Tinta Media - Ironis dan terpukul melihat mental generasi saat ini. Mereka bagaikan debu yang bertebaran tak tentu arah. Tujuan hidup tidak pasti, aktivitas bebas, pergaulan kacau, adab tak punya, ditambah lingkungan pun kian hari kian memburuk dari sisi keteladanannya. Ternyata, semuanya tak lain disebabkan sistem yang bercokol di negeri ini, yaitu kapitalisme.
Ya, kapitalisme telah menggeruskan hati dan pikiran para generasi. Kapitalisme telah berhasil mengubah arah pandang mereka secara perlahan, namun pasti. Yang seharusnya untuk mencari rido
Allah Swt. tetapi berubah hanya mengejar popularitas dan materi.
Tak hanya itu, kapitalisme telah menjadikan generasi memiliki 'mental tempe'. Kematangan emosinya di titik nadir. Sosoknya mudah depresi, pragmatis terhadap dinamika kehidupan, perjuangan hidupnya salah arah, bahkan jauh dari karakter problem solver. Parahnya, selalu menjadikan bunuh diri sebagai solusi.
Bagi kapitalisme, generasi menjadi sasaran empuk untuk diterkam. Begitu mudah menjauhkannya dari jalan Islam, apalagi di era digitalisasi. Sebut saja beberapa platform, seperti Netflix, Tiktok, Youtube, Viu berhasil menyedot perhatian generasi. Mereka rela berjam-jam didepan ponselnya, hanya untuk memuaskan pikiran dan waktunya.
Tak heran, selama ini jutaan anak muda di Indonesia diasuh oleh produk-produk teknologi, gaya hidup, dan informasi hiburan kapitalistik. Mereka ditarget untuk menjadi penikmat/ konsumen industri
hiburan dan gaya hidup dari berbagai platform teknologi global. Walhasil, mereka terbawa arus digitalisasi yang kebablasan. Yang seharunya, menjadikan tekonologi sebagai ladang dakwah untuk mengejar pahala.
Akibatnya, jika tak terpenuhi, mereka depresi dan akhirnya terkena gangguan mental. Tak salah, banyak pakarnya yang menyebutkan generasi saat ini seperti 'strawbery'. Mereka terlihat kuat dari luar, tetapi rapuh didalam dirinya sendiri. Sebut saja, gangguan mental yang biasa terjadi yaitu kecemasan, kurang percaya diri, takut kehilangan sesuatu, ataupun takut ketinggalan dari berbagai
hal.
Sisi lain, hantaman generasi pun dihantuin dengan biaya pendidikan yang makin tinggi, tekanan komersialisasi kurikulum yang padat, dan paling parah adanya fenomena disfungsi keluarga muslim yang makin mewabah. Inilah konsekuensi nyata kehidupan generasi yang jauh dari agama.
Lantas mengapa sedemikian kejamnya kapitalisme? Karena kapitalisme beringinan keras menghancurkan generasi Muslim hingga tak tersisa. Semua yang melenakkan dirinya akan difasilitasi. Tanpa disadari, generasi Muslim terpedaya didalamnya, tanpa ada sedikitpun menolaknya.
Itulah wajah kapitalisme yang terus mengancam generasi Muslim dari berbagai sisi. Segala cara digaungkan demi mengukuhkan hegemoninya. Ide kebebasan berperilaku, kebebasan berpendapat
telah menjadi corong dalam semua perbuatan mereka.
Walhasil, generasi tumbuh menjadi remaja yang sekuler. Mereka tidak mampu mengaitkan antara masalah hidupnya dan keberadaan Allah sebagai Sang Maha Pencipta sekaligus Maha Pengatur.
Mereka tidak punya “sandaran” yang kukuh untuk menopang jiwanya. Hanya jalan pintaslah yang selalu terbesit dalam pikiran mereka.
Sungguh, ini adalah tragedi besar. Generasi yang semestinya menjadi pejuang peradaban, ternyata mengalami krisis jati diri yang begitu parah, yang berdampak pada gangguang kesehatan mental. Jadilah, mereka enggan untuk berjuang dalam penegakkan syariat Islam kaffah.
Maka, perlulah generasi Muslim senantiasa mengisi aktivitas hariannya dengan melakukan amal yang mendekat kepada Allah. Yang nantinya akan memberi efek munculnya kecenderungan untuk taat dan
tidak tergoda dengan maksiat, meskipun menggiurkan.
Selain itu, generasi Muslim harus menjadikan Allah sebagai satu-satunya tujuan hidupnya, sehingga tidak akan mudah galau, apalagi putus asa. Niatkan semua karena Allah. Menuntut ilmu karena Allah, menjalani aktiviatas apapun karena Allah, meraih berbagai prestasi semata karena Allah. Ditambah menghadapi berbagai persoalan hidup pun harus yakin ada Allah yang akan membantunya. Inilah yang akan menguatkan hati dan menjauhkan diri dari gangguan mental.
Oleh: Citra Salsabila (Pemerhati Remaja)