Tinta Media - Menyikapi bermunculannya konflik agraria, termasuk yang terjadi di Pulau Rempang, provinsi Kepulauan Riau, Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan, S.H., M.H. menduga bersumber dari dominasi negara.
“Sudah dapat diduga, bermunculan konflik agraria bersumber dari dominasi negara dan persoalan struktural,” tuturnya kepada Tinta Media, Rabu (13/9/2023).
Pendapat itu didasarkan pada tiga argumen. Pertama, rencana investasi tidak akan dapat diproses apabila tidak terdapat keputusan dari Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian Agraria untuk mengeluarkan SK Pelepasan Hutan Produksi Yang Dapat Dikonversi (HPK) menjadi Areal Penggunaan Lain (APL), penerbitan sertifikat Hak Pengelolaan (HPL) kepada Badan Pengusahaan (BP) Batam, Kepulauan Riau.
“Kedua, apabila Surat Keputusan (SK) HPL tersebut dikeluarkan dan diberikan kepada BP Batam, SK tersebut dikhawatirkan akan menghidupkan kembali konsep domein verklaring (negaraisasi tanah),” ujarnya.
Konsep ini, ucapnya, mengartikan bahwa tanah dianggap sebagai kepemilikan negara, yang pada gilirannya memungkinkan pemerintah atau entitas yang berada di
bawah otoritasnya untuk mengambil dan mengusir masyarakat yang dianggap tidak memiliki bukti kepemilikan.
“Dahulu Domein Verklaring dipraktikkan agrarische besluit oleh Penjajah Belanda yang menyatakan bahwa barang siapa yang tidak memiliki tanah atas hak eigendom, maka tanah tersebut akan menjadi milik negara,” imbuhnya.
Ketiga, sebutnya, apabila ketentuan tersebut dipraktikkan kembali akan berpotensi menjadi alat pemerintah untuk menguasai tanah di Indonesia, yang pada akhirnya dapat merugikan masyarakat.
“Ini juga yang kemudian membuat negara menguasai tanah seluruhnya, termasuk tanah-tanah masyarakat adat yang tidak memiliki sertifikat/bukti kepemilikan atas tanahnya. Hal ini lah yang akan menimbulkan persoalan struktural yang berimplikasi kelirunya penerapan kebijakan atas suatu lahan,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun