Tinta Media - Meletusnya konflik pembebasan lahan Pengembangan proyek Rempang Eco-City, Kota Batam, Kepulauan Riau, membuka cerita lama tertahannya kasus korupsi yang merugikan negara hingga Rp 3,6 triliun.
Korupsi melibatkan Tomy Winata (Bos Arta graha) lewat PT Makmur Elok Graha (PT MEG) terkait penyelewengan izin lahan dan pengembangan proyek berkonsep "Kawasan Wisata Terpadu Eksekutif" (KWTE) pada 2004 silam.
Korupsi bermula ketika diterbitkan Surat DPRD kota Batam terkait investasi Pulau Rempang yg ditandatangani ketua DPRD, Taba Iskandar pada 17 Mei 2004. Surat tersebut berisikan rekomendasi 6 fraksi DPRD yg menyetujui PT MEG milik Tomy Winata sebagai pemegang konsesi pengembangan lahan Pulau Rempang.
Sekitar 3 bulan kemudian, tepatnya 26 Agustus 2004, Tomy Winata dan PT MEG menandatangani MOU kerjasama dengan Pemkot Batam yg dipimpin Walikota Nyat Kadir Ismeth Abdullah. Teken MOU dilakukan di lantai 4 kantor walikota dan disaksikan pula oleh Gubernur Kepri Waktu itu.
Lewat MOU tersebut, PT MEG diberi hak guna bangunan dengan kuasa konsesi selama 30 tahun yg bisa diperjang 20 tahun dan 30 tahun sehingga berpotensi menjadi 80 tahun.
Isi nota kesepaham menunjuk kewajiban PT MEG menyusin Development Plan pengembangan Kawasan Rempang seluas kurang lebih 17.000 hektare dan kawasan penyangga yaitu Pulau Setokok (kurang lebih 300 hektare) dan Pulau Galang (kurang lebih 300 hektare)
Sementara Pemerintah Kota Batam dan BP Batam pun bertugas menyediakan tanah dan menerbitkan semua perizinan yg diperlukan PT MEG.
Sesuai Perda Kota Batam No 17 tahun 2001 tentang Kepariwisataan Kota Batam dan diperbarui dengan Perda No 3 tahun 2003 dinyatakan izin usaha Tomy lewat PT MEG meliputi gelanggang bola ketangkasan dan gelanggan permainan mekanik/elektronik.
Sejak ditandangi MOU dan penyerahan hak konsesi kepada PT MEG di tahun 2004, proyek tersebut kandas, tindak berjalan. Di tahun 2007, terungkap kandasnya proyek disebabkan pemberian konsesi kepada PT MEG terindikasi korupsi dan merugikan negara senilai Rp 3,6 triliun.
Terkait dugaan korupsi tersebut, Pada 14 November 2008, Tomy Winata diperiksa Bareskrim Polri selama 2,5 jam. Termasuk direktur PT MEG pun diperiksa.
Setelah pemeriksaan tersebit, sampai hari ini, kerugian negara Rp 3,6 triliun dibalik korupsi Proyek Pengembangan Pulau Rempang, lenyap, hilang begitu saja.
Saat ini, tanpa ada proses hukum lebih lanjut, proyek ini kembali didesak realisasinya. Kekuatan uang Tomy Winata bergerak layaknya sihir yg menggerakan tangan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartato dan menteri investasi Bahlil Lahadalia.
Tidak peduli ada kasus korupsi yg harus diselesaikan, Airlangga menggunakan kuasa jabatannya untuk menetapkan Tomy Winata lewat PT MEG kembali memegang konsesi untuk melanjutkan pemgembangan proyek kepulauan Rempang setelah tertunda 18 tahun.
Ambisi Tomy Winata diwujudkan Airlangga pada 14 April di kantor Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian. Proyek ini dipaksa masuk dalam daftar Program Strategis Nasional 2023. Pemaksaan itu dilakukan lewat penerbitan Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional.
Model konsesinya masih sama. Hanya nama proyek saja yg dirubah dari KWTE menjadi Pulau Rempang Eco-City. Tomy Winata lewat PT MEG ditetapkan membangun tiga pulau, yakni Rempang, Galang, dan Sempoko seluas 17.000 hektare untuk menjadi kota taman wisata dengan masa konsesi 80 tahun.
Layaknya "harta karun terpendam", di tahap awal hingga 2040, Tomy siap gelontorkan Rp 29 triliun dari keseluruhan potensi investasi jumbo Rp 381 triliun dengan relasi cetak 186.000 tenaga kerja.
Menariknya, Lewat Loby Tomy Winata, PT MEG berhasil membantu pemerintah yakinkan perusahan terbesar asal Tiongkok, Xinyi International Investama Limited untuk berinvestasi senilai US$ 11,5 miliar, setara Rp 175 triliun.
Rencana investasi tiongkok ditindaklanjuti pada 28 Juli 2023 lalu dalam bentuk tanda tangan MOU oleh menteri investasi Bahlil Lahadalia, disaksikan langsung Presiden Joko Widodo.
Salah satu butir penting kesepakatan MOU: pemerintah wajib menyediakan atau memenuhi kesiapan tanah prioritas seluas 1.154 hektare dengan penyerahan tanah clear and clean selama 30 hari.
Inilah penyebab utama pemerintah grasa-grusu, mendadak, tiba-tiba memaksakan pembebasan lahan Rempang secepatnya. Bertindak otoriter, gunakan kuasa aparat, membabi-buta, represif merampas lahan rakyat sehingga memunculkan konflik yg memakan banyak korban sipil.
Lihatlah kelakuan pemerintah. Penuhi ambisi kepentingan Tomy Winata yg korup dan investor China dengan cara adu domba, bikin berkelahi aparat dan warga.
Wajar masyarakat menolak, melawan. Lahan mereka yg ditempati sejak 1843 dirampas dadakan tanpa ada kejelasan ganti rugi dan kompensasi yg layak.
Pertama, terkait janji relokasi 2.600 kepala keluarga yg tersebar di 16 kampung terdampak, mulai dari Kelurahan Sembulang dan Rempang. Pemerintah menjanjikan pembangunan rumah tipe45 di atas kavling 500 M2 di Kelurahan Sijantung Pulau Galang.
Sampai sekarang belum ada tanda-tanda pembangunannya. 2.600 kepala keluarga yg dirampas lahannya, dipaksa sementara waktu tinggal di rusun BP Batam, Rusun Pemkot Batam dan Rusun Jamsostek.
Sembari bermukim di situ, pemerintah berjanji akan membangun rumah yg dijanjikan.
Masyarakat jelas menolak. Bagaimana dengan mata pencaharian mereka, bagaimana cara mereka melanjutkan hidup, penuhi kebutuhan tiap hari. Dipaksa tinggal menumpuk di Rusun tanpa ada alternatif penguatan ekonomi.
Mau miskinkan, bikin kelaparan rakyat ?
Pemerintah menjanjikan jaminan biaya hidup Rp 1.034.636 per orang, terbatas hanya untuk 3 orang dalam satu Kepala Keluarga selama masa relokasi sementara. Mencakup semua kebutuhan hidup. Termasuk air, listrik, Layanan kesehatan, pendidikan dan kemanan.
Bantuan tersebut, justru menjebak ratusan ribu orang hidup di bawah kategori hidup layak, di bawah garis kemiskinan.
Masyarakat juga tidak sepenuhnya percaya akan janji itu. Pemerintah ini udah terbiasa berbohong. Jangankan penuhi janji-janji manis itu, ganti rugi perampasan lahan saja tidak diberikan ke warga sampai hari ini.
Bahkan dengan kenyolnya, Kapolri menyebarkan kabar hoax, rakyat udah terima ganti rugi. Ganti rugi dari mana ? BP Batam saja ngaku belum beri ganti rugi lahan ke masyarakat.
Kenapa harus terburu-buru. Husir warga. Kenapa tidak selesaikan dulu pembangunan hunian dengan fasilitas tetap lengkap dengan sumber pemenuhan ekonomi layak seperti yg dijanjikan, sebelum direlokasi ?
Rakyat pasti sepakat dengan gagasan pembangunan pemerintah, tapi bukan begini caranya. Rampas lahan rakyat dengan cara-cara otoriter, dipaksa relokasi tanpa kepastian hunian keberlanjutan hidup layak.
Alasan penolakan penting lainnya adalah eksitensi budaya dan ajaran melayu Islam yg ratusan tahun berjalan akan lenyap seketika. Digantikan budaya modern ala China yg sekuler dan anti Islam. Lihatlah development plan PT MEP yg bekerjasama dengan China. Orientasinya meliputi pengembangan gelanggang bola ketangkasan dan gelanggan permainan mekanik/elektronik. Termasuk lokasi aneka hiburan modern, arena ketangkasan kaliber dunia, mengimbangi pusat "judi" di Sentosa Island dan Kawasan Marina Bay Singapura.
Selain itu juga berorinetasi pada pengembangan Kawasan Rempang sebagai The New Engine Indonesian's Economic Growth yang berkonsep "Green and Sustainable City.
Tomy dan pemodal China akan menjadikan Rempang sebagai pusat pengembangan fasilitas hilirisasi pasir kuarsa atau pasir silika terbesar untuk memproduksi energi terbarukan yaitu solar panel yg digunakan untuk menghasilkan listrik dari matahari.
Ujungnya, seperti kasus hilirisasi yg sudah-sudah, pribumi dijadikan jongos-babu atas nama penyerapan tenaga kerja dgn upah tak seberapa. China sukses rampok murah sumber Energi baru terbarukan dengan ongkos murah dan jangka waktu ekploitasi 80 tahun. Seperti kasus hilirisasi nikel.
Shame on you Joko !!
Oleh: Faisal S Sallataloly
Penulis Buku Republik Investor