Tinta Media - Cendekiawan Muslim Ustadz Ismail Yusanto (UIY) menegaskan bahwa negeri-negeri muslim tidak benar-benar merdeka.
“Negeri-negeri muslim itu tidak benar-benar merdeka. Mengapa? Karena negara-negara kapitalis imperialis akan selalu berupaya untuk menyebarkan paham dan mempertahankan pengaruhnya di seluruh penjuru dunia,” tuturnya dalam Fokus: Indonesia, Merdeka? di kanal Youtube UIY Official, Ahad (13/8/2023).
Ia melanjutkan, metodenya dengan penjajahan, yang intinya penguasaan atau pengendalian di berbagai bidang, seperti politik, ekonomi, sosial, pendidikan, budaya, serta pertahanan dan keamanan.
“Negeri Islam yang semula utuh bersatu menjadi terpecah belah. Bahkan, sebelum 1924 sudah dikuasai atau didukung oleh negara-negara kapitalis imperialis, di antaranya Aljazair oleh Prancis, Libya oleh Italia. Kemudian Irak, India, Palestina, Yordania, Mesir, dan negara-negara di kawasan Teluk dikuasai oleh Inggris,” bebernya.
Setelah PD I dan PD II, ungkapnya, wilayah itu kemudian merdeka. “Namun, negara-negara kapitalis imperialis Barat dan Timur sebenarnya tetap berusaha untuk menjajah wilayah-wilayah tadi dengan cara baru,” ujarnya.
Ia mencontohkan, di bidang ekonomi, seperti memberikan pinjaman dana dalam jumlah besar dengan dalih membantu negara berkembang, termasuk ke Indonesia. “Kemudian melakukan intervensi politik, seperti yang dilakukan institusi keuangannya, misalnya IMF dan World Bank. Mereka memaksakan kemauannya kepada suatu negara, baik secara langsung maupun tidak. Oleh karena itu, negara-negara muslim, termasuk Indonesia menjadi tidak merdeka secara politik,” ucapnya.
Selain itu, imbuhnya, melalui berbagai aturan yang dipaksakan, seperti pasar bebas dengan WTO-nya, privatisasi, dan semacamnya, maka sekalipun secara fisik merdeka, tetapi secara politik dan ekonomi masih terjajah.
Membebaskan Manusia
UIY menyatakan, ada pernyataan menarik yang perlu disimak saat Perang Qaidisiyah. “Saat itu, Rib’i bin Amir, utusan pasukan muslim, pada Perang Qaidisiyah menemui Rustum, panglima perang Persia. Rib’i mengatakan, tujuan kedatangan pasukan muslim adalah untuk membebaskan manusia dari penghambaan kepada manusia menuju penghambaan kepada Rabb-nya manusia,” tuturnya.
Perkataan ini, jelasnya, menegaskan bahwa dorongan futuhat Islam bukanlah materiel, seperti yang dilakukan negara-negara kapitalis imperialis kolonialis Barat saat merangsek ke Timur Tengah, Asia Tengah, Asia Selatan, dan Asia Tenggara.
“Dalam hal ini, Barat berusaha menemukan daerah baru untuk dieksploitasi hasil buminya tanpa sisa. Inilah semangat yang kita kenal dengan 3G: Gold, Glory, dan Gospel,” cetusnya.
Ia mengulas, Rib’i telah memberikan perspektif yang luar biasa kepada Rustum yang menduga motif pasukan muslim kurang lebih sama dengan Persia saat menaklukkan daerah-daerah baru. “Namun ternyata, Rib’i memberikan sesuatu yang tidak terpikirkan oleh mereka, yakni bahwa dorongan futuhat adalah tauhid,” paparnya.
Terakhir ia menyimpulkan bahwa, kemerdekaan yang hakiki dalam pandangan Islam adalah ketika seseorang atau masyarakat atau negara bisa tunduk sepenuhnya kepada seluruh perintah Allah. [] Irianti Aminatun.
“Negeri-negeri muslim itu tidak benar-benar merdeka. Mengapa? Karena negara-negara kapitalis imperialis akan selalu berupaya untuk menyebarkan paham dan mempertahankan pengaruhnya di seluruh penjuru dunia,” tuturnya dalam Fokus: Indonesia, Merdeka? di kanal Youtube UIY Official, Ahad (13/8/2023).
Ia melanjutkan, metodenya dengan penjajahan, yang intinya penguasaan atau pengendalian di berbagai bidang, seperti politik, ekonomi, sosial, pendidikan, budaya, serta pertahanan dan keamanan.
“Negeri Islam yang semula utuh bersatu menjadi terpecah belah. Bahkan, sebelum 1924 sudah dikuasai atau didukung oleh negara-negara kapitalis imperialis, di antaranya Aljazair oleh Prancis, Libya oleh Italia. Kemudian Irak, India, Palestina, Yordania, Mesir, dan negara-negara di kawasan Teluk dikuasai oleh Inggris,” bebernya.
Setelah PD I dan PD II, ungkapnya, wilayah itu kemudian merdeka. “Namun, negara-negara kapitalis imperialis Barat dan Timur sebenarnya tetap berusaha untuk menjajah wilayah-wilayah tadi dengan cara baru,” ujarnya.
Ia mencontohkan, di bidang ekonomi, seperti memberikan pinjaman dana dalam jumlah besar dengan dalih membantu negara berkembang, termasuk ke Indonesia. “Kemudian melakukan intervensi politik, seperti yang dilakukan institusi keuangannya, misalnya IMF dan World Bank. Mereka memaksakan kemauannya kepada suatu negara, baik secara langsung maupun tidak. Oleh karena itu, negara-negara muslim, termasuk Indonesia menjadi tidak merdeka secara politik,” ucapnya.
Selain itu, imbuhnya, melalui berbagai aturan yang dipaksakan, seperti pasar bebas dengan WTO-nya, privatisasi, dan semacamnya, maka sekalipun secara fisik merdeka, tetapi secara politik dan ekonomi masih terjajah.
Membebaskan Manusia
UIY menyatakan, ada pernyataan menarik yang perlu disimak saat Perang Qaidisiyah. “Saat itu, Rib’i bin Amir, utusan pasukan muslim, pada Perang Qaidisiyah menemui Rustum, panglima perang Persia. Rib’i mengatakan, tujuan kedatangan pasukan muslim adalah untuk membebaskan manusia dari penghambaan kepada manusia menuju penghambaan kepada Rabb-nya manusia,” tuturnya.
Perkataan ini, jelasnya, menegaskan bahwa dorongan futuhat Islam bukanlah materiel, seperti yang dilakukan negara-negara kapitalis imperialis kolonialis Barat saat merangsek ke Timur Tengah, Asia Tengah, Asia Selatan, dan Asia Tenggara.
“Dalam hal ini, Barat berusaha menemukan daerah baru untuk dieksploitasi hasil buminya tanpa sisa. Inilah semangat yang kita kenal dengan 3G: Gold, Glory, dan Gospel,” cetusnya.
Ia mengulas, Rib’i telah memberikan perspektif yang luar biasa kepada Rustum yang menduga motif pasukan muslim kurang lebih sama dengan Persia saat menaklukkan daerah-daerah baru. “Namun ternyata, Rib’i memberikan sesuatu yang tidak terpikirkan oleh mereka, yakni bahwa dorongan futuhat adalah tauhid,” paparnya.
Terakhir ia menyimpulkan bahwa, kemerdekaan yang hakiki dalam pandangan Islam adalah ketika seseorang atau masyarakat atau negara bisa tunduk sepenuhnya kepada seluruh perintah Allah. [] Irianti Aminatun.