Demi Investasi, Warga Rempang Harus Angkat Kaki - Tinta Media

Kamis, 28 September 2023

Demi Investasi, Warga Rempang Harus Angkat Kaki

Tinta Media - Malangnya Indonesiaku, konflik perebutan tanah antara rakyat dan penguasa kembali ramai di media sosial. Luka belum sembuh, kini sudah ada luka baru. Teringat peristiwa Wadas pada Selasa (8/2/2022) yang diramaikan oleh tagar #WadasMelawan, #SaveWadas, hingga #WadasTolakTambang. 

Saat ini, warga Rempanglah yang menjadi korban berikutnya. Bentrok antara penduduk di Pulau Rempang dengan aparat keamanan pun tak dapat dihindarkan dan menjadi sorotan banyak pihak. 

Konflik ini dipicu akibat rencana pengembangan kawasan industri baru, proyek Rempang Eco City di Pulau Rempang dan Galang, Batam.

Dilansir dari Kompas.com (8/9/2023), konflik ini dimulai ketika sekelompok warga memblokir jalan ketika tim gabungan hendak melakukan pengukuran lahan untuk memasang patok di sekitar Pulau Rempang. Keributan pecah ketika warga merobohkan pohon dan membakar sejumlah ban di akses jalan masuk, sementara pihak aparat kepolisian mulai menembakkan gas air mata. 

Bentrok antara pihak kepolisian dengan warga pun tak bisa dihindari. Pihak aparat secara membabi buta menembakkan gas air mata kepada warga. Banyak warga yang terluka dan diamankan, bahkan beberapa pelajar harus dilarikan ke rumah sakit. Anak-anak sekolah dasar harus merasakan trauma saat berangkat ke sekolah, dan masih banyak korban lainnya. 

Jika melihat tragedi ini, benarkah rencana pembangunan proyek pabrik kaca terbesar di Indonesia dengan investor Cina tersebut dilakukan untuk kepentingan rakyat? Bukankah ini yang dinamakan demi investasi rudapaksa, rakyat sendiri harus angkat kaki? 

Semua ini terjadi karena sistem negara yang meletakkan kedaulatan di tangan rakyat, pada praktiknya ada di tangan para oligarki. Paradigma kekuasaan negeri ini berlandaskan asas sekularisme kapitalisme neoliberal yang menuhankan kapital dan kebebasan. 

Negara hanya bertindak sebagai regulator (pengatur) kepentingan para korporasi. Jadilah negeri ini negeri korporatokrasi (pemerintahan perusahaan) bentuk pemerintahan yang kewenangannya telah didominasi oleh perusahaan-perusahaan besar. Penguasa abai dalam mengurus, apalagi melindungi (jiwa) rakyat, termasuk soal kepemilikan lahan dan segala yang menyangkut hajat hidup serta kemaslahatan orang banyak.

Dengan konflik Rempang ini, negara makin rapuh. Kerapuhan ini terjadi karena negara menjadi kaki tangan pengusaha dan investor, serta mengorbankan rakyat. Negara yang menerapkan sistem demokrasi telah menjadikan penguasa membela pemodal sebagai konsekuensi dari menjunjung tinggi kebebasan kepemilikan. 

Konsekuensinya, fungsi negara yang seharusnya mengurusi dan melindungi rakyat makin jauh dari harapan. Tidak ada perlindungan dari negara, malah rakyat merasa dizalimi. Inilah wajah negara sekuler sebenarnya.

Lalu, bagaimana Islam mengatasinya? Dalam Islam, kekuasaan dan kepemimpinan itu merupakan amanah yang wajib ditunaikan oleh penguasa karena akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Sehingga, setiap penguasa akan takut jika kebijakannya membuat rakyat menderita, terutama menyangkut hak kepemilikan lahan. 

Dalam sistem pemerintahan Islam, amanah kepemimpinan sepaket dengan penerapan aturan Islam yang mengatur segala aspek kehidupan. Salah satunya mengenai status kepemilikan lahan. Lahan hunian, pertanian, ladang, kebun, dan lahan-lahan yang telah ditempati merupakan kategori lahan milik individu/pribadi. Hutan, tambang, dan lautan merupakan lahan milik umum. Lahan kosong yang belum dihuni atau dikelola merupakan lahan milik negara.

Berdasarkan pembagian ini, maka negara tidak boleh membuat kebijakan melegalisasi perampasan hak lahan milik individu atau umum. Sedangkan lahan-lahan milik umum, Islam menetapkan pengelolaannya diserahkan pada negara untuk kemaslahatan rakyat. 

Jaminan optimalisasi pemanfaatan lahan semua diatur dalam UU Daulah yang telah disesuaikan dengan hukum syara. Seperti, aturan bagi siapa saja yang telah menelantarkan tanah miliknya selama tiga tahun maka ia akan kehilangan hak kepemilikan. Bagi siapa yang mengelola kembali lahan yang terlantar (tidak tampak pemiliknya selama tiga tahun), maka tanah itu menjadi miliknya.

Sifat para Khalifah yang takut untuk mengambil hak rakyat merupakan bentuk ittiba’ mereka terhadap Rasulullah saw.

“Barang siapa mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka akan dikalungkan kepadanya tujuh lapisan bumi pada hari kiamat nanti.” (HR Muslim)

Seperti pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, beliau kerap melakukan inspeksi untuk memastikan kesejahteraan, keadilan, dan keamanan warganya. Saat itu, beliau pun dengan tegas menegur Gubernur Mesir Amr bin Ash ketika berencana menggusur gubuk reot milik kakek Yahudi untuk proyek perluasan Masjid. Padahal, sebelumnya, Amr bin Ash telah berdiskusi secara baik-baik dengan kakek Yahudi tersebut, bahwa gubuknya akan dibeli dan dibayar dengan harga dua kali lipat.

Nasihat pahit dari Khalifah Umar membuat Amr bin Ash menangis dan menyesali perbuatannya. Kemudian, ia langsung membatalkan rencana penggusuran gubuk milik Yahudi tersebut. Itulah, keadilan hukum Islam yang pernah diterapkan selama berabad-abad.[]

Oleh: Nur Mariana Azzahra, Aktivis Dakwah
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :