Tinta Media - Ulama Aswaja KH. Rokhmat S. Labib ketika menafsirkan firman Allah, “Allah sekali-kali tidak akan menjadikan orang-orang kafir jalan untuk menguasai orang yang beriman,” mengatakan ayat ini menegaskan bahwa umat Islam tidak boleh memberikan jalan apa pun kepada orang kafir untuk menguasai orang-orang mukmin.
“Ayat ini menggunakan kalimat berita. Tetapi sebenarnya memberikan makna larangan (nafiul jawas), tidak boleh. Tidak boleh apa? Tidak boleh memberikan jalan kepada orang kafir untuk mengalahkan, untuk menguasai, untuk mendominasi orang-orang mukmin,” ujarnya dalam kajian Tafsir Al-Wa’ie: Merdeka dari Dominasi Kaum Kufur, di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn, Rabu (16/8/2023).
Kiai Labib menjelaskan, ayat 141 surat An-Nisa diatas itu adalah berupa kalimat berita. “Kalau kalimat berita itu pasti benar, tidak mungkin salah karena ini berita dari Allah Swt,’ yakinnya.
Kiai Labib menyesalkan, pada realitasnya umat Islam saat ini dikuasai oleh orang-orang kafir dalam bentuk penjajahan fisik seperti yang terjadi di Palestina atau penjajahan ekonomi seperti utang ribawi dan berbagai investasi batil. Padahal al-Qur’an itu tidak mungkin salah dalam memberitakan.
“Lantas bagaimana? Ada satu kaidah di dalam ushul fiqih yang menjelaskan kalau ada sebuah khobar atau berita lalu berita itu bertentangan dengan realitas, maka itu tidak boleh dipahami sebagai ‘adamul wujud, atau tidak ada. Tetapi harus dipahami sebagai ‘adamul jawas, tidak boleh. Bukan tidak ada tetapi tidak boleh. Artinya umat Islam tidak boleh memberikan berbagai jalan yang bisa menyebabkan orang kafir itu menguasai orang mukmin,” terangnya.
Di sisi lain, lanjutnya, kata sabil atau jalan yang terdapat pada ayat di atas, dalam beberapa kitab tafsir itu dimaknai sebagai al gholabah, artinya kemenangan. Misalnya dalam tafsir al-Tahrir wa al Tanwir karya Muhammad Al-Thahrir ibn Asyur, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan sabil adalah thoriqul wushuri Ilal mukmin bil haziimati wal gholabah, yaitu jalan untuk mencapai kepada orang mukmin kemenangan dan penguasaan. “Maksudnya adalah Allah tidak akan memberikan kemenangan kepada orang-orang kafir,” jelasnya.
Apa dasarnya? Kiai Labib lalu melanjutkan penjelasan tafsir di atas dengan mengatakan bahwa kalimat ini membutuhkan objek dengan kata ‘ala. Maka dalam ayat di atas disebutkan wa lay yaj'alallāhu lil-kāfirīna 'alal-mu`minīna. Nah ‘ala itu artinya di atas. Jadi Allah tidak memberikan jalan kepada orang kafir di atasnya orang mukmin. “Kata ‘ala ini yang kemudian memberikan makna al-gholabah atau kemenangan. Allah tidak akan memberikan kesempatan kemenangan bagi orang kafir untuk menguasai orang yang beriman,” ucapnya.
Dua Pendapat
Kiai Labib menjelaskan, ada dua pendapat mengenai makna penguasaan orang kafir terhadap orang mukmin.
“Pendapat yang pertama mengatakan bahwa Allah tidak akan memberikan kekuasaan kepada orang-orang kafir itu untuk menguasai orang yang beriman itu nanti di akhirat, sebagaimana penjelasan dari Imam al-Qurthubi bahwa maknanya adalah dzalika yaumul qiyamati, itu nanti di hari kiamat,” terangnya.
Penjelasan ini, ucapnya, seperti yang dikemukakan oleh Ali bin Abi Thalib ketika seorang laki-laki bertanya kepada Amirul Mukminin, “Bagaimana pendapatmu tentang firman Allah wa lay yaj'alallāhu lil-kāfirīna 'alal-mu`minīna sabīlā, Allah sekali-kali tidak akan menjadikan orang-orang kafir jalan untuk menguasai orang yang beriman. Bagaimana hal itu terjadi? Wahum yuqootiluunana wa yudhiruuna ‘alaina ahyaana, mereka orang-orang kafir itu memerangi kami dan kadang-kadang mereka bisa mengalahkan kami.” Kemudian Sayidana Ali berkata, “wa ma’na dzalika yaumul qiyamati, yaumul hukmi, maknanya adalah hari kiamat itulah hari keputusan.”
“Ibnu Abbas juga berpendapat bahwa itu adalah hari kiamat,” kata Kiai Labib menambahkan.
Kemudian, lanjutnya, pendapat yang kedua mengatakan bahwa maknanya adalah innallaha laa yaj'alu lahum sabilan yamkhu biha daulatal mukminin wa yud hibu asaarohum, dan sesungguhnya Allah tidak akan menjadikan untuk orang-orang kafir jalan kekuasaan yang bisa melenyapkan daulatul mukminin dan kemudian bisa melenyapkan jejak-jejak mereka.
“Maknanya mungkin umat Islam bisa dikalahkan oleh orang kafir, tetapi kekalahan itu tidak membuat umat Islam betul-betul tercabut atau hilang lenyap. Jadi masih ada yang kuat yang bisa bertahan yang suatu saat bisa jadi akan berbalik mengalahkan mereka,” urai Kiai Labib.
Dari dua pendapat diatas, jelasnya, sama-sama mengatakan bahwa orang-orang kafir pasti akan dikalahkan oleh orang mukmin. Hal tersebut diperkuat penjelasan bahwa pada ayat diatas ada kata lan. Lan disini artinya harfu nafi lil istiqbal, yaitu meniadakan.
“Yang ditiadakan itu adalah fi'il (pada kata yaj’alu), dimana fi'il untuk menunjukkan lil istiqbal atau waktu yang akan datang. Lalu sabila itu isim nakirah. Jadi kalimat peniadaan (lam nafi) yang kemudian diiringi dengan kata nakirah (sabil) itu memberikan makna umum yaitu semua jalan. Berarti kita umat Islam tidak boleh memberikan jalan apa pun yang membuat orang kafir menguasai, mengalahkan, apalagi mendominasi orang-orang mukmin,” simpulnya. []Langgeng Hidayat.