Penolakan MUI Bukan Solusi Tepat untuk Mengatasi Kasus L68T di Indonesia - Tinta Media

Senin, 04 September 2023

Penolakan MUI Bukan Solusi Tepat untuk Mengatasi Kasus L68T di Indonesia





Tinta media - Sabtu (22/7/2023) Bupati Bandung Dr. HM. Dadang Supriatna dalam Pembukaan Musyawarah Daerah (Musda) ke-9 MUI Kabupaten Bandung di Hotel Sutan Raja Soreang mengaku sependapat dengan ketua MUI provinsi Jawa Barat yang mengatakan bahwa Kabupaten Bandung menolak segala bentuk yang berkaitan dengan kegiatan maupun komunitas L68T (lesbian, gay, biseksual dan transgender).

“LGBT ini tidak sesuai dengan kaidah dan tidak sesuai dengan agama Islam,” ujar Bupati Bandung.

Dikutip dari bandungberita.com, Dadang Supriatna menegaskan bahwa keberadaan L68T tidak bisa dianggap sepele. 

“Saya minta ke depan, MUI pasca Musda ini untuk merumuskan dan membahas sama-sama dengan kami dan Kabag Hukum Pemkab Bandung untuk dibuatkan Perda larangan LGBT di Kabupaten Bandung. Ini merupakan salah satu fatwa MUI,” kata Bupati Bandung. 

Di Indonesia sendiri, kasus L68T memang sudah terindikasi tidak sedikit jumlahnya. Maka dari itu, penolakan MUI terkait hal ini adalah sikap yang memang seharusnya. Perlu diapresiasi pula saran dari Bupati Bandung mengenai dibuatkannya peraturan khusus terkait L68T. Sekadar pernyataan penolakan saja tidak mungkin begitu saja dapat menuntaskan kasus seperti ini.

Jika kita sadari, selama ini sikap MUI sering kali tidak didengar oleh masyarakat, bahkan oleh para penguasa jajaran pemerintahan. Buktinya saja, ketika MUI menyatakan penolakan terhadap kasus LGBT, tidak ada pihak dari pemerintah yang mengupayakan bentuk kontribusinya secara serius dalam menangani kasus ini. Itu semua terjadi karena sistem sekular-kapitalis yang tidak menjadikan agama sebagai tolak ukur.

 Keberadaan MUI dalam sistem kapitalis hanya dijadikan sebagai formalitas semata, tetapi tidak berpengaruh bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Justru negara lebih mengutamakan para pemilik modal (oligarki) sebagai acuan dalam bertindak. Maka, bukan hal yang aneh ketika mendapati bahwasanya saat ini hukum dapat diperjualbelikan. Keadilan tidak ditegakkan karena negara kapitalis hanya dijadikan sebagai alat oleh para oligarki untuk mencapai keinginan pribadi mereka, meskipun itu bertentangan dengan norma agama yang tercantum dalam rujukan MUI.

Meskipun MUI menolak keberadaan LGBT, tetapi itu tidak membawa perubahan yang besar, karena pada faktanya, perilaku LGBT dibiarkan tumbuh sumbur. Alih-alih bersikap menolak, justru negara memperlihatkan sikap abainya dan seolah mendukung prilaku tersebut ketika tidak melakukan upaya maksimal untuk memberantasnya. 

Padahal, seharusnya penolakan tersebut dibarengi dengan upaya-upaya pemberantasan perbuatan menyimpang tersebut, sekaligus para pelakunya. Maka dari itu, penolakan saja tidak cukup untuk menyelesaikan sebuah permasalahan yang besar, tapi juga diperlukan faktor lain agar dapat menyelesaikannya dengan tuntas.

Ironi, negeri ini dengan sistem kapitalisme dan penerapan sekulernya tidak mengurusi urusan rakyat secara keseluruhan. Sehingga, penanganan terhadap suatu masalah pun tidak sampai pada akarnya. 

Sekuler membuat penganutnya tidak menghubungkan agama dengan kehidupan. Jika didapati suatu permasalahan, negara sekuler tidak melihat solusi dari agama, melainkan dari akal mereka semata. Padahal jika diperhatikan, solusi yang dihasilkan dari sekulerisme ini belum pernah ada yang sampai bisa menuntaskan masalah secara sempurna, tetapi hanya sebagian saja. Bahkan, terkadang mereka sebenarnya tidak benar-benar membuat solusi, melainkan hanya menambah permasalahan yang baru. 

Pendapat MUI selama ini yang sesuai dengan hukum-hukum agama terkadang malah ditinggalkan. Pemerintah justru mengambil keputusan lain, padahal MUI sendiri adalah bagian dari struktur kenegaraan di negara Indonesia. 

Meskipun demikian, bukan berarti MUI tidak perlu untuk ikut andil terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi. Justru kedepannya, MUI harus lebih tegas lagi dalam mengambil keputusan, serta bermusyawarah dengan pemerintah agar tercipta hubungan yang baik di antara mereka, serta tidak terlihat seperti dua kubu yang berbeda.

Jika kita melihat dengan kacamata Islam, respon terhadap hal semacam ini tentu akan berbeda. Dalam Islam, asas penerapan aturan terdiri dari tiga pilar untuk menerapkannya, yaitu ketawaan individu, masyarakat yang peduli, dan negara yang menerapkan syariat. Ketiga pilar ini dapat menopang penerapan aturan secara sempurna. 

Pertama, ketakwaan individu yang lahir dari kesadaran individu membuat mereka tidak melakukan suatu perbuatan sekehendak hati. Mereka akan selalu menjadikan syariat sebagai tolak ukur dalam kehidupan. Dilandasi atas rasa takut kepada Allah jika melakukan suatu tindakan yang buruk atau melampaui batas, maka mereka akan selalu merasa diawasi oleh Allah dalam setiap perbuatannya. Dengan begitu, ketakwaan individu sangat berpengaruh terhadap perbuatan yang dilakukan masyarakat.

Kedua, yakni masyarakat yang peduli. Ketakwaan individu saja belum cukup untuk menjadikan masyarakat taat pada aturan syariat. Namun, diperlukan adanya lingkungan yang mendukung. Masyarakat yang peduli akan selalu ber-amar makruf nahi mungkar. Ketika ada kemaksiatan, maka masyarakat yang paham syariat akan menjadi pencegah tersebarnya kemaksiatan tersebut.

Ketiga, negara yang menerapkan syariat. Ketakwaan yang dihasilkan masyarakat pun belum cukup jika negara abai pada kondisi masyarakatnya. Negara Islam akan menjadi perisai masyarakat dari berbagai bentuk keburukan. Negara akan mengatur tatanan masyarakat pada seluruh aspek kehidupan sesuai dengan syariat. Ini karena di dalam negara Islam, yaitu khilafah, syariatlah yang menjadi tolak ukur dalam segala perbuatan.

Terkait hukuman terhadap pelaku LGBT, Islam akan memberikan hukuman tegas bagi para pelaku, yaitu dibunuh. 

Ini sebagaimana hadis dari Ibn 'Abbas ra. Rasulullah saw. bersabda,

"Siapa saja yang kalian dapati melakukan perbuatan kaumnya Nabi Luth, maka bunuhlah kedua pelakunya (HR At-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ibn Majah). 

Salah satu hikmah terkait sanksi yang diberikan dalam Islam adalah dapat mencegah tersebarnya kemaksiatan tersebut. Dari sini kita lihat bahwa Islam sangat menjaga kenyamanan, keamanan serta akidah umatnya. 

Dalam Islam, negara akan memberikan solusi berdasarkan syariat, bukan hasil pemikiran manusia. Syariat menjadi tolak ukur dalam seluruh aspek kehidupan, baik dari segmen terkecil, yaitu individu sampai segmen terbesar, yaitu sebuah negara. 

Saat Islam diterapkan di dunia selama kurang lebih 14 abad, tercipta masyarakat yang sejahtera karena masalah-masalah kehidupan dapat diatasi dengan baik. Namun, saat ini negara yang menerapkan syariat itu belum ada. Maka, tugas kita sebagai umat muslim adalah berjuang untuk menegakkan kembali kehidupan Islam. Wallahua'lam bisshawab.

Oleh: Isnaeni Nur Azizah, 
Sahabat Tinta Media

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :