MAU AWASI RUMAH IBADAH, OTORITER SEPERTI ZAMAN KOLONIAL? - Tinta Media

Sabtu, 09 September 2023

MAU AWASI RUMAH IBADAH, OTORITER SEPERTI ZAMAN KOLONIAL?




Tinta Media - Rezim Jokowi melalui Kepala BNPT Rycko Amelza Dahniel mengusulkan agar pemerintah mengontrol semua tempat ibadah di Indonesia. Tujuannya, agar tempat ibadah tidak menjadi sarang radikalisme. Selama ini disinyalir ada beberapa tempat ibadah yang mengkritik pemerintah. Hal itu disampaikan Dalam Rapat dengan Komisi III DPR RI, 

Terkait dengan keinginan pemerintah tersebut, penulis memberikan 4 (empat) catatan penting: 

PERTAMA, Usulan yang offside dan mengkhianati amanat konstistusi. Jika pemerintah mengawasi dan mengontrol rumah ibadah itu menabrak konstitusi. Mengontrol rumah ibadah jelas berpotensi menyebabkan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan yang dijamin oleh konstitusi melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, khususnya Pasal 28E Ayat (1), Pasal 28I, dan Pasal 29. 

Pasal 29 UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. 

Semestinya negara justru menjamin agar semua warganya bisa memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai keyakinannya secara aman dan merdeka. Negara menjamin tak boleh ada gangguan maupun tekanan dari mana pun, termasuk negara. Pemerintah tidak boleh mencampuri masalah keyakinan warganya dan cara ibadahnya. 

KEDUA, Kembali ke zaman kolonial. Mengawasi Rumah ibadah, berarti mundur ke belakang seperti zaman kolonial. Di zaman penjajahan Belanda, pesantren dan rumah ibadah diawasi. Para tokoh agama (ulama dan Ustadz) yang tidak berpihak kepada penjajahan Belanda akan dituding ekstremis dan dikriminalisasi. Bahkan para ustadz dan para ulama juga di awasi, apalagi yang bergelar haji mendapat pengawasan yang lebih dari pemerintahan kolonial. Sampai-sampai pada 1859 muncul ordonansi, peraturan baru yang lebih 'menyusahkan' ibadah haji. 

Kini sudah 78 tahun merdeka. Para penjajah sudah pergi dari negeri ini. Lalu, kenapa pejabat pemerintahan kita malah mengusulkan ide seperti dimasa penjajahan dulu? Jika di zaman kolonial, dituding ekstremis, kini Rumah ibadah dicurigai sarang radikal. Lalu apa bedanya? 

KETIGA, Kritik pada pemerintah itu tanda cinta. Bukan dipandang sebagai tanda radikal. Justru dengan kritik itu memberikan “alarm” tanda bahaya kepada pemerintah jika kebijakannya berbahaya atau merugikan bagi rakyat dan negara. Sebaliknya yang memuja muji pemerintah meski kebijakannya tidak pro rakyat maka itu patut diduga sebagai watak para penjilat yang akan menjerumuskan. 

Pemerintahan yang baik (good governance) tentu akan menjadikan kritik itu sebagai energi positif untuk memperbaiki kinerja dan pelayanan kepada rakyat. Jika pemerintah melayani rakyat dengan baik dan rakyat merasakan kebaikannya maka yang akan keluar justru pujian. Bukan kritikan. 

Sederhananya, pemerintah cukup melayani rakyat dengan baik, mencerdaskan, menyehatkan dan menyejahterakan maka rakyat akan menikmatinya dan memujinya. Jika ada beberapa rakyat yang kurang puas dan melakukan kritik maka akan tertutupi oleh pujian dari sebagian besar masyarakat yang menikmati kehadiran pemerintahan yang baik. 

KEEMPAT, Dalam demokrasi, Mengkritik itu HAK rakyat. Mendengarkan kritik dan melayani rakyat itu KEWAJIBAN pemerintah. Hanya dalam sistem otokrasi (kerajaan), rakyat dilarang mengkritik pemerintah. Jadi kalau di rezim saat ini menuding rakyat yang mengkritik sebagai radikal maka ini indikasi bahwa praktik pemerintahan kita bergerak dari sistem demokrasi menuju otokrasi. Dari pemimpin yang demokratis menjadi pemimpin yang otoriter. 

Soal kritik ini, ada perbedaan mendasar dalam sistem demokrasi dan otokrasi. Dalam demokrasi, kritik dipandang sebagai HAK rakyat yang boleh dilakukan (MUBAH). Sedangkan dalam otokrasi kritik dipandang sebagai hal TERLARANG yang tidak boleh dilakukan (HARAM) dilakukan oleh rakyat. Sedangkan dalam sistem Islam (Khilafah) kritik dipandang sebagai KEWAJIBAN rakyat yang harus dilakukan (FARDHU). Tujuannya untuk mengoreksi (MUHASABAH) kepada penguasa agar tidak membuat kebijakan yang keliru atau menyimpang dari hukum yang berlaku. 

Semestinya para penguasa negeri ini fokus melayani rakyat dengan sebaik-baiknya sehingga tidak ada celah sedikit pun bagi rakyat untuk bisa melakukan kritik. Dengan menjalankan pemerintahan yang baik maka ini meringankan tugas rakyat untuk melakukan kritik karena tak ada yang perlu dikritik. Jika hal itu terjadi maka yang akan muncul adalah pujian bukan kritikan. 

Jika para pemimpin negeri ini fokus menjalankan kewajibannya untuk melindungi rakyat, mencerdaskan rakyat serta menyejahterakannya maka akan tercipta negeri yang adil dan makmur. Semoga negeri ini dijauhkan dari musibah dan terlimpah barakah dari langit dan bumi… aamiin. 

Oleh: Wahyudi al Maroky
(Dir. Pamong Institute)

NB: Penulis pernah Belajar Pemerintahan pada STPDN 1992 angkatan ke-04, IIP Jakarta angkatan ke-29 dan MIP-IIP Jakarta angkatan ke-8. 

Referensi:
https://pamongreaders.com/mau-awasi-rumah-ibadah-rezim-makin-otoriter-seperti-zaman-kolonial
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :