap disebabkan oleh perbedaan kelompok atau dipicu oleh ikatan kelompok.
Sesungguhnya siswa setingkat SMP atau SMA belum memiliki kesadaran, kedewaan dan pemahaman akan bahaya perundungan. Kecenderungan mereka adalah mengikuti nafsu dan keinginan, tanpa memikirkan akibat yang akan ditimbulkan. Kurangnya pemahaman tentang dampak buruk bullying dan cara mengatasi masalah ini dapat menyebabkan terus berlangsungnya perilaku bullying.
Minimnya proses pendampingan dari orang tua di rumah dan atau guru di sekolah juga bisa menyebabkan seorang siswa merasa bebas untuk melakukan apapun yang diinginkan. Ketidaktahuan atau ketidakhadiran staf pengawas dapat memberikan kesempatan bagi pelaku bullying untuk beroperasi tanpa hambatan. Grup tekanan teman sebaya (peer pressure) bisa memicu tindakan bullying agar pelaku bisa merasa diterima atau kuat di antara teman-temannya.
Lebih dari itu, perilaku bullying juga bisa dipicu oleh psikologi abnormal dengan berbagai tingkatannya. Pengendalian psikologi yang lemah karena faktor usia sangat mungkin akan melahirkan berbagai perilaku negatif. Sering kali, pelaku bullying memiliki masalah psikologis atau emosional yang tidak diatasi, yang mendorong mereka untuk melakukan tindakan agresi.
Sekolah harus melibatkan siswa, guru, dan orang tua dalam program pendidikan yang menyoroti dampak buruk bullying dan cara menghentikannya. Sekolah sebaiknya memiliki kebijakan anti-bullying yang jelas dan memberlakukan konsekuensi serius bagi pelaku bullying. Mengajarkan siswa tentang empati, keterbukaan, dan penghargaan terhadap keberagaman dapat mengurangi ketidakpedulian yang bisa mendorong tindakan bullying.
Sekolah harus memiliki sistem pengawasan yang efektif dan memberikan pelatihan kepada staf untuk mengidentifikasi tanda-tanda bullying serta melakukan intervensi secepat mungkin. Khusus masalah psikologi abnormal, sekolah harus menyediakan layanan konseling dan dukungan psikologis bagi pelaku bullying dan korban dapat membantu mengatasi akar masalah yang mendorong perilaku tersebut.
Orang tua juga harus dilibatkan dalam upaya pencegahan dengan mengajari anak-anak tentang pentingnya menghormati orang lain dan melaporkan tindakan bullying. Sementara sekolah bisa memberikan pelatihan kepada guru dan staf sekolah tentang cara mengelola situasi bullying, memahami tanda-tanda, dan merespons dengan tepat.
Melalui organisasi sekolah, pihak sekolah bisa mengadakan kampanye di sekolah untuk meningkatkan kesadaran dan menggalang dukungan dari siswa, guru, dan orang tua. Sekolah dapat bekerja sama dengan organisasi dan lembaga di masyarakat untuk meningkatkan kesadaran tentang masalah bullying dan mendapatkan dukungan dalam upaya pencegahan.
Melakukan pemantauan terus-menerus dan berkelanjutan tentang kejadian bullying dan mengevaluasi keefektifan program pencegahan yang diimplementasikan untuk membuat perbaikan jika diperlukan. Pencegahan bullying memerlukan upaya bersama dari seluruh komunitas sekolah, termasuk siswa, guru, staf sekolah, dan orang tua. Dengan pendekatan holistik dan kerja sama yang baik, sekolah dapat menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi semua siswa agar memiliki moralitas atau adab mulia.
Ketika seorang siswa telah kehilangan adab, maka akan menjadi pribadi yang tidak beradab, atau bahasa kasarnya biadab. Perkembangan anak bermula dari pendidikan keluarga, maka penerapan nilai-nilai kebajikan akan menjadi pengalaman anggota keluarga. Pertumbuhan kepribadian orang tua dan anak sangat bergantung kepada pengalamannya dalam keluarga. Sikap dan pandangan hidup orang tuanya, sopan santun mereka dalam pergaulan, baik dengan anggota keluarga, maupun dengan tetangga, atau masyarakat pada umumnya akan diserap oleh anak dalam pribadinya.
Demikian pula sikap mereka pada agama, ketekunan menjalankan ibadah dan kepatuhan terhadap ketentuan agama, serta pelaksanaan nilai-nilai agama dalam kehidupannya sehari-hari, juga akan menjadi faktor pembinaan bagi anak secara langsung maupun tidak langsung.
Nilai-nilai religius akan menjadi pilar bagi paradigma berkeluarga. Berkeluarga dalam perspektif paradigma religius akan melahirkan sebuah visi kemuliaan. Segala permasalahan dipandang dalam konteks yang positif. Sebab paradigma religius, berkeluarga bukan sekedar ikatan sosial, melainkan sebagai bagian dari ibadah.
Setelah keluarga, maka anak akan bergaul di tengah masyarakat dalam arti luas. Semisal hilangnya berbagai kebajikan di masyarakat akan bisa memicu perilaku menyimpang pada anak. Berbagai tayangan media yang tidak diseleksi oleh pemerintah, khususnya media online juga memberikan kontribusi signifikan bagi tumbuh kembang anak.
Gaya hidup yang tidak lagi mengindahkan nilai-nilai agama ditayang secara masif oleh media televisi dan media sosial akan memberikan pengaruh terhadap generasi muda. Teknologi itu memiliki dua sisi mata pisau. Lebih luas lagi loss of adab terjadi karena perkembangan sains dan teknologi yang tidak ditopang oleh paradigma agama. Karena itu pencegahan kasus perundungan harus bersifat sistematis, komprehensif dan berkelanjutan.
(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 02/10/23 : 09.00 WIB)
Oleh: Dr. Ahmad Sastra
(Ketua Forum Doktor Peduli Bangsa)