Tinta Media - Penggusuran Warga Rempang yang secara turun temurun telah mewarisi tanah Rempang jauh sebelum NKRI ada, oleh pemerintah (BP Batam) yang mengklaimnya sebagai tanah negara, dinilai Jurnalis Joko Prasetyo (Om Joy) sebagai perbuatan zalim.
“Warganya turun temurun mewarisi tanah tersebut jauh sebelum NKRI ada. Jadi, sejatinya tanah itu tanah mereka. Terus tiba-tiba, pemerintah dalam hal ini BP Batam mengklaim itu tanah negara, lalu dengan seenaknya menggusur penduduk setempat, jelas itu perbuatan zalim, haram!” tutur Om Joy, panggilan akrab Joko Prasetyo kepada Tinta Media, Jumat (15/9/2023).
Lebih zalimnya lagi, lanjut Om Joy, ternyata tanah tersebut untuk diserahkan kepada swasta bahkan asing untuk mengelola harta kepemilikan umum (milkiyyah ammah). "Haram berkali-kali lipat itu!” tegasnya.
Menurutnya, negara boleh saja mengelola itu semua. “Yang tidak boleh itu menggusur tanah yang ada penghuninya,” ucapnya.
“Apalagi digusur untuk kepentingan swasta dan asing dalam rangka mengelola kepemilikan umum yakni tambang pasir kuarsa dan pasir silika di empat pulau tersebut (Pulau Rempang, Pulau Galang, Pulau Dabo, dan Pulau Singkep),” tambahnya menjelaskan.
Jadi, menurutnya, yang semestinya mengelola kepemilikan umum tersebut adalah negara. Tidak boleh diserahkan kepada swasta apalagi asing penjajah Muslim Uighur yakni negara Cina.
“Nah, ketika hendak mengelolanya, ternyata di atas tanah tersebut sudah bermukim warga setempat berkampung-kampung, maka diedukasi dan diminta kerelaannya untuk menjual ke negara dengan harga sesuai harga pasar untuk dijadikan harta kepemilikan umum,” jelasnya.
Kalau belum rela juga, Om Joy mengharamkan negara mengintimidasi/memaksa. “Negara harus tetap sabar mengedukasi hingga timbul kerelaan untuk menjualnya,” tuturnya.
Jika warga mau menjual, Om Joy memisalkan harga tanah Rp1 juta per meter. “Itu misal aja ya. Eh, ternyata di bawah tanah tersebut ada diposit pasir kuarsa (bahan baku kaca, baterai, dll) yang jumlahnya melimpah. Lalu negara mau menambangnya, membuat industri hilirisasinya, maka negara tetap membeli tanah itu seharga Rp1 juta per meter (sesuai harga pasar), tidak boleh memaksa membelinya di bawah harga tersebut,” terangnya.
“Warga setempat juga tidak boleh menjual dengan harga di atas harga pasar dengan alasan di tanah tersebut mengandung tambang pasir kuarsa (silika),” tambahnya.
Selain itu, mesti diperhatikan pula, meski tanah dan rumahnya dijual dengan harga pasar, bukan berarti semua beres. Harus dipastikan pula di tempat barunya nanti mereka bisa tetap mencari penghidupan sebagaimana sekarang ini atau bahkan bisa lebih baik lagi. Karena tugas negara memang begitu dalam Islam, menjamin sandang, pangan, papan, keamanan, kesehatan, pendidikan seluruh rakyatnya.
Menurutnya, itu karena meski bahan tambang tersebut berada di perut bumi dari tanah yang dimilikinya, tambang tersebut bukan miliknya. “Tetapi milkiyyah ammah (kepemilikan umum) berupa deposit tambang pasir kuarsa (silika) yang jumlahnya melimpah,” paparnya.
Situs Sejarah
Terkait situs sejarah, Om Joy meminta tidak dihancurkan. Menurutnya, situs tersebut merupakan peninggalan sejarah yang menunjukkan Islam itu masuk ke Pulau Rempang sudah ratusan tahun lalu jauh sebelum ada Republik Indonesia. “Jadi, harus diupayakan agar penambangan dan industri hilirisasinya tidak menggusur situs sejarah,” pintanya.
“Pasti bisalah bila ada keseriusan yang sungguh-sungguh untuk melestarikan situs sejarah,” lanjutnya.
Proyek Oligarki
Om Joy melihat ada indikasi rezim menjalankan proyek oligarki. “Ya tentu saja, jelas sekali kok, di situ ada swasta Indonesia yang diberi kewenangan oleh pemerintah untuk mengelolanya, kemudian swasta tersebut menggandeng perusahaan asal negara Cina untuk mengelolanya,” paparnya.
“Jadi, tentu saja penggusuran tersebut memang untuk kepentingan para oligarki,” tegasnya.
Itulah sebabnya menurut Om Joy, mengapa pemerintah bersikukuh melanjutkan PSN dengan menggusur situs sejarah pulau Rempang dan pemukiman warga kampung tua yang sudah tinggal ratusan tahun di sana. “Karena pemerintah menandatangani perjanjian dengan pihak yang akan mengelolanya bahwa Rempang harus sudah clean and clear untuk dibangun pertambangan dan industri hirilisasi pasir kuarsa dan pasir silika untuk bahan baku baterai dan kaca oleh perusahaan dari negara Cina,” ungkapnya.
Ia mengira penjajahan telah berakhir 78 tahun silam, ternyata semakin menjadi dengan istilah investasi. “Saya baru tahu keindahan dan kekayaan alam Sangihe, Wadas, dan Rempang itu ketika mendengar berita rakyat setempat melawan aparat negara Pancasila karena menolak tanah airnya diperkosa oligarki,” ucapnya.
Menjaga Kedaulatan Negara
Kalau menjaga kedaulatan negara dari intervensi asing dengan istilah investasi, Om Joy mengatakan itu tugasnya khalifah. Karena khalifah bertugas untuk menerapkan syariat Islam secara kaffah. “Nah, dalam pandangan Islam, tambang kuarsa dan tambang silika yang hasilnya melimpah, maka haram dikelola swasta apalagi asing, asing penjajah lagi, lebih haram lagi,” paparnya.
“Haram pula industri hilirisasinya dikelola selain oleh negara,” tegasnya.
Om Joy juga memisalkan edukasi yang bisa diberikan negara. “Negara bilang, 100 persen keuntungan dari tambang dan industri hilirisasi tersebut akan dikembalikan lagi kepada seluruh rakyat negara (bukan hanya di Pulau Rempang dan tiga pulau lainnya),” tuturnya memberikan gambaran.
Menurutnya, bentuknya bisa dibagi uangnya atau uangnya dialokasikan untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan. “Sehingga seluruh rakyat negara dapat mengakses pendidikan dan kesehatan sangat murah bahkan gratis,” jelasnya.
Edukasi tersebut menurutnya bukan janji kosong, tetapi memang begitulah Islam mengatur harta kepemilikan umum dan peruntukkannya. “Itu yang wajib dilakukan negara,” tegasnya.
Adapun yang boleh dilakukan negara ketika mengedukasi penduduk setempat adalah dijanjikan mendapat prioritas untuk bekerja di tambang dan industri tersebut tetapi tetap harus menempuh prosedur lulus training. “Bila belum lulus, boleh ditraining ulang, misalnya,” paparnya.
“Sehingga peluang penduduk setempat untuk diterima kerja lebih banyak lagi tanpa mengabaikan profesionalitas,” lanjutnya.
Ia menegaskan bahwa sekali lagi itu memang tugasnya khalifah. Maka, wajar bila presiden tidak mau mengurusi masalah ini, dengan mengatakan hal itu diurusi oleh Polri.
“Menurut saya, itu suatu kemajuan dari seorang presiden daripada sekadar bagi-bagi sertifikat tanah seperti yang selama ini dibanggakan dan viral di medsos. Yang sebenarnya, dalam sistem yang berlaku sekarang pun bagi-bagi sertifikat tanah itu hanyalah tugas seorang lurah, bukan presiden,” pungkasnya.[] Raras