Tinta Media - Kasus judi, terutama judi online saat ini sangat meresahkan. Meski telah jelas bahayanya, negara justru memandang kasus ini merupakan masalah yang sepele.
Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melaporkan, banyak warga berpenghasilan Rp100 ribu per hari menggunakan penghasilannya untuk berjudi. Karena desakan kebutuhan hidup atau terjebak gaya hidup, mereka memilih jalan pintas lewat judi online.
PPATK juga mencatat penyebaran uang melalui transaksi judi online ini meningkat tiap tahunnya. Saat ini, transaksi tersebut sudah mencapai 81 Triliun pada tahun 2022.
Kementerian Komunikasi dan Informatika telah melakukan upaya pemberantasan judi online ini, dengan melakukan pemutusan akses atau pemblokiran terhadap 846.047 situs yang mengandung konten judi online. Akan tetapi, pemerintah dalam hal ini terkesan kurang serius. Pasalnya, masih banyak oknum pemerintah maupun artis yang terlibat dalam mempromosikan judi online tidak terjerat hukum. Di samping itu, edukasi pemerintah terhadap masyarakat masih minim.
Tentu saja kasus judi online ini sangat meresahkan. Pasalnya, efek dari kasus ini mengakibatkan kecanduan, gangguan kesehatan mental, penurunan taraf ekonomi, meningkatnya kriminalitas hingga pencurian data. Meski telah jelas bahayanya, negara justru memandang sepele kasus judi online ini.
Inilah gambaran kehidupan kapitalisme. Negara tidak ambil pusing terhadap kerusakan masyarakat selama kasus tersebut tidak membahayakan kekuasaan penguasa.
Inilah masalahnya, kenapa judi online ini tidak akan pernah diberantas. Akan tetapi, hanya dilakukan pemblokiran saja sebagaimana yang dilakukan saat ini.
Pemberantasan judi online membutuhkan sistem yang tidak berkompromi sedikit pun dengan kerusakan. Sistem ini tidak lain adalah sistem Islam, yang menjadikan Al-Qur'an dan as-Sunnah sebagai sumber aturan untuk mengatur kehidupan berbangsa maupun bernegara. Seluruh aturan berasal dari hukum-hukum syariat. Maka ketika memandang judi, tidak ada pandangan lain kecuali keharaman.
Judi Online Haram
Keharaman judi online sudah sangat jelas. Bagi siapa saja yang memiliki ketakwaan, maka ia akan berusaha untuk menjauhinya.
Allah Ta'ala berfirman, "Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya meminum khamar, berjudi, (berkorban) untuk berhala, mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan, maka jauhilah perbuatan itu agar kamu mendapatkan keberuntungan." (TQS. Al-Maidah: 90).
Dari pandangan ini, Islam (Khilafah) tidak akan mengalokasikan wilayah khusus untuk para penjudi, sehingga ketika ada praktik-praktik judi, akan segera diselesaikan oleh khilafah. Hal ini karena praktik judi sangat membahayakan masyarakat.
Oleh karena itu, menyelesaikan kasus judi online ini sangat mudah dalam khilafah, sebab pemerintahan khilafah merupakan negara super power yang berdaulat atas negaranya, bukan negara materialistik, yang mencari keuntungan dari praktik haram.
Adapun mekanisme dalam menyelesaikan kasus yang demikian, khilafah akan mengerahkan para syurthah (polisi) bersama Qodhi Hisbah untuk melakukan penggerebekan. Qodhi Hisbah merupakan hakim yang mengurusi perkara penyimpangan yang bisa membahayakan hak jamaah.
Pengadilan Hisbah tidak memerlukan ruang sidang, tidak perlu menuntut dan yang dituntut, melainkan ada hak umum yang telah dilanggar, sehingga dalam menjalankan tugasnya, ia didampingi oleh beberapa syurthah untuk melaksanakan perintah dan menjalankan keputusannya seketika itu juga.
Adapun hukuman terhadap judi, adalah sanksi takzir, sebab judi termasuk perbuatan maksiat yang tidak memiliki sanksi hak dan tidak ada kewajiban membayar kafarat.
Syaikh Abdurahman Al-Maliki dalam Nidzomul Uqubat Fi al-Islam, menyebutkan hukuman bahwa takzir terdiri atas hukuman mati, cambuk, penjara, pengasingan, penyaliban, denda, pemboikotan atau pengucilan, pelenyapan harta, ancaman yang nyata, peringatan, pencabutan hak tertentu celaan dan ekspos.
Terkait dengan kadar sanksi takzir, Imam Al-Mawardi dalam Al-Ahkam as-Sulthaniah menjelaskan bahwa kadar hukuman diserahkan pada Qodhi dengan kadar yang bisa menghalangi pelaku kejahatan agar tidak mengulangi dan mencegah orang lain dari kemaksiatan tersebut.
Hukuman ini dilangsungkan di tengah-tengah masyarakat agar muncul ketakutan dan kengerian di hati kaum muslim, sehingga mereka tidak ingin melakukan kemaksiatan yang sama. Inilah efek zawajir (pencegahan) dari sistem sanksi Islam. Selain efek zawajir, juga akan menimbulkan efek zawabir (penebus), sehingga pelakunya akan jera dan diampuni dosanya.
Selain itu, khilafah akan mengedukasi masyarakat sehingga akan membuat individu muslim memiliki syakhsiyah Islam (kepribadian Islam) yang dapat membuat mereka secara individu mampu menahan diri dari perbuatan maksiat.
Bukan hanya itu, khilafah juga akan menerapkan sistem ekonomi Islam yang mengembangkan ekonomi riil dan menutup celah semua pelanggaran ekonomi nonriil, seperti judi online. Ketika ekonomi nonriil berkembang, masyarakat tidak kesulitan mendapatkan pelayanan. Ditambah lagi, pelayanan umum seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan dijamin oleh khilafah.
Nah, konsep inilah yang akan mewujudkan kesejahteraan di masyarakat, sehingga masyarakat tidak sempat berpikir untuk melakukan kemaksiatan seperti judi online, kecuali orang yang serakah.
Khatimah
Pemberantasan judi online harus dilakukan dari hulu hingga hilir. Penerapan sistem kapitalisme sekuler telah terbukti menjadi biang keladi atas persoalan judi online yang tidak kunjung selesai. Oleh karena itu, untuk melindungi masyarakat dari marabahaya, sudah selayaknya khilafah diterapkan.
Wallahualam bissawab.
Oleh: Astuti K
(Sahabat Tinta Media)