Tinta Media - Negara harusnya hadir untuk melindungi
rakyatnya dari bentuk imperialisme gaya baru dengan kedok investasi merampas
hak milik rakyat. Imperialisme gaya baru mengusir rakyat dari tempat tinggalnya
yang sudah ditempati bahkan sebelum negara ini ada. Mereka harus pindah untuk
alasan pembanguan yang bukan untuk rakyat, tapi oligarki. Rempang adalah bukti
nyata bahwa negara tidak lagi berpihak pada rakyat, tapi membuka jalan masuknya
bentuk imperialisme gaya baru yang ingin menguasai negeri ini dengan dalih investasi.
Rakyat melawan dan harus berhadapan dengan
penguasa yang harusnya melindungi mereka. Pemimpin memposisikan sebagai musuh
rakyatnya sendiri demi oligarki. Apalah artinya pembanguan dan kemajuan jika
rakyat tidak bisa merasakan kesejahteraan. Banyak pembangunan infrastruktur
tapi semua yang merasa hanya segelintir orang. Dan yang pasti diuntungkan
pemilik modal, oligarki.
Kapitalisme semua bisa dimiliki oleh
oligarki. Sementara rakyat hanya mendapatkan remah-remah roti, dengan nilai
yang tidak seberapa. Kekayaan dieksploitasi yang hanya menyisakan hutang yang
terus bertambah dan menjadi beban generasi. Penguasa rakus dan haus kekuasaan
hanya berfikir kepentingan mereka sendiri dan kelompoknya. Mereka tidak perduli
dengan nasib anak cucu mereka nanti. Itulah demokrasi saat kekuasaan dijadikan
tujuan, sehingga segala cara dilakukan meskipun harus mengorbankan rakyat
sendiri.
Merampas lahan milik rakyat secara zalim
haram hukumnya dalam Islam meskipun demi alasan pembangunan. Bahkan dalam
sebuah kisah, Khalifah Umar mengingatkan gubenurnya untuk membatalkan
penggusuran yang dilakukan terhadap warga Yahudi meskipun untuk perluasan
pembangunan masjid dan sudah mendapatkan ganti rugi. Jika rakyat tidak mau
disuruh pindah dari tempat tinggalnya apapun alasannya, negara tidak boleh
menggusur mereka apalagi jika dilakukan secara paksa dan dengan ancaman serta
kekerasan. Lalu apa bedanya negara dengan penjajah jika keduanya ingin
menguasai tanah milik rakyat yang menjadi tempat tinggal dan sumber mata
pencaharian mereka.
Satu konflik penggusuran terhadap satu
orang saja, seorang Khalifah dengan tegas
memberi peringatan keras untuk membatalkannya. Padahal dalam kasus
Rempang, tidak hanya satu kampung, penguasa tidak berdaya bahkan untuk
menolaknya keinginan dan ambisi oligarki untuk mendirikan sebuah kota impian
dan perusahaan yang bisa menghasilkan keuntungan besar. Rakyat dikorbankan,
tapi negara tidak berbuat apa-apa untuk melindungi dan menyelamatkan mereka.
Mewaspadai Imperialisme gaya baru, rakyat
harus bersatu untuk menolak dan melawan berbagai bentuk pengusiran dan relokasi
masyarakat pribumi dari negeri mereka sendiri dengan alasan investasi. Sebuah
kota dibangun bukan untuk penduduk pribumi, tapi orang asing yang akan tinggal
disana dengan berbagai fasilitasnya Tidakhah kita menyadari bahwa penjajahan
gaya baru sudah mulai dan api perlawanan sudah ditunjukkan oleh masyarakat
Rempang. Jangan biarkan api semangat untuk mempertahankan kemerdekaan dan
membela kebenaran hakiki padam. Semoga para pemimpin terbuka hati mereka untuk
membela negeri mereka dari penjajahan gaya baru, bukan malah menjadi
antek-antek para penjajah dengan dalih investasi dan demi pembangunan bukan
untuk rakyat tapi oligarki.
Stop segala bentuk penjajahan di muka bumi
ini dengan menerapkan Islam secara kaffah dalam kehidupan, karena Islam
mengharamkan perampasan lahan umat dengan dalih apapun. Islam mengdorong rakyat
untuk menghidupkan lahan mati dan memanfaatkan untuk kesejahteraan mereka,
bukan untuk diserahhan ke asing dan kepentingan oligarki. Pemimpin harusnya
berfikir untuk kepentingan rakyat, bukan hanya mempertahankan kekuasaan.
Sungguh, dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat adalah ide utopis dari
sistem demokrasi. Saatnya kembali pada Syariat Allah yang menciptakan alam, semesta
dan hidup agar kehidupan Islami bisa terwujud menggantikan sistem sekuler
demokrasi yang rusak.
Oleh: Mochamad Efendi
Sahabat Tinta Media