Tinta Media – Sejumlah kasus kekerasan, perundungan, diskriminasi dan
intoleransi yang mencuat di lingkungan sekolah, penanganannya belum
sepenuhnya berdampak signifikan bagi kalangan sekolah baik tenaga pendidik
maupun anak didik. Indikasi ini menunjukkan bahwa lingkungan pendidikan yang
aman, nyaman dan menyenangkan belum menjadi komitmen penuh satuan pendidikan
atau sekolah.
Baru-baru
ini misalnya seorang guru honorer di Kabupaten Minahasa cabuli 14 siswa SD
(kompas 7/8/23). Sementara kasus bullying juga tak kalah marak, di salah satu SMP Negeri di Ternate, seorang guru melakukan perundungan dengan mengancam salah seorang
siswanya dipenjara atau di DO dari sekolah (brindonews 31/8/23)
Belum
lagi dikutip dari siaran pers, Ketua Dewan Pakar FSGI (Federasi Serikat Guru
Indonesia) mencatat bahwa kasus perundungan di tanah air di satuan pendidikan
selama Januari – Juli 2023 ada 16 kasus. Kemudian penjelasan ini d tambah lagi
oleh Ketua Tim Hukum Fukum dari 16 kasus perundungan di sekolah, mayoritas
terjadi di ranjang jenjang SD (25%), SMP (2 %) , SMA (18,75%), dan di
MTs(6,25%), dan pondok
Pesantren
(6,25%). Adapun kasus tersebut salah satunya terjadi di SMP kabupaten Cianjur,
14 siswa yang terlambat di jemur dan ditendang oleh kakak kelasnya .
Kemudian
kejadian di Rejang Lebong, Bengkulu. Seorang siswa di tegur oleh gurunya
terkait ketahuan merokok, si guru sempat menendang anak tersebut. Dan pada
kesempatan lain orang tua siswa tidak terima dan membawa sebuah katapel. Yang
terjadi katapel Itu diserang ke arah guru. Sayang pihak rumah sakit menyatakan bola
mata pecah dan akhirnya sang guru mengalami kebutaan (permanen). (JPNN 7/8/23)
Pada
momen upacara HUT ke-78 RI, Menteri Pendidikan, Kebudayaan Riset dan Tekhnologi
(Mendikbudristek) dalam pidatonya berbicara tentang Permendikbudristek Nomor 46
Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan
(PPKSP). “ Gotong royong semua pihak, mulai dari kementerian, pemerintah
daerah, warga satuan pendidikan, sampai keluarga menjadi kunci dari segala
bentuk kekerasan pada ekosistem pendidikan.” Jelasnya. Dan ini merupakan payung
hukum bagi seluruh satuan pendidikan dalam pencegahan dan penanganan kekerasan
Namun
jauh panggang dari api upaya ini terus digaungkan bukan meminimalisir keadaan
justru bertambah parah. Pada faktanya seluruh masyarakat di tanah air akan
meyakini bahwa kasus demi kasus yang terjadi disekolah sewaktu-waktu bagai
fenomena gunung es, akan bisa terjadi kembali.
Sekularisme Sumber Masalah
Jika
ditelisik lebih jauh Permendikbudristek tentang PPKSP ini tidak menyentuh akar
persoalan. Ibarat seseorang yang ditimpa kecelakaan dalam berkendara bukan
dicari penyebabnya, apakah dari kendaraannya, medan jalannya atau sopirnya
sendiri. Tapi hanya menitikfokuskan pada korban.
Sejatinya
dalam kehidupan kita yang masih menganut ide kapitalisme-demokrasi yang berasas
sekularisme artinya memisahkan aturan agama dengan kehidupan. Maka pengabaian
terhadap agama adalah hal yang wajar. Sebab hukum buatan manusia ditetapkan
sebagai undang-undang bukan hukum yang berasal dari pencipta manusia itu
sendiri. Karena hukum buatan manusia sarat dengan kepentingan pihak yang
berkuasa dan pemilik modal.
Bagaimana
tidak, agama juga terpinggirkan sebab mata pelajaran yang membahas agama Allah Cuma
2 jam dalam sepekan. Sementara dalam berinteraksi dengan sesama manusia
diperlukan adanya adab, bagaimana seorang itu berlaku santun kepada sang guru
atau yang lebih tua juga berkasih sayang terhadap sesamanya dan yang lebih
muda. Sebab akidah dan moral akan lemah tanpa landasan agama.
Lingkungan
pergaulan yang buruk, masyarakat yang cuek, pola asuh, media sosial (internet)
yang bebas juga menjadi pemicu maraknya kekerasan seksual terhadap anak.
Belum
lagi buruknya kondisi perekonomian masyarakat yang memaksa masyarakat
menghalalkan segala cara dalam hal ini seorang ibu yang ia menjadi ummu wa
robbatul bait (pengurus urusan rumah tangga) tapi terabaikan saat anak-anak
membutuhkan belai kasihnya sebab ibu lelah dalam mencari nafkah.
Menyelesaikan
masalah dibawah paradigma kapitalisme-sekuler hanya harapan semu
Islam
Solusinya
Islam
memiliki mekanisme jitu memberantas kasus kekerasan terhadap anak baik
dilingkungan masyarakat, di sekolah maupun di rumah. Ada 3 pilar pelaksana
aturan Islam yaitu negara, masyarakat dan individu/keluarga.
Negara
berkewajiban menjadi pengayom, dan benteng seluruh masyarakat. Sebagaimana
Rasulullah bersabda : “Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap
pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban atas pihak yang dipimpinnya,
penguasa yang memimpin rakyat banyak dia akan dimintai pertanggung jawaban atas
rakyatnya.” HR. Bukhari dan Muslim.
Negara
menerapkan sistem pergaulan Islam. Menutup celah aktivitas yang mengumbar aurat
atau sensualitas. Sebab kejahatan seksual bisa dipicu oleh rangsangan dari
luar, mempengaruhi dan membangkitkan naluri seksual
Islam
membatasi interaksi laki-laki dan perempuan kecuali dalam hal kesehatan,
muamalah dan pendidikan.
Islam
juga memiliki sistem kontrol sosial yaitu amar ma’ruf nahi munkar. Sepatutnya
dilakukan setiap individu ketika melihat kemungkaran wajib mengingatkan dan
menasehati.
Sementara
dalam ekonomi, kebutuhan sandang, pangan papan setiap warga negaranya menjadi
tanggung jawab pemimpin dalam suatu negara, sebab tekanan ekonomi hari ini
memaksa ibu untuk bekerja. Kemiskinan tak jarang membuat anak pun ikut bekerja.
Pengaturan
negara atas nama media dibatasi pada konten yang membina ketakwaan dan
menumbuhkan ketaatan.
Yang
terakhir penerapan sistem sanksi menurut Islam. Hukuman tegas kepada pelaku
kejahatan.
Seluruh
mekanisme ini nantinya akan menghasilkan kondisi yang baik, aman, nyaman dan
menyenangkan dalam lingkungan sekolah. Mencetak generasi unggul dan cerdas
dalam sistem Islam, Institusi yang menerapkan aturan syariat Islam secara
kaffah (menyeluruh). Sebagaimana yang pernah terterapkan selama 1300 tahun di
dua pertiga belahan dunia.
Wallahu
a’lam bisshowab
Oleh : Lisa Herlina (Aktivis Dakwah, Pengurus Komunitas Muslimah Istiqomah)