Tinta Media - Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal ll-2023 atau April-Juni sebesar 5,17% menurut pakar ekonomi Islam Nida Saadah, S.E., M.E.I., Ak. tidak berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat.
“Data pertumbuhan ekonomi di atas kalau dalam kacamata Islam tidak ada pengaruh apapun terhadap kesejahteraan masyarakat,” ungkapnya dikutip dari Muslimah News Selasa (15/8/2023).
Bahwa dalam sistem ekonomi kapitalis sekuler pertumbuhan ekonomi jika naik di atas 5 % itu menjadi hal yang seakan-akan membahagiakan para pejabat negara, ujar Nida, karena ukuran yang dipakai dalam sistem kapitalisme sekuler dengan ekonomi Islam sangat berbeda.
“Kalau dalam sistem kapitalisme sekuler dimana Indonesia menjadi salah satu negara yang mengadopsi sistem itu, maka pertumbuhan yang tinggi di atas 5% itu menjadi indikator bahwa ekonomi membaik. Sementara kalau dalam ekonomi Islam parameternya itu lebih rigid (detail) yang akan sulit dicapai oleh sistem ekonomi selain Islam,” jelasnya.
Menurutnya, ini terbukti dalam sejarah peradaban manusia, hanya Islam yang berhasil mewujudkan parameter yang rigid. Dikatakan ekonomi itu baik-baik saja jika parameternya itu sampai ke level individu, orang perorang.
“Andai penduduk Indonesia itu 250 juta orang, maka mulai dari yang usianya 100 tahun hingga bayi yang baru lahir semuanya harus terpenuhi kebutuhan asasinya berupa pangan, sandang, dan papan. Jika ada masalah pada satu orang saja dari 250 juta orang tadi, maka ekonomi ada masalah. Itu kalau ukuran yang dipakai ekonomi Islam,” ucapnya memberi contoh.
Dan itu, sambungnya, berhasil diwujudkan dalam peradaban Islam sejak pertama yang dimulai dibangun oleh Rasulullah saw. kemudian dilanjutkan oleh para khalifah, selama 13 abad lebih mampu menyejahterakan sampai ke level individu.
Intervensi
Nida memberi alasan, kalau sekarang ukurannya berganti menjadi menggunakan sistem pertumbuhan ekonomi, tentu saja karena meskipun Indonesia itu negeri mayoritas muslim tapi tidak menggunakan syariat Islam secara kafah dalam bernegara dan bermasyarakat.
“Peralihan ke neraca pertumbuhan itu terjadi seiring intervensi negara-negara maju ke negeri-negeri muslim yang notabene menjadi jajahan. “Sumber daya alamnya dikuasai, kemudian terjerat hutang, kemudian menjadi pangsa pasar,” jelasnya.
Dalam penilaian Nida,intervensi ini yang menyebabkan negara memiliki dua neraca, neraca APBN dan neraca pertumbuhan. Padahal, imbuhnya, cukup satu neraca saja yaitu APBN, yang kalau dalam istilah ekonomi Islam disebut baitul mal. Ada pemasukan, ada pengeluaran.
“Sedangkan neraca pertumbuhan itu sebetulnya agak aneh, karena dia memotret hal yang berbeda. Neraca pertumbuhan ini yang kemudian sering mengeluarkan data-data tadi, pertumbuhannya sekian persen,” ulasnya.
Padahal, lanjutnya, kalau melihat neraca induk (APBN) itu mudah. Ketika pengeluaran lebih besar dari pendapatan pasti ada masalah.
Ia lalu menyimpulkan bahwa neraca pertumbuhan itu adalah dekte negara maju kepada negara jajahan dalam rangka mengontrol pengeluaran dan penerimaan yang akan dilakukan negara jajahan.
“Dalam perjalanannya neraca pertumbuhan ini digunakan juga untuk memotret belanja masyarakat bagaimana mereka mengeluarkan pendapatannya dalam beberapa bulan, dalam berapa periode, dalam berapa kuartalnya. Tapi kalau itu digunakan untuk menyimpulkan bahwa ekonomi membaik ini adalah kesimpulan yang salah,” terangnya.
Terakhir Nida menekankan bahwa neraca pertumbuhan sama sekali tidak bisa dijadikan alat untuk mengukur kesejahteraan. Ini berbeda dengan yang diajarkan Islam dalam mengukur kesejahteraan. Sederhana sekali Islam mengukur kesejahteraan, hanya dengan melihat kondisi masing-masing orang dalam negara apakah kebutuhan pokoknya terpenuhi atau tidak.
“Semua negara di dunia hari ini gagal mewujudkan kesejahteraan manusia yang hidup di negara itu karena tidak menggunakan paramater Islam kafah dalam mengukur kesejahteraan,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun.
“Data pertumbuhan ekonomi di atas kalau dalam kacamata Islam tidak ada pengaruh apapun terhadap kesejahteraan masyarakat,” ungkapnya dikutip dari Muslimah News Selasa (15/8/2023).
Bahwa dalam sistem ekonomi kapitalis sekuler pertumbuhan ekonomi jika naik di atas 5 % itu menjadi hal yang seakan-akan membahagiakan para pejabat negara, ujar Nida, karena ukuran yang dipakai dalam sistem kapitalisme sekuler dengan ekonomi Islam sangat berbeda.
“Kalau dalam sistem kapitalisme sekuler dimana Indonesia menjadi salah satu negara yang mengadopsi sistem itu, maka pertumbuhan yang tinggi di atas 5% itu menjadi indikator bahwa ekonomi membaik. Sementara kalau dalam ekonomi Islam parameternya itu lebih rigid (detail) yang akan sulit dicapai oleh sistem ekonomi selain Islam,” jelasnya.
Menurutnya, ini terbukti dalam sejarah peradaban manusia, hanya Islam yang berhasil mewujudkan parameter yang rigid. Dikatakan ekonomi itu baik-baik saja jika parameternya itu sampai ke level individu, orang perorang.
“Andai penduduk Indonesia itu 250 juta orang, maka mulai dari yang usianya 100 tahun hingga bayi yang baru lahir semuanya harus terpenuhi kebutuhan asasinya berupa pangan, sandang, dan papan. Jika ada masalah pada satu orang saja dari 250 juta orang tadi, maka ekonomi ada masalah. Itu kalau ukuran yang dipakai ekonomi Islam,” ucapnya memberi contoh.
Dan itu, sambungnya, berhasil diwujudkan dalam peradaban Islam sejak pertama yang dimulai dibangun oleh Rasulullah saw. kemudian dilanjutkan oleh para khalifah, selama 13 abad lebih mampu menyejahterakan sampai ke level individu.
Intervensi
Nida memberi alasan, kalau sekarang ukurannya berganti menjadi menggunakan sistem pertumbuhan ekonomi, tentu saja karena meskipun Indonesia itu negeri mayoritas muslim tapi tidak menggunakan syariat Islam secara kafah dalam bernegara dan bermasyarakat.
“Peralihan ke neraca pertumbuhan itu terjadi seiring intervensi negara-negara maju ke negeri-negeri muslim yang notabene menjadi jajahan. “Sumber daya alamnya dikuasai, kemudian terjerat hutang, kemudian menjadi pangsa pasar,” jelasnya.
Dalam penilaian Nida,intervensi ini yang menyebabkan negara memiliki dua neraca, neraca APBN dan neraca pertumbuhan. Padahal, imbuhnya, cukup satu neraca saja yaitu APBN, yang kalau dalam istilah ekonomi Islam disebut baitul mal. Ada pemasukan, ada pengeluaran.
“Sedangkan neraca pertumbuhan itu sebetulnya agak aneh, karena dia memotret hal yang berbeda. Neraca pertumbuhan ini yang kemudian sering mengeluarkan data-data tadi, pertumbuhannya sekian persen,” ulasnya.
Padahal, lanjutnya, kalau melihat neraca induk (APBN) itu mudah. Ketika pengeluaran lebih besar dari pendapatan pasti ada masalah.
Ia lalu menyimpulkan bahwa neraca pertumbuhan itu adalah dekte negara maju kepada negara jajahan dalam rangka mengontrol pengeluaran dan penerimaan yang akan dilakukan negara jajahan.
“Dalam perjalanannya neraca pertumbuhan ini digunakan juga untuk memotret belanja masyarakat bagaimana mereka mengeluarkan pendapatannya dalam beberapa bulan, dalam berapa periode, dalam berapa kuartalnya. Tapi kalau itu digunakan untuk menyimpulkan bahwa ekonomi membaik ini adalah kesimpulan yang salah,” terangnya.
Terakhir Nida menekankan bahwa neraca pertumbuhan sama sekali tidak bisa dijadikan alat untuk mengukur kesejahteraan. Ini berbeda dengan yang diajarkan Islam dalam mengukur kesejahteraan. Sederhana sekali Islam mengukur kesejahteraan, hanya dengan melihat kondisi masing-masing orang dalam negara apakah kebutuhan pokoknya terpenuhi atau tidak.
“Semua negara di dunia hari ini gagal mewujudkan kesejahteraan manusia yang hidup di negara itu karena tidak menggunakan paramater Islam kafah dalam mengukur kesejahteraan,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun.