Tinta Media - Sejarawan, Nicko Pandawa menjelaskan bahwa masyarakat Rempang-Galang layak dimuliakan.
"Masyarakat Rempang-Galang telah berpartisipasi dalam kesultanan, sehingga layak dimuliakan," tuturnya kepada Tinta Media, Sabtu (16/9/2023).
Partisipasinya, ungkapnya, dalam bentuk pengabdian yaitu menjadi pasukan, membuat kapal, membuat senjata, penggalangan kapal, bahkan menjadi utusan, abdi dalem kepada sultan yang ada di Lingga dan Pulau Penyengat.
Bung Nicko, sapaan akrabnya juga menceritakan bahwasanya Batam termasuk Rempang-Galang merupakan bagian dari wilayah kesultanan.
"Ketika Kesultanan Johor dipecah oleh Inggris dan Belanda lewat Perjanjian London 1824, Johor memiliki wilayah di Semenanjung Kepulauan Riau, pusatnya di Pulau Penyengat. Sedangkan Rempang-Galang ketika masa Kesultanan Riau Lingga tahun 1830, Batam dipimpin oleh anak yang Dipertuanmudakan Raja Ali bin Daeng Kamboja, namanya Raja Isa berdiam di Nongsa. Inilah cikal bakal pemerintahan kesultanan atau wakil kesultanan yang ada di Pulau Batam dan sekitarnya termasuk Rempang-Galang," bebernya panjang lebar.
"Nama Nongsa, imbuhnya, berasal dari nama Raja Isa, yang memiliki nama, timang-timang dari kecil yakni Nong Isa. Sehingga nama tempat di Batam tersebut menjadi Nongsa. Adapun kekuasaan Raja Isa mencakup sampai pulau-pulau Batam dan sekitarnya. Termasuk Rempang-Galang," tambahnya.
Terakhir, ia menegaskan bahwa berdasarkan pengkajian sejarah, Rempang bukanlah tanah kosong. Sudah ada penduduknya sejak dahulu.
"Rempang-Galang ketika dipimpin oleh wakil dari yang Dipertuanmudakan Riau, berarti bukan tanah kosong? Ada penduduknya di situ, yakni suku laut di Riau khususnya Rempang-Galang," pungkasnya.[] Nur Salamah