Rakyat Dipalak dengan Pajak - Tinta Media

Selasa, 29 Agustus 2023

Rakyat Dipalak dengan Pajak



Tinta Media - Kepala Badan Pendapatan Daerah Jawa Barat (Bapenda Jabar) Dedi Taufik menghadiri acara Sosialisasi dan Edukasi Pajak provinsi Jawa Barat tahun 2023 di Hotel Grandia Bandung (15/08). Beliau menuturkan bahwa ada dua strategi dalam mengoptimalkan penerimaan pajak, yaitu dengan menggencarkan edukasi dan meningkatkan digitalisasi pelayanan melalui New Samsat Mobile Jawa Barat (New SAMBARA). 

Bapenda Jabar akan terus berupaya menjaga kepatuhan masyarakat dalam membayar pajak, khususnya pajak kendaraan bermotor, karena pajak tersebut menjadi kontributor terbesar dari lima pajak yang dikelola oleh Jabar. 

Pada semester 1-2023, Bapenda menargetkan sebesar 21,9 triliun. Pendapatan pajak yang sudah dibukukan mencapai RP10, 5 triliun. Dari pajak kendaraan bermotor didapat 48 persen yaitu RP4,2 triliun, bea balik nama kendaraan bermotor RP3 triliun, pajak bahan bakar RP1, 7 triliun, pajak rokok RP1,5 triliun, dan pajak air permukaan RP33 miliar. 

Kesadaran masyarakat Jabar dalam membayar kewajibannya adalah realisasi penerimaan pajak daerah. Bapenda Jabar perlu melakukan edukasi pajak di 19 titik prioritas pertama kabupaten dan kota, untuk menjaga kepatuhan pajak. 

Menurut Kepala Bapenda Jabar, edukasi pajak ini penting untuk memberikan informasi dan kebijakan pajak provinsi kepada masyarakat. Edukasi tahap awal dilaksanakan di Kota Bandung, Kabupaten Garut, Kabupaten Indramayu, dan Kabupaten Bandung pada 12 Agustus 2023. Pada minggu ke-4 Agustus 2023 akan dilaksanakan Bapenda di 10 kabupaten. 

Kepala Bapenda Jabar juga mengapresiasi masyarakat kota Bandung atas kepatuhan pembayaran pajak, sehingga terlaksana pembangunan daerah dengan baik. Pemprov jabar mengatakan bahwa  pajak masyarakat digunakan untuk meningkatkan pelayanan publik, seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur kota. Salah satunya adalah pembangunan mesjid Al-Jabbar yang didanai dari pajak. 

Ironi sekali ketika pemerintah mengatakan bahwa pajak semata untuk rakyat, tetapi pada kenyataannya, rakyat tidak merasakan kebermanfaatan pajak. Apa yang dikatakan oleh pemerintah bahwa pajak adalah pendapatan oleh dan untuk rakyat, kenyataannya digunakan untuk membiayai sektor publik, seperti listrik, BBM Pertalite, LPG 3kg. 

Meski semua itu disubsidi menggunakan pajak, tetapi pada faktanya tetap mahal. Seperti tarif listrik, air, yang harganya dirasakan oleh masyarakat sangat mahal. Begitu pula, pembangunan kereta api, jalan tol, rumah sakit atau pun sekolah. Semua berbiaya mahal sehingga  tidak bisa terjangkau oleh masyarakat. Apalagi jalan tol yang semakin mahal tarifnya, dan keberadaannya jarang dinikmati warga biasa. 

Jadi, faktanya memang berbeda dengan apa yang dikatakan pemerintah. Di dalam sistem demokrasi, pajak adalah sumber utama pendapatan negara. Negara akan terus mencari legitimasi untuk menambahnya, termasuk pungutan pajak pada rakyat, yang jelas-jelas sangat membebani kehidupan rakyat. 

Kekayaan alam yang dikelola asing, tentunya akan berpengaruh pada ongkos produksi, seperti pada penguasaan BBM dan batu bara yang mayoritas kepemilikannya dikuasai swasta. Hal ini tentu akan berpengaruh pada ongkos produksi tarif dasar listrik, sebab PLN banyak menggunakan BBM dan batu bara. 

Akan tetapi, apabila BBM dan batu bara dikelola oleh negara, tentunya tarif dasar listrik akan murah. Begitu juga dengan tarif pada komoditi lainnya. Hal yang wajar ketika harga sembako semakin naik dan kehidupan rakyat pun semakin terimpit. Rakyat miskin pun semakin terjepit. 

Ketika angka kemiskinan semakin tinggi, kemampuan masyarakat untuk membayar pajak semakin melemah. Karenanya pemerintah harus berutang. Utang luar negeri yang menjadikan beban negara semakin berat. Selain mendapat dosa besar karena bunga/riba yang begitu besar, juga harus membayar pokoknya. 

Poin kedua adalah selain sebagai sumber utama APBN, pajak pun ditengarai sebagai alat untuk memalak rakyat. Semua itu terlihat dari pengaturan pajak yang tajam pada rakyat, tetapi tumpul pada pengusaha. Apalagi, ada kompensasi bagi rakyat yang tidak bisa membayar pajak. 

Namun, ketika pengusaha yang beromzet trilyunan rupiah mangkir dari pajak, mereka justru dengan mudah mendapat ampunan pajak. 

Inilah sifat pejabat dalam sistem demokrasi, yaitu menghamba pada korporasi yang telah menyuntikkan dana pada saat suksesi, dan menjadikan jabatan sebagai ladang korupsi. 

Berbeda dengan Islam. Tata kelola keuangan dalam Islam tidak menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan utama kas negara. Pajak dalam Islam disebut dharibah. Dharibah tidak menjadi tumpuan kas negara, tidak pula dibebankan kepada seluruh warga, melainkan kaum muslimin yang kaya yang dipungut dharibah. Itu pun dilakukan ketika kas negara lagi kosong. 

Jadi, sangat jelas bahwa dalam sistem demokrasi kapitalis, negara telah memalak rakyatnya melalui pajak. Di sinilah urgensi diterapkannya syariat Islam. Kehidupan rakyat tidak akan terbebani oleh pajak, tetapi justru akan sejahtera, karena penguasanya akan mengurusi rakyat dengan benar, menjadi junnah dari segala kejahatan dan keburukan yang akan menimpa rakyatnya. Wallahu'alam.

Oleh: Enung Sopiah 
Sahabat Tinta Media
Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :