Sport Tourism; Menarik Cuan dari Wisatawan Asing, Ga Bahaya Ta? - Tinta Media

Rabu, 23 Agustus 2023

Sport Tourism; Menarik Cuan dari Wisatawan Asing, Ga Bahaya Ta?

Tinta Media - Sejak dua tahun luluh lantak karena pandemi, pendapatan Indonesia di sektor pariwisata  menurun drastis hingga 90%. Sebelum pandemi Covid-19 melanda, sektor ini menyumbang US$15 miliar dalam setahun. Setelah status pandemi dicabut, pemerintah berupaya menghidupkan pariwisata agar bergeliat kembali demi meningkatkan devisa negara.

Tren healing dengan olahraga yang dikombinasi dengan berwisata yang semakin naik daun belakangan ini diharapkan mampu menarik wisatawan asing ke Indonesia. Istilah sport tourism atau wisata olahraga sedang popular, bahkan merambah go international. Sport tourism sendiri merupakan penyelenggaraan ajang olahraga yang include di dalamnya promosi wisata di suatu negara atau daerah. Ada dua jenis sport tourism yaitu hard sport tourism dan soft sport tourism. 

Untuk mengembangkan sport tourism ini, pemerintah Indonesia tengah mempromosikan program _sports tourism_ kepada wisatawan asing. Sederet _sport tourism_ dunia bakal diselenggarakan di Indonesia tahun ini. Indonesia menyiapkan kalender event sport tourism, dengan nama _SPORTIVE. SPORTIVE_, yaitu kalender _event_ olahraga, musik, dan kreatif yang akan diselenggarakan sepanjang 2023. Ajang ini digadang-gadang sebagai magnet untuk menarik kunjungan wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. (kemenparekraf.go.id)

_Sport tourism_ yang menjadi tren pariwisata baru ini diklaim memiliki pasar sangat besar dan luas, yang akan memberikan _multiplier effect_ pada kegiatan ekonomi masyarakat. Potensi alam yang indah, ragam kontur alam yang bervariasi serta wilayah yang luas dimiliki Indonesia. Ini dapat mendukung pengembangan _sport tourism_ di Indonesia. 

Jika mengacu data tahun sebelumnya, Indonesia mampu tumbuh diperkirakan mencapai hampir Rp18,79 T sampai tahun 2024. Hal ini disampaikan oleh Deputi Bidang Produk Wisata dan Penyelenggara Kegiatan (Events), Vinsensius Jemadu (liputan6.com, 5/7/2023).

Dengan potensi itu, Indonesia akan menjadi “surga dunia” yang dijadikan tempat penyelenggaraan _event sport tourism_ bertaraf internasional. Hal ini diperkirakan akan mampu mendatangkan wisatawan. Dengan durasi waktu yang relatif lama dalam penyelenggaraan haji, sport tourism akan mendatangkan banyak wisatawan (termasuk atlet) yang berpotensi meningkatkan permintaan kebutuhan akomodasi seperti hotel, restoran, dan penyelenggara perjalanan menjadi tinggi.

Tunduk pada Asing, Ga Bahaya Ta? 

Pengembangan sektor pariwisata sendiri sebenarnya bukan sematan tren lokal. Beberapa tahun proyek ini sudah diinisiasi dan diproyeksi akan menjadi penyelamat dunia dalam mengentaskan kemiskinan melalui UNWTO. 

UNWTO merupakan badan PBB yang berwenang mempromosikan pariwisata yang bertanggung jawab, berkelanjutan, dan _universally accessible_. 

Pada Sidang Majelis Umum UNWTO, negara-negara bersepakat bahwa pariwisata merupakan pilar pembangunan yang mampu menyerap banyak lapangan pekerjaan. Selain itu, pada tahun 2017, UNWTO mendeklarasikan Pembangunan Pariwisara secara berkelanjutan (_International Year of Sustainable Tourism for Development_) pada Januari 2017 di Madrid. Hal ini dinyatakan oleh Sesjen UNWTO bersama Raja Spanyol Felipe VI (detikcom, 5/12/2021).

UNWTO menjadi motor penggerak agar setiap negara benar-benar terlibat dalam bisnis yang menggiurkan ini. Ini karena kapitalisme memandang bahwa pariwisata menjadi salah satu devisa negara yang cukup besar. Tahun 2019,sektor perjalanan dan pariwisata menyumbang 10,3% PDB global atau US$8,9 T (setara Rp129,94 ribu triliun). Sektor ini mampu membuka lapangan pekerjaan sebanyak 330 juta di seluruh dunia. 

Dari sini, pemerintah Indonesia cepat merespon dan menyambut seruan ini. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan Ekonomi Kreatif (Parekraf) dibangun di wilayah Indonesia. Pemerintah Indonesia _gercep_ merespon dan menyambut seruan ini dengan  membangun Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf) di berbagai wilayah Indonesia. 

Namun, masih terbesit pertanyaan, siapakah penikmat surplus pertumbuhan ekonomi di sektor pariwisata? Mampukah pariwisata menggusur angka kemiskinan yang melambung? Apakah kehadiran pariwisata mampu mewujudkan pemerataan ekonomi masyarakat?

Sejauh ini, tiga pertanyaan tersebut belum terjawab dengan bukti empiris. Buktinya, UNWTO, sang prmotor pariwisara global belum mampu menunjukkan data akurat berapa persen kemiskinan terentaskan di wilayah destinasi pariwisata. 

Pertama, jebakan utang dan investasi.  Indonesia tentu akan memperkenalkan berbagai destinasi wisata olahraga yang telah atau sedang berjalan. Inilah kesempatan berharga bagi Indonesia berpromosi kepada negara-negara dunia dengan tawaran kerja sama investasi di bidang pariwisata. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa setiap investasi akan selalu berkelindan dengan utang investor untuk mendanai proyek tersebut. Kerja sama ini akan menjebak Indonesia pada tumpukan utang dan jerat investasi asing. 

Kedua, infiltrasi pemikiran dan budaya liberal. Pariwisata adalah cara paling efektif efisien untuk memengaruhi kehidupan masyarakat tujuan destinasi dengan pemikiran asing dan budaya dari luar. Interaksi antara penduduk lokal dan turis asing menyebabkan perubahan sosial yang memengaruhi pola pikir dan pola sikap terhadap nilai-nilai yang dipegang masyarakat.

Nampak dari bergesernya cara pandang masyarakat di kawasan wisata yang nilai agamanya makin terkikis, tetapi ramah dengan ide dan budaya liberal. Dari sini, pemikiran dan budaya asing melebur dalam kehidupan masyarakat, sehingga dapat mengubah gaya hidup, pandangan, cara berpakaian, hingga toleransi kepada wisatawan. 

Ketiga, eksploitasi alam di kawasan penduduk. Mengembangakn suatu wilayah untuk menjadi destinasi wilayah pasti butuh pemodal. Siapa mereka? Pemerintah yang pasti mengajak swasta atau investor, tidak mungkin dari penduduk lokal. Selain itu, terjadi alih fungsi lahan milik warga demi perluasan wilayah destinasi. Sementara warga sekitar yang tergusur cukup diberi kompensasi. Keuntungannya tetap mengalir pada pemilik modal.  

Kita sering terbuai dengan iming-iming manis lembaga global. Tanpa kita sadari, sejatinya kita sedang terjajah di negeri sendiri. Kita mengejar pendapatan “recehan”, tapi pemasukan besar seperi tambang, migas malah terabaikan. 

Wisata dalam Negara Khilafah

Negara Khilafah memandang pariwisata sangat berbeda dengan negara kapitalis. Di negara khilafah, sektor pariwisata bukanlah sumber devisa negara. Sumber pemasukan negara berasal dari _fai, kharaj, ghanimah, jizyah_, harta kepemilikan umum, dll. 

Dala Islam, objek wisata berorientasi untuk sarana dakwah dan di’ayah (propaganda) berupa keindahan alam dan peninggalan bersejarah. Objek wisata dapat dijadikan sebagai sarana memahamkan Islam kepada wisatawan. 

Di sisi lain, objek wisata juga digunakan untuk mengukuhkan keimanan dan keyakinan kepada Allah beserta peradabannya. Objek wisata juga bisa digunakan untuk menelusuri jejak dan peninggalan bersejarah. Siapapun yang melihat akan takjub dan yakin dengan keagungan Islam. 

Negara khilafah tidak akan menjadikan pariwisata sebagai sumber perekonomian, apalagi ladang bisnis. Pengelolaan SDA, harta negara, dan pos zakat sudah cukup memberikan pendapatan berlebih bagi keuangan negara.  

Selain itu, negara khilafah akan memastikan wilayah yang menjadi destinasi wisata tetap aman bagi lingkungan dan kehidupan di sekitar. Sebab, Islam melarang eksploitasi yang merusak alam dan lingkungan. Dengan penerapan Islam kaffah, justru menjadikan pariwisata berfungsi sebagai syiar yang memberi kebaikan dan kemaslahatan bagi umat manusia, lingkungan, dan alam

Oleh: Bunda Emma, Sahabat Tinta Media

Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :