Faisal: Konstruksi Hukum Investasi Rempang Eco-City Cacat - Tinta Media

Rabu, 20 September 2023

Faisal: Konstruksi Hukum Investasi Rempang Eco-City Cacat

Tinta Media - Penulis Buku Republik Investor Faisal S. Sallatalohy, SK.M., M.H. menilai konstruksi hukum dalam investasi Rempang Eco-City cacat karena tidak memiliki alas hukum yang sah terkait pembebasan lahan Rempang.

“Pembebasan lahan Rempang untuk proyek Rempang Eco-City ini jelas cacat karena tidak memiliki alas hukum yang sah terkait pembebasan lahan Rempang,” ulasnya kepada Tintamedia.web.id, Ahad (17/9/2023). 

Setidaknya, menurut Faisal ada tiga alasan kenapa cacat hukum. Pertama, BP Batam (Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam) belum memiliki Sertifikat HPL (hak pengelolaan) yang diterbitkan Kementrian Agraria. 

“BP Batam baru mengantongi SK sementara. Penerbitan SK bersyarat itupun hanya untuk 600 ha lahan Pulau Rempang. Dan ingat, SK Sementara tidak bisa menjadi alas hukum bagi BP Batam paksa warga kosongkan lahan. Harus dipenuhi syarat clean and clear dengan warga dulu. Setelah semua syarat dipenuhi, terbit Sertifikat HPL, baru BP Batam bisa perintahkan warga kosongkan lahan,” urainya. 

Namun kenyataannya, lanjutnya, belum kantongi sertifikat HPL, BP Batam sudah paksa warga kosongkan lahan. “Jelas melanggar hukum!,” ujarnya geram. 

Ia menyebutkan dalam SK sementara, BP Batam hanya kuasai 600 ha lahan pulau Rempang. Sementara dalam perencanaan proyek, disebutkan kebutuhan lahan 17.000 ha yang dimanfaatkan. Ia pun mempertanyakan 16.400 ha lahan sertifikatnya HPL-nya di mana. 
 
Berikutnya, dari total 17.000 ha kebutuhan lahan Eco-City, 7.500 ha lahan diperuntukan untuk proyek PT Gorup Xinyi. Lagi-lagi ia mempertanyakan tanah yang dikuasai BP Batam lewat penerbitan SK sementara hanya 600 ha, kurang 6.900 ha (600 ha - 7.500 ha = 6.900 ha, namun tidak ada SK HPL-nya.

Kedua, dari 17.000 ha lahan dimaksud, SK sementara yang dikantongi BP Batam hanya 600 ha. Selebihnya, 16.400 ha itu lahan hutan, secara hukum ini tidak bisa diterbitkan HGU-nya. 

“Artinya, pelaksanaan Proyek Rempang Eco-City adalah bentuk izin pemerintah kepada BP Batam, PT MEG, dan Xinyi Group membangun proyek tanpa HGU (Hak Guna Usaha) di lahan hutan Pulau Rempang,” tandasnya. 

Ketiga, ada kekeliruan soal kesepakatan pemanfaatan lahan untuk proyek “Rempang Eco-City” yaitu pelanggaran kesepakatan proyek BP Batam, Pemkot dan PT MEG di tahun 2004. 

“Rekomendasi DPRD adalah untuk Kawasan Wisata Terpadu Eklsusif (KWTE) tanpa relokasi penduduk Kampung Melayu Tua. Kenapa sekarang mendadak yang disiapkan adalah Proyek “Rempang Eco City”? Kesepakatannya apa? Eksekusinya apa?” tanyanya. 

Ia menjelaskan bahwa perubahan perencanaan proyek wajib dibarengi penerbitan perizinan baru termasuk amdal dan feasibility study tersendiri. “Jika tanpa perubahan izin, alias masih tetap menggunakan izin lama, maka PT MEG adalah perusahaan yang cacat hukum untuk beroperasi di Rempang,” tegasnya. 

Ia juga menyayangkan pemerintah yang semakin arogan menindas rakyat dan mendesak pengosongan lahan. Termasuk tingkah laku biadab pemerintah dan aparat yang menguat karena adanya sinyal Xinyi Group akan mencabut komitmen investasi jika persoalan pembebasan lahan tidak selesai sesuai waktu yang ditentukan. Maka itu, ia meminta seluruh masyarakat Indonesia harus bersatu melawan penjajahan dan perampasan lahan hidup masyarakat Pulau Rempang yang diinisiasi oleh pemerintah Indonesia.
  
“Masyarakat jangan lemah. Terutama warga adat Melayu Islam Pulau Rempang. Tanah itu hak dan milik mereka. Terus pertahankan. Makin kuatkan perlawanan terhadap pemerintahan "babu asing". Bertahan apapun yang terjadi,” tutupnya.[] Erlina
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :