Tinta Media - Sekretaris Badan Koordinasi Lembaga Dakwah Kampus (BKLDK) wilayah Riau Teddy Panggabean mengungkapkan, tindakan represif aparat dan ultimatum pengosongan Pulau Rempang oleh pemerintah adalah perbuatan zalim dan berbahaya.
"Menurut syariat Islam, dan Peraturan Perundang-undangan
di Republik Indonesia dan prinsip Free Prior and Informant Consent (
FPIC), tindakan represif aparat dan ultimatum pengosongan Pulau
Rempang khususnya di wilayah 16 kampung tua oleh pemerintah adalah perbuatan
zalim dan berbahaya," ujarnya saat menyampaikan salah satu poin pernyataan
sikap dalam Aksi Damai Bela Rempang, Sabtu (23/9/2023) di kanal Youtube Dakwah
Riau.
Dalam pernyataannya, ia mengungkapkan, berdasarkan
bukti-bukti historis dan empiris di lapangan, penduduk Melayu Rempang bukanlah
pendatang, akan tetapi mereka adalah penduduk asli yang telah
menempati wilayah tersebut sejak tahun 1719.
"Mereka juga memberikan kontribusi terhadap
Negara Republik Indonesia ini dengan ikut berjuang dalam perang Riau satu dan
juga perang Riau dua," terangnya.
Seandainya penduduk Rempang hari ini, sambungnya, belum
mempunyai sertifikat atas lahan tanah dan pekarangan maka itu adalah kelalaian
daripada negara atas ketidakpedulian pemerintah terhadap urusan rakyatnya.
“Seandainya mereka berada dalam kawasan hutan, maka bukankah
jutaan hektar kelapa sawit ilegal dan kawasan hutan akan diputihkan oleh
pemerintah dengan alasan keterlanjuran," tegasnya.
Terakhir Teddy menegaskan, menolak mega
proyek Rempang Eco City karena berpotensi mengorbankan kepentingan rakyat
khususnya masyarakat Pulau Rempang dan Galang.
“Menyerukan kepada seluruh masyarakat Melayu dan seluruh
rakyat Indonesia untuk merapatkan barisan bersatu menentang segala bentuk
neoimperialisme dan tidak membiarkan negara takluk pada oligarki,"
tutupnya.[] Muhammad Nur