MENYOAL KEMERDEKAAN INTELEKTUAL - Tinta Media

Sabtu, 02 September 2023

MENYOAL KEMERDEKAAN INTELEKTUAL





Tinta Media  - Kemerdekaan yang diperingati bangsa ini telah berusia 78 tahun. Berbagai pertanyaan kritis justru dilontarkan oleh banyak kalangan : apakah negeri ini benar-benar telah merdeka ?. Pertanyaan ini dilontarkan di tengah deraan berbagai persoalan yang kita menggurita di negeri ini, mulai dari budaya korupsi yang kian akut, hutang rakyat yang kian menggunung, amoralitas remaja yang kian menggila, kekuasaan yang kian represif sampai upaya pembungkaman suara-suara kritis. 

  

Jika dahulu, negeri ini dijajah oleh bangsa asing, nampaknya sekarang ditambah oleh bangsa sendiri. Penjajahan itu berupa kekuasaan yang pro aseng dan asing. Dahulu Negara-negara kapitalis menjajah negeri ini, namun sekarang mereka tetap diberikan karpet merah untuk tetap mengeruk sumber daya alam negeri ini. Akibatnya rakyat semakin hidup sengsara dan terbelenggu saat menyuarakan perlawanan. Tak ketinggalan bagi kaum intelektual, suaranya juga semakin dibungkam oleh kekuasaan oligarkis. 

  

Secara historis, peran kaum intelektual, meski jumlahnya sedikit, namun sangat strategis dalam menentukan hitam putihnya peradaban suatu bangsa. Negara berperadaban selalu   memberikan ruang ekspresi para ilmuwan, intelektual dan para ulamanya dalam melakukan transformasi sosial. Kaum intelektual mengisi setiap wajah peradaban sepanjang masa. Membelenggu kemerdekaan intelektualitas adalah sebuah kesengajaan untuk menghancurkan peradaban bangsa. 

  

Plato, seorang pemikir Yunani, pernah mensyaratkan bahwa idealnya seorang pemimpin negara adalah dari kalangan intelektual atau filsuf.  Bagi Plato, bila kebajikan telah didapat, memimpin orang menuju kemaslahatan, bukanlah hal yang perlu diragukan. Intelektualitas, dalam pandangan Plato berbanding lurus dengan kebajikan peradaban. Aristoteles, murid setia Plato mensyaratkan satu kriteria lagi, yakni kepedulian terhadap persoalan masyarakat. Dua dimensi ini tak ditemukan di negeri ini. 

  

Intelektualitas adalah energi kebaikan dan kemajuan peradaban bangsa. Sebab kaum intelektual adalah mereka yang memiliki potensi saintifik dan mengejawantahkan dalam hubungannya dengan lingkungan dan permasalahan yang timbul dalam kehidupan sekitarnya berdasar argumentasi rasional. 

  

Perkembangan filsafat Yunani yang berawal dari antitesis atas dominasi mitos dikarenakan adanya ruang berpikir yang dibuka lebar. Para filosof adalah mereka yang mencurahkan pemikiran untuk menunjukkan kebenaran dalam rangka meraih kebajikan dan kebahagiaan. 

  

Cattel (dalam Clark, 1983) menegaskan bahwa intelektualitas merupakan  kombinasi sifat-sifat manusia yang terlihat dalam kemampuan memahami hubungan yang lebih kompleks, semua proses berpikir abstrak, menyesuaikan diri dalam pemecahan masalah dan kemampuan memperoleh kemampuan baru. Intelektualitas dengan demikian berorientasi kepada kebajikan, maka selayaknya dibuka lebar ruangnya, bukan dibungkam, apalagi diancam penjara. Diskursus atau dialektika merupakan pertengkaran pikiran yang positif, meski tidak semua bisa menikmatinya. 

  

Relasi intelektualitas dengan kemajuan peradaban sebuah bangsa adalah daya analitik dan problem solving. Bagi David Wechsler intelektualitas adalah totalitas kemampuan seseorang untuk bertindak dengan tujuan tertentu, berpikir secara rasional, serta menghadapi lingkungan secara efektif. Jangan sampai negeri yang telah 78 tahun merdeka masih memelihara watak-watak penjajah yang selalu membungkam suara kritis pribumi saat itu. 

  

Kaum intelektual harus punya komitmen tinggi di atas jalan yang lurus. Sebab, jika suatu bangsa, kaum intelektualnya tidak lagi berjalan di atas jalan ilmu yang lurus, namun sudah melakukan penyimpangan, berarti mereka tengah mengalami turbulensi intelektual atau tengah memilih untuk menjadi pelacur intelektual. Turbulensi pesawat akan mengakibatkan keguncangan di udara, sementara turbulensi intelektual akan menyebabkan kekacauan kehidupan sosial suatu bangsa.  

  

Di atas adalah rumusan intelektualitas dalam pandangan filsafat. Sementara, konsepsi intelektualitas dalam Islam disebut ulil al baab, yakni mereka yang senantiasa berpikir tentang fakta empirik seperti manusia, kehidupan dan alam semesta yang direlasikan dengan eksistensi Allah. Peradaban ulil al baab tidak sebatas untuk meraih kemajuan santifik semata, namun juga untuk mewujudkan kemuliaan perilaku manusia. Dengan demikian tradisi berpikir dalam Islam merupakan beyond intellectual. 

  

Allah menegaskan dalam firmanNya : Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka. (QS Ali Imran : 190-191). 

  

Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana aia diciptakan, dan langit, bagaimana ia ditinggikan ?. Dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan ?. Dan bumi bagaimana ia dihamparkan ?. Maka berilah peringatan, karena sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. (QS Al Ghaasyiah : 17-21). Ayat ini menunjukkan beyond intellectual Islam, yakni selain sebagai pemikir (peneliti), kaum intelektual muslim juga wajib melakukan dakwah amar ma’ruf nahi munkar. 

  

Prinsip amar ma’ruf nahi mungkar menurut Imam Abu Hanifah termasuk tiang agama. Allah telah mengirimkan banyak utusan untuk menegakkan dakwah Islam. Jika prinsip amar ma’ruf nahi munkar ini diabaikan oleh kaum intelektual, maka kesesatan dan kesasaran akan tersebar luas di kalangan masyarakat. Imam Abu Hanifah menekankan pentingnya amar ma’ruf nahi munkar dalam situasi apa pun. 

  

Islam menegaskan barang siapa melihat kemungkaran, maka harus diubah dengan tangannya atau dengan lisannya atau paling rendah keimanan seseorang saat mengubah kemungkaran dengan hatinya. Perintah dakwah amar ma’ruf nahi munkar ini ditegaskan oleh Allah dalam firmanNya : Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung (QS Ali Imran : 104) 

  

Konsepsi intelektualitas dalam peradaban Islam bukan sebatas berpikir, namun juga memberikan peringatan kepada manusia. Sesungguhnya kami mengutusmu (wahai Muhammad) dengan haq sebagai pemberi kabar gembira (basyiran) dan peringatan (nadziran) (QS Al Baqarah : 119). Maka berilah peringatan, karena Sesungguhnya kamu hanyalah orang yang memberi peringatan. (QS Al Ghaasyiyah : 21). Dan Kami tidak membinasakan satu negeri pun, melainkan sesudah ada baginya orang-orang yang memberi peringatan (QS Asy Syu’araa : 208). 

  

Oleh sebab itu, sudah saatnya negeri ini membuka kemerdekaan intelektual bagi kaum intelektual di negeri ini untuk membuka ruang diskursus dan dialektika, baik di masyarakat luas maupun di kampus-kampus. Tujuannya tentu saja agar negeri ini tidak salah jalan. Kaum intelektual muslim secara khusus harus memberikan pencerahan akan pentingnya menjadikan Islam sebagai solusi negeri ini.   

  

Kesalahpahaman masyarakat tentang ajaran Islam seperti khilafah disebabkan oleh gerakan islamophobia yang digelorakan barat. Padahal khilafah adalah warisan Rasulullah yang sangat berharga bagi kebaikan tata kelola dunia ini, bukan hanya untuk Indonesia. 

  

Membuka ruang diskursus tentang khilafah tentu saja akan mencerdaskan kehidupan bangsa. Jangan sampai hanya melancarkan propaganda yang tidak ilmiah, namun tidak juga memiliki solusi yang baik bagi krisis multidimensi negeri ini. Selain islamopobia, propaganda kebencian kepada khilafah juga merupakan semacam kekalahan intelektual. Karena itu semestinya dibuka ruang dialogis intelektual tentang khilafah ini dari berbagai sudut pandang. Kaum intelektual yang obyektif tentu saja bisa membedakan antara Islam, kapitalisme dan komunisme.


Khilafah adalah solusi alternatif dan terbaik untuk krisis multidimensi dunia saat ini. Saat semua pihak open minded, obyektif dan saintifk membincangkan sistem khilafah ini agar terjadi semacam pencerdasan rakyat, bukan pendunguan sosial. Ruang dialogis tentang khilafah juga akan menumbuhkan tradisi ilmu di negeri ini. Sebab peradaban itu ditopang oleh ilmu, bukan persepsi, apalagi kedunguan. 

  

Sudah seharusnya negeri ini memerdekakan kaum intelektual, bukan malah semakin membelenggu dan membungkam dengan berbagai ancaman delik hukum. Sebab jika masih demikian, maka negeri ini sesungguhnya belum merdeka, namun masih dihegemoni watak penjajah. 

  

(Ahmad Sastra, Kota Hujan, 23/08/23 : 11.40 WIB) 

Oleh: Dr. Ahmad Sastra 
Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :