Tinta Media - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyatakan bahwa Indonesia darurat kekerasan seksual terhadap anak. Berdasarkan catatan KemenPPPA, kasus kekerasan seksual terhadap anak mencapai 9.588 kasus pada 2022. Jumlah itu mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya, yakni 4.162 kasus. Meski cukup tinggi, tetapi angka ini hanya seperti fenomena gunung es. Kasus yang tidak tercatat dan dilaporkan tentu lebih besar lagi.
Menanggapi banyaknya kasus kekerasan seksual yang banyak menimpa anak di bawah umur, Staf Ahli Menteri Bidang Pembangunan Keluarga Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), Indra Gunawan mengungkapkan keluarga dan masyarakat dapat berkontribusi mencegah tindak pidana kekerasan seksual (TPKS). Indra menyoroti fenomena anak yang menjadi korban TPKS, tetapi enggan menceritakannya.
Mencegah terjadinya kekerasan seksual dapat dimulai dari keluarga, sebab keluarga sebagai lembaga terkecil yang aman bagi setiap anggota bisa melindungi anak-anak mereka dari kekerasan seksual," kata Indra (news.republika.or.id, 27/08/2023)
Benar bahwa keluarga punya peran penting untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual. Akan tetapi, jika menganggap bahwa satu-satunya pihak yang punya tanggung jawab besar untuk mencegah kekerasan seksual adalah keluarga, maka pernyataan ini kurang tepat. Untuk mengetahui apa solusi efektif mengatasi masalah ini, maka kita harus memahami terlebih dahulu penyebab utama banyak terjadi tindak kekerasan seksual.
Penyebab Terjadinya Kekerasan Seksual
Sebagaimana yang disampaikan oleh staf ahli KemenPPPA, salah satu faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual pada anak adalah kurangnya komunikasi anak dengan orang tua sehingga mereka tidak berani menceritakan ketika terjadi tindak kekerasan. Akan tetapi, selain karena alasan tersebut, sebenarnya masih ada faktor lain yang menyebabkan maraknya kasus kekerasan seksual, di antaranya adalah:
Pertama, lemahnya iman pelaku kekerasan seksual. Dari banyaknya kasus kekerasan seksual, tidak sedikit para pelaku adalah muslim. Karena dorongan syahwat serta lemahnya iman, akhirnya mereka terjerumus melakukan hal-hal yang dilarang oleh syariat.
Kedua, maraknya pornoaksi dan pornografi. Dalam negara yang menganut sistem kapitalis sekuler, akidah Islam tidak dijadikan dasar untuk menerapkan suatu aturan sehingga pornoaksi dan pornografi tidak benar-benar dilarang, tetapi hanya diberikan batas tempat dan waktu mana yang pantas dan tidak.
Misalnya, pakaian renang yang menampakkan aurat tidak layak dipakai di tempat ibadah atau pasar, tetapi boleh tampil di kolam renang atau pantai, meski dilihat banyak orang. Belum lagi ketika kita bicara tentang internet dan media sosial, maka tidak sulit untuk mencari gambar atau video vulgar.
Padahal, Allah telah menciptakan pada diri manusia naluri bereproduksi/syahwat yang akan muncul jika melihat aurat, baik secara langsung maupun di media. Jika sudah timbul syahwat, seseorang akan berusaha memenuhinya. Apabila tidak ada pasangan yang sah, maka akan terdorong untuk melakukan maksiat, seperti zina atau tindak kekerasan seksual.
Ketiga, sanksi yang kurang tegas bagi pelaku kekerasan seksual. Banyaknya kasus kekerasan seksual salah satunya karena hukuman bagi pelakunya tidak tegas sehingga tidak menimbulkan efek jera bagi yang bersangkutan maupun bagi orang lain.
Solusi Islam Mengatasi Tindak Kekerasan Seksual
Dalam mencegah kasus kekerasan seksual. Keluarga sebagai institusi terkecil di tengah masyarakat memiliki peran strategis untuk menumbuhkan keimanan dan ketakwaan anak.
Orang tua dan juga pihak sekolah memiliki kewajiban mengajak anak untuk taat kepada Allah Swt. dengan mengajarkan aturan pergaulan dalam Islam, yaitu perintah menutup aurat serta menundukkan pandangan, menjaga interaksi dengan lawan jenis, tidak campur baur dengan lawan jenis (ikhtilat), juga berduaan tanpa mahram (khalwat), menjauhi zina dan tidak tabarruj yang bisa mengundang syahwat.
Tidak cukup hanya itu, masyarakat juga memiliki peran penting untuk selalu peduli dengan kondisi lingkungan, serta wajib melakukan upaya amar makruf nahi munkar untuk mencegah kemaksiatan di sekitar tempat tinggal.
Kasus pemerkosaan anak TK oleh anak SD yang terjadi di Mojokerto misalnya, merupakan salah satu contoh kelalaian orang tua dan masyarakat di sekitar hingga kejadian bisa terulang 5 kali. Na’uzubillahi min zaalik.
Yang paling utama adalah peran negara untuk mewujudkan masyarakat islami dan menerapkan sanksi yang tegas bagi para pelaku kekerasan seksual. Khilafah wajib melakukan pembinaan dan menanamkan akidah Islam sehingga warga negara memiliki keimanan dan ketakwaan yang kokoh yang akan mencegah diri mereka terjerumus melakukan kemaksiatan.
Di samping itu, dalam sistem Islam, pelaku kekerasan seksual mendapat sanksi yang berat. Jika sampai terjadi pemerkosaan, sementara pelakunya sudah/pernah menikah, maka hukumannya adalah dirajam hingga mati. Jika bujang, maka dicambuk 100 kali.
Jika kekerasan seksual yang dilakukan tidak sampai zina, tetapi melakukan pelecehan, maka Khalifah akan menerapkan sanksi ta’zir yang tegas untuk memberikan efek jera.
Selain itu, negara akan menerapkan upaya prefentif/pencegahan terjadinya kekerasan seksual dengan mencegah banjirnya konten pornoaksi pornografi. Negara juga akan menerapkan sejumlah aturan Islam terkait dengan pergaulan, yaitu mewajibkan menutup aurat, mencegah khalwat, ikhtilat dan segala kegiatan di ranah umum yang akan memicu terjadinya pelanggaran hukum syara’ (konser musik, reuni ikhtilat, dll).
Apabila keluarga, masyarakat dan negara bersinergi untuk melaksanakan syariat Islam, insyaallah kekerasan seksual akan bisa dicegah dan terjamin perlindungan keamanan bagi semua warna negara. Allahu a’lam bi ash shawab.
Oleh: Lilla Prawidya
Sahabat Tinta Media