Tinta Media - Merespons usulan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Rycko Amelza Dahniel agar Pemerintah mengontrol semua tempat ibadah di Indonesia dengan alasan supaya tidak menjadi sarang radikalisme, Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan, S.H., M.H. memberikan tiga pendapat hukum.
“Pertama, bahwa usulan tersebut seolah-olah menuduh bahwa rumah ibadah adalah sarang radikalisme. Ini tuduhan yang sangat serius,” tuturnya kepada Tinta Media, Jumat (8/8/2023).
Pola-pola kontrol semacam ini, menurut Chandra mirip seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Cina terhadap muslim Uyghur.
“Jika pengontrolan itu dilakukan, maka akan menyebabkan masyarakat semakin takut dan tidak nyaman beribadah. Hingga pada akhirnya, masyarakat menjauh dan tidak lagi datang ke rumah ibadah yang dapat berpotensi menciptakan masyarakat yang tak percaya agama dan Tuhan,” jelasnya.
Kedua, kata Chandra, bahwa sepatutnya BNPT mengubah paradigma, yaitu tidak menjadikan agama sebagai sumber masalah, agama tidak pernah melahirkan kejahatan.
“Jika terjadi tindakan kejahatan, mesti dipandang dan dipisahkan sebagai tindakan individu. Jika tindakan individu digabung seolah-olah hasil dari pemahaman agama, maka paradigma tersebut mesti diubah (tidak digabungkan). Sebagaimana pelaku korupsi atau koruptor, apakah mesti partainya harus diawasi dan dikontrol?” tanyanya retoris.
Ketiga, sebutnya, usulan ini dapat menjadi pintu masuk bagi Pemerintah untuk melakukan intervensi negara ke privasi agama-agama.
“Pemerintah seharusnya fokus untuk mengatasi akar masalah radikalisme, yaitu ketimpangan sosial dan ekonomi,” tutupnya.[] Muhar