Tinta Media - Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama, Prof. Dr. Kamaruddin Amin menyampaikan, kasus perceraian di Indonesia yang meningkat tinggi, melahirkan 516 ribu duda dan janda setiap tahun di Indonesia. Sementara angka pernikahan justru mengalami penurunan dari 2 juta menjadi 1,8 juta peristiwa nikah setiap tahun
(khazanah.republika.co.id 21/09/2023)
Selain faktor kemiskinan ekstrem telah berdampak luas pada kondisi sosial, faktor penyebab meningkatnya perceraian beraneka ragam. Di Karawang misalnya, tercatat 3.070 perkara perceraian. Juru bicara Pengadilan Agama Kelas 1 Karawang, Hakim Asep Syuyuti, mengungkapkan bahwa kasus perceraian semakin meningkat, dengan salah satu faktornya adalah kecanduan judi online. (garut.pikiran-rakyat.com)
Berbeda lagi di Aceh, ada kasus perceraian bukan karena persoalan ekonomi atau Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT, melainkan karena si suami seorang penyuka sesama jenis atau homoseksual.
Sebagaimana diungkapkan Kepala Kanwil Kementerian Agama atau Kakanwil Kemenag Aceh, Drs. Azhari saat bersilaturahmi ke Kantor Serambi Indonesia,.
(aceh.tribunnews.com/2023/08/25)
Tingginya angka perceraian di Indonesia seolah menjadi indikator menurunnya kualitas kehidupan keluarga, akibat agama tidak lagi menjadi landasan dalam menjalani kehidupan pernikahan, sebab sejatinya kehidupan pernikahan tidak hanya berorientasi duniawi atau sebatas memiliki keturunan, akan tetapi untuk meraih kebahagiaan hingga akhirat.
Berawal dari pandangan kapitalisme dalam mendefinisikan manusia sebagai homo economicus atau makhluk ekonomi sehingga tujuannya sebatas materialisme dan menafikkan aspek spiritual-ruhani.
Faktor ekonomi adalah faktor tunggal yang menentukan nasib manusia. Namun pada sisi lain, ekonomi kapitalisme hanya berpihak pada para pemilik modal melakukan komersialisasi di segala bidang.
Bersandar dengan konsep sekularisme yang senantiasa berpendirian bahwa paham agama tidak boleh dimasukkan ke dalam urusan politik, negara, atau institusi publik lainnya. Kapitalisme seperti pabrik besar yang telah memproduksi berbagai problem moralitas manusia.
Di buai konsep kebebasan ala kapitalisme sekuler, lahirlah manusia-manusia individualis, materialistis dan cacat pemikiran. Dampaknya menimbulkan berbagai kerusakan dalam tatanan sosial termasuk di dalamnya melemahkan ketahanan rumah tangga.
Dari semangat sekularisme yang hanya memahami agama hanya setengah-setengah, banyak orang gagal paham akan tujuan kehidupan, bahkan hingga muncul pemikiran bahwa pernikahan hanya sebatas tempat penyalur syahwat, yang penting tidak zina.
Ungkapan seperti itu tidak sepenuhnya salah, sebab salah satu anugerah dari Allah SWT adalah naluri melestarikan keturunan (gharizatun nau’). Dan Allah juga yang memberikan aturan-Nya tentang bagaimana pemenuhan terhadap gharizah nau’ ini agar terhindar dari perbuatan maksiat, yaitu dengan menikah.
Namun tanpa mengabaikan tujuan pernikahan, yang tidak kalah penting yaitu sebagai penyempurna agama.
Sehingga mengabaikan urgensi ilmu, yang harus dimiliki sebelum menikah, seperti adanya persiapan yang matang mulai dari persiapan ilmu (tsaqofah), emosional, jasmani hingga finansial, bisa jadi boomerang setelah menikah.
Sebab menyatukan dua kepala untuk memiliki satu visi dan misi yang sama, tidaklah mudah dan tidak lahir dengan sendirinya. Tentunya harus diupayakan oleh seluruh anggota keluarga. Dan tanpa adanya aturan agama yang menjadi landasan pernikahan, maka rapuhlah bangunan rumah tangga tersebut.
Misalnya pada realitas hari ini, marak terjadi KDRT akibat banyak orang kesulitan mengontrol emosinya terhadap pasangan. Padahal hanya keteguhan imanlah yang akan membuat seseorang bisa menguasai emosinya dalam setiap kejadian dengan izin Allah SWT. Sebab dengan iman yang teguh, semua qadha dan qadar akan diterima dengan ridha.
Selain itu akibat memahami agama hanya setengah muncullah ketidakseimbangan tuntutan, tiap pihak hanya menuntut hak-haknya, namun di sisi lain mengabaikan tanggung jawabnya. Hal-hal inilah yang menjadikan rumah tangga penuh risiko dan siap "meledak" kapan pun.
Di dalam Islam seorang suami adalah kepala keluarga dan kewajiban bagi suami untuk memberi nafkah, dan yang dipahami masyarakat luas saat ini hanya itu. Padahal ada lagi kewajiban penting yang banyak dilalaikan oleh para suami, yaitu mendidik dan mengajarkan perkara agama kepada istrinya. Sebab tugas utama suami adalah menjauhkan keluarganya dari api neraka (QS. At-Tahriim: 6).
Apabila suami tidak mampu mengajarkan agama kepada istri, maka suami harus mencarikan guru yang bisa mengajarkan istrinya perkara agama atau dengan suami memberikan izin istrinya untuk menghadiri majelis ilmu (pengajian) sehingga istrinya bisa belajar perkara agama.
Demikian juga istri, selain bertugas melayani suami, dan taat pada suami, ia pun seorang ibu dari anak-anak, yang berkewajiban dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya dengan baik sesuai syariat, sebab ibu adalah madrasah bagi anak-anaknya dengan demikian akan lahirlah generasi shalih yang kelak akan menjadi penolong bagi orang tuanya di akherat.
Semua aturan- aturan tentang hak dan kewajiban, dalam rumah tangga tersebut diatur sedemikian apik dalam Islam, jelas dan terperinci sesuai perannya masing-masing. Untuk mengetahuinya manusia hanya butuh belajar, mendalami Islam dengan pembinaan yang berkelanjutan.
Sedangkan tugas negara adalah menyelesaikan masalah kemiskinan yang mengakar, sekaligus menjadi alasan utama banyaknya perceraian, dengan menerapkan sistem ekonomi Islam sehingga mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia.
Selain itu, negara juga wajib melindungi rakyatnya, dengan menjauhkan rakyatnya dari paham-paham yang merusak, menutup akses perjudian, tidak memberi ruang bagi pelaku L6BT apalagi sampai membiarkan kaum Luth tersebut mengekspos diri di ruang publik, sebab itu sama saja dengan mensosialisasikan paham seks menyimpang untuk dikonsumsi rakyatnya. Dan semua itu wajib dilakukan negara atas dasar ketakwaan, serta rasa takut kepada Allah SWT.
Jadi dari semua ini, bisa diketahui bahwa sebab utama tingginya kasus perceraian, berakar dari salahnya sistem yang diterapkan saat ini, yang menjauhkan agama dari kehidupan. Maka solusinya adalah mengganti sistem saat ini, dengan sistem yang jauh lebih baik yaitu sistem islam kaffah.
Sebab sistem Islam berlandaskan aqidah Islam bersandar pada Al-Qur'an dan Sunnah, dengan aturan- aturannya yang lengkap akan menjadi solusi tepat dalam memperbaiki semua kerusakan yang terjadi hari ini, termasuk di dalamnya, akan mampu mengokohkan bangunan rumah tangga hingga mencapai dengan tujuannya, yakni kebahagiaan dunia hingga akhirat.
Dan yang paling penting nilai Islam tersebut bukanlah semata-mata hanya untuk kehidupan muslim saja, tetapi seluruh makhluk hidup di muka bumi.
Wallahu 'alam.
Oleh: Indri Wulan Pertiwi
Aktivis Muslimah Semarang