Tinta Media - Dulu, definisi politik yang paling gampang dipahami adalah definisinya Harold Lasswell (1936), pemikir politik asal Amerika.
Lasswell mendefinisikan politik sebagai berikut: politics is about who gets what, when, and how. Terjemahan bebasnya kira-kira begini: politik itu soal siapa, dapat apa, kapan dan bagaimana caranya.
Sampai di Indonesia mungkin bertambah satu: siapa dapat apa, kapan, bagaimana caranya dan "wani piro".
Tidak ada soal why-nya dalam politik.
Jika ditelisik definisi yang lahir dari konteks Barat tersebut, bisa jadi jawaban why atas kenapa berpolitik adalah karena ingin mendapatkan kekuasaan, struggle for power.
Dalam khasanah Barat tersebut, sepintas kita bisa mengenali bahwa pertanyaan why menjadi tidak begitu penting dalam politik ini. Tapi yang dominan adalah siapa nya yang bakal dapat apa yang mengemuka.
Maka, kita tidak terlalu heran jika sekarang ini bertebaran nama-nama calon pemimpin, walaupun tidak semuanya, di mana yang mengemuka adalah warna rambutnya, jumlah kekayaannya, cara memakai bajunya, dan tampilan-tampilan personal lainnya.
Definisi politik ala Barat jelas sama sekali tidak mendasarkan pada pemahaman agama. Bagi tradisi sekuler, maka agama adalah urusan privat sekalipun mereka mempercayai bahwa Tuhan itu Sang Pencipta mereka.
Tuhan hanya ada ketika mereka berada di tempat ibadah. Keluar dari sana, sepenuhnya Tuhan tiada. Urusan politik, ekonomi, sosial, pendidikan ya mutlak urusannya manusia. Aturannya ya aturannya manusia. Tuhan istirahat.
Bagaimana dengan Islam? Jelas beda. Mutlak beda. Islam tidak sekedar agama, tetapi ideologi. Islam adalah keyakinan yang darinya terpancar segala aturan hidup manusia mulai dari urusan transendental, misalnya ibadah (puasa, shalat, zakat, haji), hingga urusan privat (cara berpakaian, makan, minum), sampai urusan umum misalnya bisnis, ekonomi, politik, hukum, pendidikan, pergaulan bahkan politik luar negeri.
Pendek kata, Islam itu kaffah.
Lantas, bagaimana Islam mendefinisikan politik? Definisi politik paling gampang yang kita perlu kenali lebih dalam adalah yang muncul dari ulama besar Syekh Taqiyuddin an-Nabhani.
Politik adalah “ri'ayatu syuuni al-ummah dakhiliyyan wa kharijiyyan bil islam” (1953). Politik adalah pengaturan urusan umat baik di dalam negeri maupun juga luar negeri dengan cara Islam.
Apa tujuannya berpolitik dalam Islam? Tujuannya tidak lain adalah melanjutkan kehidupan Islam yang pernah Rasulullah SAW ajarkan dan diteruskan oleh para sahabat dengan kekhalifahan-kekhalifahan setelahnya.
Urusan umat tidak menunggu 5 tahunan. Urusan umat tidak menunggu karena mau pemilu.
Tetapi urusan umat adalah urusan 24 jam yang harus terus perlu diurusi untuk ditemukan solusinya menurut syariat Islam dan sesuai dengan teladan Nabi kita SAW.
Mengajari orang untuk mengganti bisnis yang kapitalistik menjadi sesuai syar’i adalah berpolitik.
Memberi edukasi kepada para pelajar, mahasiswa agar tidak pacaran dan mengenalkan sistem pergaulan Islam adalah berpolitik.
Mengenalkan publik untuk berpindah dari fashion yang serba terbuka aurat menjadi berpakaian yang syar’i adalah berpolitik.
Mengajak publik untuk aware dengan makanan dan minuman yang halal dan menghindari yang haram adalah berpolitik.
Dan tak lupa, "core of the core"-nya, mengajak dan mendakwahi seluas-luasnya khalayak untuk menegakkan hukum-hukum Allah dalam menyambut bisyarah Rasulullah, yaitu khilaafatan 'alaa minhajin nubuwwah, adalah tentu juga berpolitik.
Pendek kata, berpolitik adalah panggilan iman. Allahua'lam
Oleh: Ahmad Hanafi Rais
Mantan Anggota DPR RI