Tinta Media - Cendekiawan Muslim Ustadz Ismail Yusanto (UIY) mengatakan, harus ada energi besar untuk melakukan perubahan.
“Untuk sesuatu yang bersifat mungkar, harus ada energi besar untuk melakukan perubahan,” tuturnya di acara Fokus: Kok Menolak Perubahan, Ada Apa? melalui kanal You Tube UIY Official, Ahad (30/7/2023).
Ini, lanjutnya, sebagaimana pesan Nabi, jika engkau melihat kemungkaran, seperti ketidakjujuran, ketidakamanahan, kezaliman, penindasan, ketidakcermatan, apalagi jika dilakukan oleh penguasa yang berefek kepada bangsa dan negara, maka tidak boleh diam.
“Harus diubah dengan tanganmu, kekuasaanmu. Jika tidak mampu, maka dengan lisanmu, sebagaimana para penyeru yang ingin menyadarkan. Namun, ketika ia berposisi penguasa, bukan dengan lisan, melainkan kekuatan,” tegasnya.
Ketika ada yang tidak menginginkan perubahan, lanjutnya, berarti ia anti terhadap pemberantasan kemungkaran. “Malah jangan-jangan ia merupakan bagian dari kemungkaran itu sendiri. Kalau ia bagian dari kemungkaran, maka ia yang harus diubah,” kritiknya.
Islam
Dalam pandangan Islam, ucap UIY, perubahan itu dilakukan dengan amar makruf nahi mungkar. “Ke mana arah perubahan itu? Ke arah yang makruf, yaitu sesuai dengan ajaran Islam,” tandasnya.
Dalam pandangan UIY, arah perubahan itu membereskan segala yang mungkar, tidak boleh dibiarkan. Ia memberikan contoh, menghentikan penindasan, korupsi, perzinaan, kaum “sesama”, pornografi, pornoaksi, dan kemungkaran lainnya. “Oleh karenanya, perubahan itu arahnya jelas, clear jika menggunakan kaidah agama,” yakinnya.
Ia heran kalau ada yang menentang perubahan. “Kalau mungkar, masa dipertahankan? Kalau mengarah ke makruf, kenapa tidak suka?” tanyanya retoris.
Sebenarnya, urai UIY, tidak ada manusia yang tidak menginginkan kebaikan atau rahmat. “Persoalannya, bagaimana mewujudkannya? Untuk itulah Islam diturunkan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan, baik dalam kehidupan individu, keluarga, masyarakat, maupun negara,” ungkapnya.
Yang pasti, tuturnya, ketika kita menjalani kehidupan ini, sesungguhnya kita sedang menjalani sebuah misi, yakni ibadah yang intinya ketakwaan kepada Allah Swt.
“Dengan kita menjalani kehidupan sesuai ketentuan Allah melalui penerapan syariat, maka misi ibadah itu bisa terwujud nyata. Oleh karenanya, seluruh sendi kehidupan, baik individu, keluarga, masyarakat, dan negara itu bernilai ibadah,” jelasnya.
Ia mempertanyakan, kalau sekarang di mana nilai ibadahnya? “Ekonominya menggunakan kapitalisme, budayanya berprinsip western yang hedonistik, lalu tatanan kehidupannya sekularistik, maka tidak ada nilai ibadahnya. Ibadah kita tereduksi hanya sebatas salat, membayar zakat, umrah, dan hal-hal yang bersifat ubudiyah belaka. Tidak lebih daripada itu. Ini kan kerugian besar,” sesalnya.
Untuk itulah, ia menasihati, perlu penjelasan dan pendekatan terus menerus agar umat sampai pada pengertian yang benar, yakni dengan dakwah, untuk meluruskan pemahaman yang keliru.
“Bagaimana bisa ia muslim, tetapi membenci Islam? Pasti ada yang salah. Ia lapar, tapi tidak suka pada makanan. Ia sakit, tapi tidak suka pada obat atau dokter, kan keliru. Begitu juga ini hari, sesungguhnya kita memerlukan obat, yaitu tatanan kehidupan yang baik yang datang dari Zat yang Maha Baik. Itulah Islam,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun.