Tinta Media - Intelektual muslimah Ir. Reta Fajriah menyatakan bahwa sebagian kalangan mengkritik program Marketplace Guru yang digagas oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud).
"Ini memang dari sebagian kalangan mengkritik karena seolah-olah guru sebagai komoditas. Dan faktanya memang seperti itu," tuturnya dalam Program Kuntum Khaira Ummah: Marketplace Guru, Solusi Tepat Problem Pendidikan? Di kanal YouTube Muslimah Media Center, Selasa (29/8/2023).
Ia melanjutkan, pada akhirnya tidak hanya sekolahnya saja, tidak hanya pendidikannya saja yang menjadi komoditas, tapi sekaligus manusianya. Pengajarnya menjadi komoditas tempat bertemunya antara supply dan demand.
“Dari pihak sekolah sebenarnya mengomentari hal ini dengan mengatakan bahwa kalau mencari guru sebenarnya tidak terlalu susah karena banyak sekali orang yang ingin menjadi guru. Persoalannya siapa yang akan menggaji guru itu, mengingat kalau belum ASN berarti tidak ada gaji yang berasal dari pemerintah pusat,” jelasnya.
Ia menambahkan, pihak daerah tidak berani mengajukan kebutuhan guru karena resikonya adalah guru itu akan digaji oleh pihak yang mengajukan. “Kalau yang mengajukan dari pihak Pemda maka diambil dari APBD bukan dari pemerintah pusat. Karena pemerintah daerah merasa kurang untuk bisa memberikan porsi gaji bagi guru ini, pada akhirnya tidak mengajukan," tukasnya.
Reta membeberkan, dari marketplace guru ini bahwa pihak sekolah yang mengajukan, bisa jadi penggajiannya dibebankan kepada pihak yang memperkerjakan yaitu pihak sekolah.
“Hal ini diperkuat dengan Peraturan Presiden RI Nomor 98 tahun 2020 tentang gaji dan tunjangan PPPK dikatakan bahwa yang menggaji para PPPK adalah siapa yang mengangkatnya. Ketika diangkat oleh pemerintah pusat maka gajinya diambil dari pemerintah pusat, ketika diangkat oleh pemerintah daerah maka gajinya diambil dari APBD,” urainya.
Demikian pula, lanjutnya, kalau yang mengangkat pihak sekolah bisa jadi penggajiannya dibebankan kepada pihak sekolah. "Nah, makanya saya melihat ini ada indikasi secara bertahap dan perlahan itu, bahwa pemerintah akan melepas untuk bisa memberikan gajian. Mereka belum diangkat menjadi ASN, bisa jadi ketika memang sudah diperkerjakan oleh pihak Pemda atau pihak sekolah terjadi, tidak akan diangkat menjadi ASN," ungkapnya.
Kewajiban Pemimpin
Reta menyampaikan, dalam pandangan Islam, pendidikan adalah hak dari setiap warga negara. Dan kewajiban penguasa/pemimpin adalah memenuhi hak dari warga negara itu, dan kelak akan dipertanggungjawabkan di akhirat.
“Dalam hadis riwayat Imam Bukhari dikatakan masing-masing kalian adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya. Seorang Imam juga pemimpin dan bertanggung jawab terhadap rakyatnya yang diurusnya. "Nah, termasuk pendidikan ini adalah tanggung jawab dari Imam," urainya.
Ia menambahkan, termasuk tanggung jawab terhadap penyediaan fasilitas-fasilitas pendidikan, ruang-ruang sekolah, kemudian sarana prasarana, seperti mengadakan laboratorium, menyediakan jalan yang baik, jembatan, dan lain-lainnya.
“Juga penyediaan kurikulumnya, bagaimana kurikulum itu didesain agar bisa mencapai target dari tujuan dari pendidikan. Jadi tidak semata-mata karena ingin memenuhi permintaan pasar tapi memang harus punya target tertentu," paparnya.
Mahal
Reta menjelaskan, dalam Islam guru dibayar mahal serta menjadi tanggung jawab pemimpin. Untuk menggajinya. Ia mencontohkan, di masa Umar bin Khattab, gaji guru disetarakan dengan dinar sebanyak 15 dinar. Satu dinar setara dengan 4,25 gram emas. Jadi 15 dinar per bulan sama dengan 30 juta.
“Bahkan di masa Abbasiyah, gaji pengajar 1000 dinar/3,9 miliar per tahun, kurang lebih 325 juta per bulan. Gaji ulama yang mengajarkan agama jauh lebih besar yaitu 2000 dinar atau kurang lebih 650 juta per bulan,” bangganya.
Gaji tersebut, lanjutnya, bersumber dari kas negara. "Semua ini hanya bisa terlaksana ketika negara menerapkan sistem pendidikan Islam, ditunjang oleh sistem ekonomi Islam sehingga APBN-nya banyak sumber pemasukan," pungkasnya.[] Ajira