Tinta Media - Jika kita perhatikan dengan seksama, cara-cara pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan lahan yang ada di Rempang yang kemudian berujung kerusuhan, sering kali proses pengambilalihannya tidak manusiawi dan terkesan secara kasat mata hanya mementingkan pihak korporasi. Hal ini sangat beralasan, mengapa? Karena pemerintah lebih menggunakan pendekatan kekuasaan daripada sisi kemanusiaan ketika menghadapi rakyat. Mereka melakukannya secara paksa, seolah yang dihadapi itu bukan rakyat atau bukan manusia, tetapi seperti barang yang mudah dipindah atau direlokasi.
Ini sangat berbeda perlakuannya ketika menghadapi oligarki atau pihak korporasi. Pemerintah seolah begitu tunduk dan patuh memenuhi titahnya untuk mengosongkan pulau Rempang sesuai tenggat waktu yang sudah ditetapkan, yakni hingga 28 September 2023 apa pun caranya.
Jelas sikap pemerintah ini semakin menunjukkan jati diri yang hakiki, yakni sebagai regulator yang hanya berpihak pada kepentingan korporasi, bukan melayani rakyat.
Kenapa bisa demikian? Hal ini dikarenakan penguasa sampai hari ini masih setia menerapkan sistem kapitalisme dalam mengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara sehingga dampaknya muncul ketidakadilan.
Akhirnya, dari sistem kapitalisme ini, rakyat jugalah yang menjadi korban proyek oligarki, sebab pembangunan yang dijalankan lebih berpihak kepada oligarki, bukan untuk melayani rakyat.
Keadilan Islam
Sebaliknya, pembangunan dalam Islam mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat sebagai wujud tanggung jawab negara sebagai ra’in atau pengurus rakyat. Hal ini karena Rasulullah saw. pernah bersabda dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari,
“Imam atau khalifah adalah ra’in atau pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.”
Berdasarkan hadis tersebut, negara Islam, yakni Khilafah harus hadir secara benar di tengah masyarakat sesuai dengan aturan Allah Swt.
Negara Khilafah juga harus hadir sebagai penanggung jawab seluruh urusan rakyat melalui penerapan syariat Islam secara kaffah pada seluruh aspek kehidupan. Ini karena fungsi dari pelaksanaan hukum syariat adalah mencegah timbulnya masalah dan konflik di tengah kehidupan manusia. Artinya, negara menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi dengan penyelesaian yang paling adil.
Status Kepemilikan Lahan
Pembangunan dalam Islam hanya ditujukan untuk kemaslahatan rakyat. Status lahan-lahan yang digunakan mengikuti konsep pengaturan tanah dalam Islam.
Islam menegaskan bahwa setiap lahan atau tanah sudah memiliki status kepemilikan yang ditetapkan oleh Allah Swt.
Terdapat tiga jenis kepemilikan lahan atau tanah di dalam Islam.
Pertama, tanah yang boleh dimiliki oleh individu, yaitu tanah pertanian atau ladang perkebunan.
Kedua, tanah yang merupakan kepemilikan umum, yaitu tanah yang di dalamnya terdapat harta milik umum, seperti hutan, tambang, dan infrastruktur umum lainnya.
Dalam Islam, pihak korporasi atau investor dilarang menguasai atau memprivatisasi tanah yang menjadi milik umum, sebab hal itu bisa menghalangi akses bagi orang lain untuk memanfaatkan tanah tersebut yang pada gilirannya memicu terjadinya konflik.
Ketiga, tanah milik negara, yakni tanah yang tidak berpemilik atau tanah yang di atasnya terdapat bangunan milik negara. Tanah ini wajib dikelola oleh negara sepenuhnya.
Pengelolaan Lahan
Islam menetapkan bahwa jika suatu tanah tidak tampak ada tanda-tanda yang memilikinya, maka siapa pun boleh memiliki tanah tersebut dengan catatan dia mau mengelolanya.
Sebaliknya, ketika suatu tanah yang sudah sah dimiliki oleh seseorang, tetapi ditelantarkan dan tidak dikelola atau difungsikan alias terbengkalai hingga tiga tahun lamanya, maka hak kepemilikan atas tanah tersebut otomatis akan hilang dan menjadi milik negara.
Maka, dengan pengaturan seperti ini, meskipun tidak memiliki surat-surat tanah, kepemilikan seseorang atas tanah tersebut akan tetap terjaga. Sebab, kepemilikan itu sudah cukup ditunjukkan dengan adanya pengelolaan atas tanah tersebut.
Jika negara ingin melakukan pembangunan di atas tanah yang sudah menjadi milik warga, maka negara terlebih dahulu harus mendapat izin dari warga yang bersangkutan. Apabila warga menolaknya, negara tidak boleh memaksakan dengan menggusur mereka keluar dari tanah tersebut.
Inilah pengelolaan tanah dan pembangunan dalam Khilafah yang akan membawa kesejahteraan bagi rakyat.
Oleh: Langgeng W Hidayat
(MT Anwarul Iman Surabaya)