Tinta Media - Narator Muslimah Media Center (MMC) memberikan penjelasan tentang pengelolaan hutan dalam pandangan syariat Islam yang akan membawa kebaikan bagi kehidupan manusia.
“Islam memiliki beberapa ketentuan khas tentang pengelolaan hutan yang jika diterapkan akan membawa kebaikan bagi kehidupan manusia,” ujarnya dalam All About Khilafah: Pengelolaan Hutan dalam Khilafah melalui kanal Youtube Muslimah Media Center, Rabu (20/09/2023).
Menurutnya, terdapat delapan paradigma dan tata kelola hutan menurut syariat Islam. Pertama, hutan termasuk dalam kepemilikan umum bukan kepemilikan individu atau negara.
Dikatakan bahwa syariah telah memecahkan masalah kepemilikan hutan dengan tepat yaitu hutan atau al-ghaabaat termasuk dalam kepemilikan umum. Ketentuan ini didasarkan pada hadits Nabi Saw, “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, dalam air, padang rumput gembalaan dan api ( HR Abu Daud, Ahmad, Ibnu Majah).
“Hadits ini menunjukkan bahwa tiga benda tersebut adalah milik umum karena sama-sama mempunyai sifat tertentu sebagai illat atau alasan penetapan hukum yakni menjadi hajat hidup orang banyak,” jelasnya.
Kedua, sebutnya, pengelolaan hutan hanya dilakukan oleh negara saja bukan oleh pihak lain misalnya swasta atau asing.
“Ada dua cara pemanfaatan kepemilikan umum. Pertama, untuk benda-benda milik umum yang mudah dimanfaatkan secara langsung seperti jalan umum, rakyat berhak memanfaatkannya secara langsung. Namun disyaratkan tidak boleh menimbulkan bahaya atau dhoror kepada orang lain dan tidak menghalangi hak orang lain untuk turut memanfaatkannya,” urainya.
Cara kedua, jelasnya, untuk benda-benda milik umum yang tidak mudah dimanfaatkan secara langsung serta membutuhkan keahlian sarana atau dana besar untuk memanfaatkannya, seperti tambang gas minyak dan emas, hanya negaralah sebagai wakil kaum muslimin yang berhak untuk mengelolanya.
“Atas dasar itu maka pengelolaan hutan menurut syariah hanya boleh dilakukan negara atau khilafah. Sebab pemanfaatan atau pengelolaan hutan tidak mudah dilakukan secara langsung oleh orang perorang serta membutuhkan keahlian sarana atau dana yang besar,” terangnya.
Hal tersebut, ucapnya, karena Rasulullah saw. bersabda, “Imam adalah ibarat penggembala dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya atau rakyatnya” (HR Muslim).
“Dikecualikan dalam hal ini pemanfaatan hutan yang mudah dilakukan secara langsung oleh individu, misalnya oleh masyarakat sekitar hutan dalam skala terbatas di bawah pengawasan negara. Misalnya pengambilan ranting-ranting kayu atau penebangan pohon dalam skala terbatas atau pemanfaatan hutan untuk berburu hewan liar, mengambil madu, rotan, buah-buahan dan air dalam hutan. Semua ini dibolehkan selama tidak menimbulkan bahaya dan tidak menghalangi hak orang lain untuk turut memanfaatkan hutan,” paparnya.
Ketiga, lanjutnya, pengelolaan hutan dari segi kebijakan politik dan keuangan bersifat sentralisasi. Sedangkan dari segi administratif adalah desentralisasi atau ditangani pemerintahan provinsi atau wilayah.
“Meskipun pengelolaan hutan menurut syariah adalah di tangan negara, tidak berarti semua urusan hutan ditangani oleh pemerintah pusat atau Khalifah. Hal-hal yang menyangkut kebijakan politik seperti pengangkatan Dirjen Kehutanan dan kebijakan keuangan atau maliyah ada di tangan Khalifah sebagai pemimpin pemerintah pusat,” imbuhnya.
Sedangkan hal-hal yang menyangkut administratif atau Al idariyah, ujarnya, ditangani oleh pemerintahan wilayah atau provinsi. Misalnya pengurusan surat-menyurat kepegawaian Dinas Kehutanan, pembayaran gaji pegawai kehutanan, pengurusan jual beli hasil hutan untuk dalam negeri dan sebagainya.
“Keempat, negara memasukkan segala pendapatan hasil hutan ke dalam baitul maal atau kas negara dan mendistribusikan dananya sesuai kemaslahatan rakyat dalam koridor hukum syariah. Segala pendapatan hasil hutan menjadi sumber pendapatan khas negara atau baitul maal dari sektor kepemilikan umum,” jelasnya.
Sedangkan distribusi hasil hutan, sambungnya, negara tidak terikat dengan satu cara tertentu yang baku. Negara boleh mendistribusikan hasil hutan dalam berbagai cara sepanjang untuk kemaslahatan rakyat dalam bingkai syariah Islam.
“Kelima, negara boleh melakukan kebijakan Hima atas hutan tertentu untuk suatu kepentingan khusus. Hima artinya kebijakan negara memanfaatkan suatu kepemilikan umum untuk suatu keperluan tertentu, misalnya untuk keperluan jihad fisabilillah,” terangnya.
Keenam, ucapnya, negara wajib melakukan pengawasan terhadap hutan dan pengelolaan hutan.
“Fungsi pengawasan operasional lapangan ini dijalankan oleh lembaga peradilan yaitu muhtasib atau qodhi hisbah yang tugas pokoknya adalah menjaga terpeliharanya hak-hak masyarakat secara umum. Yang termasuk pengelolaan hutan misalnya menangani kasus pencurian kayu hutan atau pembakaran dan perusakan hutan,” imbuhnya.
Ketujuh, jelasnya, negara wajib mencegah segala bahaya atau dhoror dan kerusakan atau fasad pada hutan.
“Ketentuan pokok ini mempunyai banyak sekali cabang peraturan teknis yang penting, antara lain negara wajib mengadopsi sains dan teknologi yang dapat menjaga kelestarian hutan, misalnya teknologi TPTI (tebang pilih tanam Indonesia),” ungkapnya.
Negara, ia melanjutkan, wajib juga melakukan konservasi hutan, menjaga keanekaragaman hayati atau biodiversity, melakukan penelitian kehutanan dan sebagainya.
“Kedelapan, negara berhak menjatuhkan sanksi takzir yang tegas kepada semua pihak yang merusak hutan. Orang yang melakukan pembalakan liar, pembakaran hutan, penebangan diluar batas yang dibolehkan dan segala macam pelanggaran lainnya terkait hutan wajib diberi sanksi takzir yang tegas oleh negara atau peradilan,” tegasnya.
Jenis dan kadar sanksi takzir, terangnya, dapat ditetapkan oleh khalifah dalam undang-undang atau ditetapkan oleh qadhi hisbah jika khalifah tidak mengadopsi suatu undang-undang takzir yang khusus.
“Demikianlah mekanisme Khilafah mengelola hutan yang tidak menimbulkan dharar dan justru dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh rakyat,” tutupnya. [] Langgeng Hidayat