Tinta Media - Mengutip informasi dari website kantor berita yang
memberitakan terkait konflik agraria yang terjadi di Pulau Rempang, provinsi
Kepulauan Riau. Berkaitan dengan hal tersebut di atas saya akan memberikan
pendapat hukum (legal opini) sebagai berikut:
Pertama, Bahwa rencana investasi tidak akan dapat diproses
apabila tidak terdapat keputusan dari Pemerintah Pusat dalam hal ini
Kementerian Agraria untuk mengeluarkan SK Pelepasan Hutan Produksi Yang Dapat
Dikonversi (HPK) menjadi Areal Penggunaan Lain (APL), penerbitan Sertifikat
(Hak Pengelolaan) HPL kepada Badan Pengusahaan (BP) Batam, Kepulauan Riau;
Kedua, Bahwa apabila Surat Keputusan (SK) HPL tersebut
dikeluarkan dan diberikan kepada BP Batam, SK tersebut dikhawatirkan akan
menghidupkan kembali konsep domein verklaring (negaraisasi tanah). Prinsip
ini mengartikan bahwa tanah dianggap sebagai kepemilikan negara, yang pada
gilirannya memungkinkan pemerintah atau entitas yang berada di bawah
otoritasnya untuk mengambil dan mengusir masyarakat yang dianggap tidak
memiliki bukti kepemilikan. Dahulu Domein Verklaring dipraktikkan agrarische
besluit oleh Penjajah Belanda yang menyatakan bahwa barang siapa yang tidak
memiliki tanah atas hak eigendom, maka tanah tersebut akan menjadi milik negara;
Ketiga, Bahwa apabila ketentuan tersebut dipraktikkan
kembali akan berpotensi menjadi alat pemerintah untuk menguasai tanah di
Indonesia, yang pada akhirnya dapat merugikan masyarakat. Ini juga yang
kemudian membuat negara menguasai tanah seluruhnya, termasuk tanah-tanah
masyarakat adat yang tidak memiliki sertifikat/bukti kepemilikan atas tanahnya.
Hal ini lah yang akan menimbulkan persoalan struktural yang berimplikasi
kelirunya penerapan kebijakan atas suatu lahan. Ujungnya sudah dapat diduga,
bermunculan konflik agraria yang bersumber dari dominasi negara dan persoalan
struktural.
Demikian.
IG @chandrapurnairawan
Oleh: Chandra Purna Irawan, S.H., M.H. (Ketua LBH PELITA UMAT dan Mahasiswa Doktoral)