Mantan Koruptor Jadi Bacaleg, Bukti Buruknya Pemilihan Pemimpin Demokrasi - Tinta Media

Rabu, 06 September 2023

Mantan Koruptor Jadi Bacaleg, Bukti Buruknya Pemilihan Pemimpin Demokrasi




Tinta Mesia - Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), sebagaimana yang diberitakan voaindonesia.com, (26/8/2023), ditemukan 15 mantan terpidana kasus korupsi yang masuk dalam Daftar Calon Sementara (DCS) bakal calon legislatif di tingkat DPR, DPRD, dan DPD yang diumumkan oleh KPU (19/08/2023). Fenomena ini menggambarkan bahwa partai politik masih membuka pintu lebar bagi mantan koruptor untuk menjadi bacaleg. Hal tersebut disebutkan dalam Pasal 43 Ayat (1) UU HAM yang pada pokoknya menyatakan bahwa setiap warga negara berhak untuk dipilih melalui Pemilu. Juga Pasal 73 UU HAM yang mengatur soal pembatasan dan larangan hak, serta kebebasan setiap warga.

Pada pemilu 2019 lalu, dilansir dari ICW, KPU resmi menerbitkan Peraturan KPU No 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR RI dan DPRD Kabupaten/Kota. Salah satu ketentuan dalam peraturan tersebut adalah larangan mantan terpidana korupsi menjadi calon anggota legislatif (caleg) dalam Pemilihan Umum 2019. Namun, sejak awal peraturan tersebut mendapat banyak penolakan dari sejumlah elit Parpol, DPR, dan Bawaslu. 

Atas penolakan dan gugatan ini, terjadilah pembatalan oleh MA. Pembatalan tersebut berdasarkan putusan MA Nomor 30 P/HUM/2018 yang menilai bahwa larangan itu bertentangan dengan UU Pemilu (CNN Indonesia, 24 Agustus 2023). Selain itu, MA menuliskan sejumlah alasan terkait pencabutan peraturan tersebut dikarenakan hak asasi manusia (HAM) hingga alasan tumpang tindih peraturan. 

Fakta tersebut menggambarkan betapa buruknya pemilihan pemimpin dalam sistem demokrasi. Tidak adanya peraturan dan syarat dalam pemilihan seorang pengemban amanah akan memunculkan adanya caleg yang tidak berintegrasi, sehingga akan menambah masalah bagi parlemen, baik di pusat maupun daerah di kemudian hari. 

Hal ini juga memunculkan kekhawatiran bahwasanya mantan koruptor tersebut akan menularkan bibit korupsi kepada anggota legislatif lainnya atau bahkan mengulang praktik korupsi yang pernah dilakukan sebelumnya. 

Jika alasan pencabutan peraturan tersebut adalah pelanggaran HAM, bukankah adanya kasus korupsi termasuk sebagai pelanggaran HAM juga? Apakah belum cukup tindakan tersebut dapat menyebabkan diingkari, dicampakkan, dan dirampasnya human dignity baik secara sosial, ekonomi maupun budaya? 

Tak hanya itu, pencabutan Peraturan KPU No 20 Tahun 2018 juga menggambarkan lembeknya peraturan jika tidak menguntungkan pihak atas. Selain itu, pembatalan peraturan tersebut juga menunjukkan adanya kekuatan modal yang dimiliki oleh bacaleg tersebut mengingat untuk menjadi caleg membutuhkan modal yang sangat besar. Orang yang berintegritas dan memiliki kemampuan yang baik jika tanpa dukungan modal tak mungkin dapat mencalonkan diri. Pahit, tetapi inilah realita demokrasi.

Tidak adanya larangan bagi mantan koruptor hanya akan menambah kekhawatiran terjadinya lonjakan korupsi kembali, mengingat sistem hukum di Indonesia tidak mampu memberi sanksi yang berefek jera. 

Seperti yang disampaikan Mahfud MD saat ceramah umum di Kampus La Tansa Mashiro Rangkasbitung, dikatakan bahwa hukum di Indonesia masih banyak permainan dan dapat diperjualbelikan oleh orang-orang yang memiliki uang. Bahkan, ia mengatakan bahwa hukum hanya berlaku bagi mereka yang ‘apes’ atau tidak beruntung sehingga tidak mampu membela dirinya dengan uang. Sedangkan orang yang memiliki kekuasaan dan uang, mereka mampu memengaruhi keputusan hukum. Begitulah hukum di sistem kapitalisme.

Fenomena ini tidak terlepas dari aturan dalam sistem demokrasi yang dibuat oleh manusia, bukan Tuhan. Sehingga, para penguasa mudah saja membuat aturan yang mampu memenuhi keinginan sesuka hatinya. Hal ini dilakukan semata-mata memuluskan syahwat politiknya. 

Bahkan, tak jarang mereka saling bekerja sama, tak peduli dari fraksi yang berbeda, demi mencapai tujuan regulasi yang dikehendaki. Peraturan yang dibentuk dalam sistem demokrasi tidak0 berlandaskan kebenaran yang hakiki. Peraturan tersebut dibentuk berdasarkan suara terbanyak, lebih tepatnya menurut pemegang modal. Seperti halnya pencabutan larangan mantan koruptor dalam menjadi bacaleg, tidak semata-mata berlandaskan benar salah, tetapi berdasar untung dan rugi bagi penguasa.

Pemberantasan korupsi tidak akan benar-benar ditangani dalam demokrasi. Pemberantasan korupsi dalam demokrasi hanyalah basa-basi. Korupsi tidak akan benar-benar diberantas karena dianggap menguntungkan para politisi. Kewenangan KPK saja bisa “dimutilasi” hingga menjadi lemah sekali. Selama demokrasi masih dijalankan, tidak ada harapan korupsi akan dituntaskan dan pemerintahan yang bersih hanya akan menjadi sebuah khayalan.

Satu-satunya solusi dalam pemberantasan korupsi adalah dengan mengubah sistem pemerintahan demokrasi menjadi sistem Islam kaffah. Aturan yang diterapkan pun berasal dari Allah yang terjamin kebenarannya. Inilah yang lebih dikenal sebagai khilafah. Adil merupakan salah satu syarat yang harus dimiliki oleh penguasa dalam sistem khilafah. 

Allah Swt. Berfirman di dalam Qur’an surah an-Nahl ayat 90 yang artinya, 

“Sungguh Allah memerintahkan (kamu) untuk berbuat adil dan berbuat baik.”

Pada sistem ini pula, keadilan sangat penting sehingga tidak mungkin seorang pemimpin tidak dipilih secara selektif. Bahkan, Rasulullah saw. Bersabda, 

“Sehari seorang pemimpin yang adil lebih utama daripada beribadah 60 tahun; dan satu hukum ditegakkan di bumi akan dijumpainya lebih bersih daripada hujan 40 hari.” (HR Thabrani, Bukhari, Muslim, dan Imam Ishaq).

Seorang pemimpin dalam sistem Islam dipilih dengan beberapa kriteria. Salah satunya harus orang yang beriman dan bertakwa agar amanah menjalankan perannya sebagai penyambung lidah rakyat. Hal ini karena wakil umat yang bertakwa akan menggunakan kekuasaannya dengan sebaik-baiknya. 

Namun, untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, tidak cukup memilih pemimpin yang bersih. Jika pun ada orang yang awalnya bersih, ketika masuk ke dalam sistem demokrasi, ia cenderung akan ikut arus menjadi korup. 

Sudah banyak buktinya, beberapa politisi yang awalnya terkenal bersih, ternyata turut tersandung kasus korupsi. Sudah banyak mantan wakil rakyat yang mengatakan kotornya pemerintahan, sehingga sulit sekali untuk jujur dan adil. Sudah menjadi rahasia umum, bagi mereka yang jujur, maka akan ditendang dari parlemen.

Sistem hukum dalam Islam sangat tegas dan menjerakan, sehingga membuat pelaku kejahatan dapat benar-benar bertobat. Apalagi, sanksi dalam Islam berfungsi sebagai zawajir (pencegahan) dan jawabir (penebus). Sistem pemerintahan yang bersih dan adil serta berasaskan akidah Islam satu-satunya adalah khilafah. Khilafah memiliki mekanisme lengkap untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih. Sudah semestinya umat kembali kepada sistem Islam yang kaffah yang berasal dari Allah, yaitu khilafah. Wallahu a’lam bisawwab. []

Oleh: Eriza Irawan, 
Mahasiswi Universitas Gunadarma
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :