Tinta Media - Direktur Pamong Institute Wahyudi Al Maroky M.Si. menilai, usulan presiden untuk mundur atau menghentikan kebijakan yang membuat negara semakin buruk, sangat konstitusional.
“Kalau kita lihat usulan rezim supaya mundur, supaya menghentikan kebijakan yang aneh-aneh bahkan mungkin mengarah kepada negara yang semakin buruk, saya pikir sangat konstitusional dan juga faktual,” ujarnya di Perspektif: Presiden Jokowi Mengundurkan Diri atau Menghadapi Aspirasi Rakyat? dikanal Youtube Pusat Kajian dan Analisis Data, Rabu (16/8/23).
Wahyudi memberi alasan, agar rezim tidak terlalu jauh atau menyimpang dari garis konstitusi serta tujuan bernegara dan dimungkinkan mengarahkan negara ke situasi yang semakin memburuk.
“Baik pemimpin, presiden, atau level yang lain yang diberhentikan ditengah jalan itu sudah menjadi hal biasa dinegeri ini. Secara faktual juga pernah kita lakukan dan kita praktekkan di negeri ini. Kita tahu bahwa presiden pertama, Soekarno juga berhenti di tengah jalan sebelum masa jabatannya, berakhir,” ujarnya mencontohkan.
Dilihat dari track record lanjutnya, dari tujuh presiden, tiga dikategorikan dihentikan ditengah jalan karena kebijakan-kebijakannya. “Hampir semua presiden tidak berakhir (jabatanya) dengan mulus di negeri ini dan dikhawatirkan rezim saat ini akan menirunya,” cetusnya.
Artinya, sambungnya, Indonesia punya punya sejarah panjang, punya dasar untuk kepemimpinan itu tidak harus sampai di ujung masa kepemimpinannya, di masa periodenya, kalau publik merasa banyak sekali kebijakannya yang bertentangan dengan konsitusi bahkan dikategorikan menzalimi rakyatnya sendiri.
“Mending berhenti di tengah jalan sehingga bisa dilanjutkan oleh orang baru yang memang tidak punya catatan kesepakatan politik dengan oligarki, sehingga kebijakan yang pro oligarki dan anti kepada rakyat bisa dihentikan,” tandasnya.
Wahyudi menilai, itu salah satu solusi, sehingga efek kebijakannya yang buruk tidak membebani rakyat yang semakin mendalam dan semakin jauh.
“Kita juga tidak ingin negeri ini kekayaan alamnya terkuras habis sementara rakyatnya dihisap dengan berbagai pungutan pajak, jauh dari kesejahteraan,” pungkasnya. [] Setiyawan Dwi.
“Kalau kita lihat usulan rezim supaya mundur, supaya menghentikan kebijakan yang aneh-aneh bahkan mungkin mengarah kepada negara yang semakin buruk, saya pikir sangat konstitusional dan juga faktual,” ujarnya di Perspektif: Presiden Jokowi Mengundurkan Diri atau Menghadapi Aspirasi Rakyat? dikanal Youtube Pusat Kajian dan Analisis Data, Rabu (16/8/23).
Wahyudi memberi alasan, agar rezim tidak terlalu jauh atau menyimpang dari garis konstitusi serta tujuan bernegara dan dimungkinkan mengarahkan negara ke situasi yang semakin memburuk.
“Baik pemimpin, presiden, atau level yang lain yang diberhentikan ditengah jalan itu sudah menjadi hal biasa dinegeri ini. Secara faktual juga pernah kita lakukan dan kita praktekkan di negeri ini. Kita tahu bahwa presiden pertama, Soekarno juga berhenti di tengah jalan sebelum masa jabatannya, berakhir,” ujarnya mencontohkan.
Dilihat dari track record lanjutnya, dari tujuh presiden, tiga dikategorikan dihentikan ditengah jalan karena kebijakan-kebijakannya. “Hampir semua presiden tidak berakhir (jabatanya) dengan mulus di negeri ini dan dikhawatirkan rezim saat ini akan menirunya,” cetusnya.
Artinya, sambungnya, Indonesia punya punya sejarah panjang, punya dasar untuk kepemimpinan itu tidak harus sampai di ujung masa kepemimpinannya, di masa periodenya, kalau publik merasa banyak sekali kebijakannya yang bertentangan dengan konsitusi bahkan dikategorikan menzalimi rakyatnya sendiri.
“Mending berhenti di tengah jalan sehingga bisa dilanjutkan oleh orang baru yang memang tidak punya catatan kesepakatan politik dengan oligarki, sehingga kebijakan yang pro oligarki dan anti kepada rakyat bisa dihentikan,” tandasnya.
Wahyudi menilai, itu salah satu solusi, sehingga efek kebijakannya yang buruk tidak membebani rakyat yang semakin mendalam dan semakin jauh.
“Kita juga tidak ingin negeri ini kekayaan alamnya terkuras habis sementara rakyatnya dihisap dengan berbagai pungutan pajak, jauh dari kesejahteraan,” pungkasnya. [] Setiyawan Dwi.