Dalam situasi panas kompetisi mengumpulkan
pendukung, Menteri Agama Yaqut Cholil mengeluarkan pernyataan yang
menimbulkan pertanyaan banyak pihak. Pak Menag memperingatkan masyarakat agar
tidak memilih capres dan cawapres yang menggunakan agama sebagai alat politik untuk
mendapatkan kekuasaan. Agama Islam adalah rahmat untuk semesta alam,
bukan hanya rahmat bagi umat Islam saja, katanya.
Pernyataan Menag ini mengandung pesan bahwa
agama Islam jika menyatu dengan politik akan menjadi sesuatu yang buruk, harus
dihindari. Pernyataan Menag juga menjadi bukti bahwa negara ini memang
sekuler, memisahkan agama dari kehidupan berpolitik.
Pencitraan negatif agama Islam dalam
politik asalnya datang dari Barat, dari kaum orientalis yang bertujuan untuk
menciptakan Islamofobia. Sungguh ironis kalau sekarang tuduhan itu keluar
dari mulut seorang menteri agama yang notabene seorang muslim.
Padahal kenyataannya politik sekularisme -
demokrasi yang digunakan saat inilah yang rusak, karena menerapkan prinsip
Machiavelli: Menghalalkan segala cara untuk meraih kekuasaan. Kegiatan
pencitraan peduli pada rakyat, blusukan ke pesantren dan pasar,
berpakaian bagai orang taat beragama, berfoto saat beribadah dan politik
uang atau bantuan adalah formula baku banyak politisi saat pemilu menjelang
agar dipilih kaum muslim.
Politik uang juga menjadi suatu hal yang
lumrah dilakukan menjelang pemilu. Seorang cawapres dan anggota legislatif
mengatakan bahwa bila seseorang dicalonkan untuk menjadi anggota legislatif
pusat butuh dana Rp 40 Milyar, untuk menjadi Bupati / Walikota butuh uang
Rp 30 Milyar dan Gubernur bisa mencapai Rp 100 Milyar, maka seorang calon
presiden harus menyediakan dana sampai trilyunan. Tentu biaya yang besar ini
tidak mungkin disediakan secara mandiri, pasti ada bantuan dari pihak
lain. Saking besarnya politik uang di negeri ini, menurut standar
internasional, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan politik uang
ke-3 terbesar di dunia. Bukan prestasi yang patut dibanggakan.
Mekanisme pemilu demokrasi sekuler seperti
itu dapat dipastikan hanya akan menghasilkan para eksekutif dan legislatif yang
setelah terpilih, sibuk mencari cara bagaimana mengembalikan modal daripada
bekerja memikirkan kesejahteraan rakyat. Jabatan dan kewenangan dimanfaatkan
untuk mengganti ongkos politik saat pemilu. Tidak ada rasa takut kepada Allah
SWT atas dosa perbuatan itu.
Berbeda dengan sistem Islam, politik dan
agama tidak dapat dipisahkan karena agama menjadi landasan pelaksanaan politik.
Islam bukan saja mengatur masalah spiritual tapi juga mengatur masalah urusan
duniawi seperti politik, ekonomi, sosial, pemerintahan dan
lain-lain. Orientasi politik Islam adalah mengurusi urusan umat dengan
menerapkan hukum-hukum Allah SWT dan menjadikan Islam sebagai Rahmatan lil
'alamiin.
Kegiatan politik dilakukan oleh umat
(rakyat) dan negara (Pemerintah). Pemerintah mengatur urusan rakyatnya
secara praktis dan rakyat mengontrol juga mengoreksi Pemerintah dalam melakukan
tugasnya. Kedaulatan membuat hukum ada pada Allah SWT.
Dalil-dalil syariah merupakan kontrol
terhadap aktivitas politik dalam Islam, seperti HR Bukhari yang berbunyi:
Seseorang yang ditetapkan Allah untuk mengurus kepentingan umat, tetapi
dia tidak memberikan nasihat kepada mereka, tidak akan mencium baunya
surga.
Atau HR Bukhari - Muslim yang berbunyi:
Tidaklah seorang hamba yang ditetapkan Allah untuk mengurus rakyat, lalu
ia mati dalam keadaan menipu mereka, kecuali Allah mengharamkan dirinya
masuk surga.
Dengan begitu, dalam Islam tidak ada
satu pun aktivitas seorang muslim yang dapat terpisah dari syariah agama.
Begitu pula dalam aktivitas politik. Tidak mungkin kekuasaan terpisah
dari agama, seperti pernyataan Ibnu Taimiyah, Jika kekuasaan terpisah
dari agama atau agama terpisah dari kekuasaan, niscaya perkataan manusia akan
rusak. Hanya dengan agama Islam pelaksanaan politik dapat terjaga dari
bermaksiat kepada Allah SWT.
Wallahu a'lam bish shawwab
Oleh: Wiwin
Sahabat Tinta Media