Karhutla meluas, Islam Sebagai Solusi Tuntas - Tinta Media

Sabtu, 23 September 2023

Karhutla meluas, Islam Sebagai Solusi Tuntas



Tinta Media - Selama musim kemarau berlangsung, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Kabupaten Bandung mengalami lonjakan signifikan. Dari total 298 kejadian kebakaran, terdapat sebanyak 67 peristiwa kebakaran hutan dan lahan. 

Kepala Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan Kabupaten Bandung Hilman Kadar menjelaskan bahwa kasus kebakaran hutan dan lahan dari bulan Januari hingga Juni terhitung hanya empat kali. Namun, sejak Juli hingga Agustus, melonjak sebanyak 67 kasus. Tidak hanya itu, kebakaran pun melanda pemukiman mencapai 211 kasus sedangkan gudang 15 kasus dan pabrik 12 kasus. Dia menuturkan bahwa beberapa penyebab kebakaran di antaranya adalah faktor kelalaian manusia, musim kemarau, serta diperparah El Nino. (REJABAR, 01/09/2023)

Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), selama periode Januari hingga Juli 2023, luas karhutla di Indonesia sudah mencapai 90.405 hektare (ha). Perluasan karhutla tidak hanya terjadi di satu provinsi di Jawa Barat saja, tetapi terjadi juga pada provinsi lainnya. 

Berikut beberapa provinsi dengan luas area karhutla terbesar, yaitu di Nusa Tenggara Timur mencapai 28.718 ha, Kalimantan Barat 12.537 ha, Nusa Tenggara Barat 9.662 ha, Kalimantan Selatan 7.483 ha, Jawa Timur 7.076 ha. Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) menuturkan juga bahwa karhutla tahun ini berpotensi meningkat karena adanya fenomena cuaca El Nino. (DATABOKS, 18/08/2023)

El Nino merupakan sebuah fenomena cuaca yang terjadi akibat peningkatan suhu permukaan air di Samudra Pasifik Tengah dan Timur yang menjadi lebih hangat dari biasanya. Dampak dari El Nino menyebabkan perubahan pola cuaca global, yang berdampak secara signifikan pada iklim di berbagai belahan di dunia, termasuk di Indonesia sehingga terjadi kondisi kering dan berkurangnya curah hujan yang meningkatkan potensi bencana kebakaran lahan dan hutan. 

Kejadian karhutla memang membawa dampak kerugian bagi kesehatan dan ekonomi masyarakat, bahkan hilangnya nyawa. Berbagai upaya yang telah dikerahkan pemerintah pun tidak menyentuh persoalan mendasar.

Manajer kajian kebijakan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Boy Even Sembiring pernah mengatakan bahwa kebakaran hutan yang terjadi bukan saja ulah manusia, tetapi juga negara sebagai pembuat kebijakan. Kebijakan ini mencakup pemberian izin yang dikeluarkan pemerintah pusat dan daerah terkait pemanfaatan lahan pembukaan perkebunan dan berbagai kebijakan yang berimbas pada pembakaran hutan. 

Sebagaimana diketahui bahwa ketentuan Pasal 51 ayat 1 dan 2, Peraturan Presiden (PP) No. 104 Tahun 2015 melegalkan keterlajuran perkebunan di kawasan hutan, bahkan disfungsi hutan lindung dan konservasi. Karena itulah, karhutla sejatinya adalah problem yang sistemis, yakni akibat penerapan sistem ekonomi kapitalis. Dalam sistem ini, hutan dan lahan dipandang sebagai milik negara, bukan milik rakyat.

Karena itu, negara dipandang berwenang menyerahkan kepemilikannya kepada pihak swasta atau korporasi dalam mengelola dan memanfaatkan hutan dan lahan yang ada. Tentu saja korporasi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya tanpa mengeluarkan modal yang besar. Sementara, aktivitas membakar hutan dalam pembukaan lahan merupakan cara termudah dan sesuai target bisnis para korporat.

Karena itu, akar persoalannya adalah penerapan sistem kapitalisme yang telah membiarkan kaum kapitalis mengeruk untung dari petak umpet karhutla. Sementara, negara hanya bertindak sebagai regulator yang memuluskan para penguasa lahan, yaitu para korporat melalui kebijakan negara. 

Bencana karhutla hanya akan diakhiri secara tuntas dengan sistem Islam. Negara Indonesia sebagai negara tropis menjadi paru-paru dunia yang dibutuhkan oleh puluhan juta jiwa. Karenanya, pada hutan umumnya melekat karakter sebagai harta milik umum. 

Rasulullah saw. bersabda, 

"Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput (hutan), air, dan api." (HR. Abu Dawud)

Negara adalah pihak yang bertanggung jawab menjaga kelestarian fungsi hutan. Rasulullah saw. bersabda, 

"Imam adalah ibarat penggembala dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya (rakyatnya)." (HR. Muslim)

Jadi, apa pun alasannya, negara haram bertindak sebagai regulator bagi kepentingan korporasi dalam mengelola hutan. Sebaliknya, negara wajib bertanggung jawab langsung dan sepenuhnya dalam pengelolaan hutan, termasuk pemulihan fungsi hutan yang sudah rusak, serta antisipasi dalam penanganan kebakaran. 

Selain itu, penyerahan pengelolaan hutan pada pihak korporasi hingga berujung pada aktivitas pembakaran dan kerusakan fungsi hutan akan menjadi sumber bencana bagi jutaan orang. Hal sangat diharamkan di dalam Islam. 

Rasulullah saw. bersabda, 

"Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun membahayakan orang lain." (HR. Ahmad dan Ibnu Majah)

Hak konsesi tidak dikenal dalam Islam, karena pemanfaatan secara istimewa (himmah) hanyalah pada negara dengan tujuan untuk kemaslahatan Islam dan kaum muslimin. 

Rasulullah saw. bersabda, 

"Tidak ada himmah (hak pemanfaatan khusus) kecuali dengan Allah dan Rasul-Nya." (HR. Abu Dawud)

Jika kenyataannya masih terjadi kebakaran hutan dan lahan, maka wajib segera ditangani oleh pemerintah. Hal ini karena pemerintah wajib memperhatikan urusan rakyat dan memelihara kemaslahatannya. Tentu saja hal ini harus didukung oleh pendidikan untuk membangun kesadaran masyarakat serta mewujudkan kelestarian hutan dan manfaatnya agar dapat terus dinikmati generasi demi generasi. 

Semua ini hanya akan terwujud jika ditetapkan syariah Islam secara menyeluruh, yakni melalui penerapan syariah Islam dalam sistem Khilafah Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian. Wallaahu a'lam bi ash-shawaab.

Oleh: Nia Umma Zhafran, 
Sahabat Tinta Media
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :