Tinta Media - Peringatan kemerdekaan Indonesia ke 78 telah berlalu. Namun, faktanya rakyat negeri ini belum mampu memahami makna dan cara mengisi kemerdekaan yang disebut oleh bangsa ini sebagai rahmat dari Allah SWT. Sebab, kemerdekaan diperingati sebagai formalitas belaka dan justru diisi dengan berbagai kegiatan yang tak ada korelasinya dengan kemerdekaan. Bahkan, banyak peringatan tersebut yang diisi dengan aktivitas kekufuran, seperti berbagai perlombaan yang banyak menjerumuskan pada perjudian, serta karnaval yang banyak melanggar aturan agama. Sebut saja dengan karnaval banyak salat wajib ditinggalkan, aurat dibuka, bernyanyi dan bergoyang, tabarruj, ikhtilat, dsb.
Usia 78th merupakan usia matang. Seharusnya pada usia ini
negara sudah berada dalam kondisi sejahtera, berkeadilan, serta berdaulat tanpa
tekanan dari pihak manapun.
Namun, bak jauh panggang dari api. Pencapaian tersebut masih jauh dari harapan.
Sungguh ironis. Merdeka dari penjajahan fisik sudah
diperingati dengan begitu gegap gempita hingga melalaikan dari kondisi yang
sesungguhnya. Seharusnya, kemerdekaan ini disyukuri dengan muhasabah demi
terwujudnya kemerdekaan hakiki. Sebab, faktanya negeri ini belum 100% merdeka.
Ya, negeri ini masih terlilit utang riba ribuan triliun
rupiah, pembangunan belum merata dirasakan oleh seluruh rakyat, ketimpangan
ekonomi masih tinggi, masih banyak lulusan SMA tak mampu kuliah akibat biaya
pendidikan tinggi, jutaan rakyat masih mengalami gizi buruk, jutaan rakyat
masih menempati rumah tak layak huni atau bahkan tak memiliki rumah, keadilan
hukum belum sepenuhnya terwujud, SDA masih banyak dikuasai korporasi lokal,
asing, maupun Aseng, rendahnya moral generasi hingga terjerumus pergaulan bebas
dan tindak kriminalitas, jutaan rakyat masih terlilit pinjaman online, kekerasan
seksual dan berbagai tindak kriminal masih menghantui, dan masih banyak lagi
problematika masyarakat di negeri ini yang tidak teratasi. Maka, sangat tak layak beruforia
memperingati kemerdekaan dengan berbagai aktivitas kemaksiatan. Padahal, berbagai kerusakan di depan
mata.
Wajar hal tersebut terjadi. Sebab, memang begitulah
paradigma kehidupan Kapitalis-Sekuler yang berorientasi pada kepuasan materi
dan mengabaikan aturan agama dalam kehidupan. Artinya, selama sistem kufur
tersebut diterapkan, ya, akan terus seperti itu kemerdekaan diperingati dan
diisi dengan bersenang-senang.
Menghadapi kondisi saat ini, harus ada segolongan umat yang
disebutkan dalam surat Ali-Imran ayat 104 untuk menegakkan amar makruf nahi
mungkar. Seperti yang dilakukan oleh aktivis dakwah Hizbut Tahrir. Sayangnya,
di Indonesia justru HTI telah dicabut badan hukumnya. Namun, bukan berarti
aktivitas dakwah menyerukan Islam kaffah terhenti. Umat Islam harus melanjutkan
perjuangan tersebut, karena apa yang diserukan merupakan kebenaran dari Allah
sebagai sebuah bentuk ketaatan.
Umat harus dipahamkan, bahwa ketaatan merupakan bentuk
syukur terhadap salah satu nikmat Allah, yakni kemerdekaan. Jadi, pihak yang
menghalangi dan melarang aktivitas ketaatan semestinya menyesal, karena sama
saja dengan menghalangi aktivitas untuk mengisi kemerdekaan dengan benar. Juga
menghalangi terwujudnya kemerdekaan hakiki sepenuhnya yang hanya bisa dicapai
ketika negara telah memiliki kedaulatan penuh untuk melaksanakan hukum Allah.
Ya, keberadaan para pengemban dakwah harus teguh menyeru
kepada umat untuk masuk ke dalam Islam secara kaffah. Dengan begitu, rakyat
akan dapat memaknai dengan sahih arti perjuangan dan kemerdekaan. Maka, rakyat
akan mampu mengisi kemerdekaan yang merupakan rahmat Allah dengan bersyukur,
yakni dengan mewujudkan ketaatan kepada Sang Pemberi kemerdekaan itu, bukan
justru dengan mengingkari perintah-Nya dan mengkufuri nikmat kemerdekaan ini.
Jika setelah terwujud kemerdekaan 100% saja tak layak bagi
kita untuk bermaksiat kepada-Nya. Apalagi jika belum 100% merdeka, maka lebih
tak layak lagi mengabaikan perintah-Nya. Camkan itu, wahai umat yang berakal!
Oleh: Wida Nusaibah (Pemerhati Masalah Sosial)