Tinta Media - Pernyataan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) yang menyebut bahwa ongkos politik calon legislatif di DKI Jakarta mencapai 40 miliar rupiah dinilai oleh Direktur Indonesia Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana sebagai refleksi bahwa praktek demokrasi berbiaya tinggi.
“Pernyataan Cak Imin ini bisa menjadi refleksi bagi kita semua bahwa memang praktek demokrasi itu berbiaya tinggi yang terjadi di Indonesia hari ini,” ungkapnya dalam video: Ujung-ujungnya Rebutan Balik Modal? Melalui kanal Youtube Justice Monitor, Selasa (15/8/2023).
Menurutnya, mahalnya ongkos pemilu dalam sistem demokrasi memang bisa dipahami. Hal ini terkait dengan paradigma kekuasaan dalam sistem ini yang tak lebih dari alat berburu materi, eksistensi, dan melanggengkan kekuasaan.
“Hal yang sama juga terjadi pada perwujudan kedaulatan rakyat dalam hal pemilihan pemimpin, di mana rakyat seakan dipaksa memilih calon pemimpin yang disodorkan oleh partai politik. Dengan demikian kedaulatan rakyat dalam memilih penguasa memang sudah dibatasi oleh partai politik,” imbuhnya.
Agung menilai, kondisi tersebut berpotensi membuat mafia politik semakin subur di panggung pemilu. Hal ini, lanjutnya, mencerminkan tatanan politik demokrasi yang seakan diatur secara terorganisir oleh sekelompok elit dari kalangan aristokrat dan pemilik modal yang saling bekerja sama untuk menjaga kepentingan bersama.
“Parpol berpotensi tidak lagi menjadi penyambung aspirasi rakyat tetapi berubah menjadi alat untuk tujuan kekuasaan dan harta,” duganya.
Meningkat
Dalam pandangan Agung, konsekuensi dari mahalnya biaya dan pragmatisme politik pemilu untuk kedepannya bisa jadi semakin meningkatnya gaji tunjangan, fasilitas, dan penghasilan yang semakin besar untuk penguasa dan anggota legislatif.
“Para penguasa dan politisi dikhawatirkan tidak berperan sebagaimana seharusnya, yaitu sebagai pemelihara dan pelayanan umat tetapi justru menjadi tuan bagi rakyatnya dan rakyat diposisikan sebagai pelayan,” ungkapnya.
Padahal, ujarnya, peran penguasa seharusnya adalah memelihara dan mengatur urusan-urusan rakyat. “Kepentingan dan kemaslahatan rakyat harusnya dikedepankan dan diutamakan, bukan malah mendahulukan kepentingan pribadi para penguasa dan korporasi,” sesalnya.
Ia membeberkan konsekuensi lain dari mahalnya biaya pemilu, yaitu rawan terjadi korupsi, kolusi manipulasi, dan sejenisnya untuk mengembalikan modal yang dikeluarkan.
“Ini yang menjadi koreksi bagi kita bersama. Kita memerlukan sistem dan pemimpin alternatif yang mampu menghantarkan bangsa ini diberkahi oleh Allah Swt. Saatnya kita berbenah saatnya kita berubah,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun.
“Pernyataan Cak Imin ini bisa menjadi refleksi bagi kita semua bahwa memang praktek demokrasi itu berbiaya tinggi yang terjadi di Indonesia hari ini,” ungkapnya dalam video: Ujung-ujungnya Rebutan Balik Modal? Melalui kanal Youtube Justice Monitor, Selasa (15/8/2023).
Menurutnya, mahalnya ongkos pemilu dalam sistem demokrasi memang bisa dipahami. Hal ini terkait dengan paradigma kekuasaan dalam sistem ini yang tak lebih dari alat berburu materi, eksistensi, dan melanggengkan kekuasaan.
“Hal yang sama juga terjadi pada perwujudan kedaulatan rakyat dalam hal pemilihan pemimpin, di mana rakyat seakan dipaksa memilih calon pemimpin yang disodorkan oleh partai politik. Dengan demikian kedaulatan rakyat dalam memilih penguasa memang sudah dibatasi oleh partai politik,” imbuhnya.
Agung menilai, kondisi tersebut berpotensi membuat mafia politik semakin subur di panggung pemilu. Hal ini, lanjutnya, mencerminkan tatanan politik demokrasi yang seakan diatur secara terorganisir oleh sekelompok elit dari kalangan aristokrat dan pemilik modal yang saling bekerja sama untuk menjaga kepentingan bersama.
“Parpol berpotensi tidak lagi menjadi penyambung aspirasi rakyat tetapi berubah menjadi alat untuk tujuan kekuasaan dan harta,” duganya.
Meningkat
Dalam pandangan Agung, konsekuensi dari mahalnya biaya dan pragmatisme politik pemilu untuk kedepannya bisa jadi semakin meningkatnya gaji tunjangan, fasilitas, dan penghasilan yang semakin besar untuk penguasa dan anggota legislatif.
“Para penguasa dan politisi dikhawatirkan tidak berperan sebagaimana seharusnya, yaitu sebagai pemelihara dan pelayanan umat tetapi justru menjadi tuan bagi rakyatnya dan rakyat diposisikan sebagai pelayan,” ungkapnya.
Padahal, ujarnya, peran penguasa seharusnya adalah memelihara dan mengatur urusan-urusan rakyat. “Kepentingan dan kemaslahatan rakyat harusnya dikedepankan dan diutamakan, bukan malah mendahulukan kepentingan pribadi para penguasa dan korporasi,” sesalnya.
Ia membeberkan konsekuensi lain dari mahalnya biaya pemilu, yaitu rawan terjadi korupsi, kolusi manipulasi, dan sejenisnya untuk mengembalikan modal yang dikeluarkan.
“Ini yang menjadi koreksi bagi kita bersama. Kita memerlukan sistem dan pemimpin alternatif yang mampu menghantarkan bangsa ini diberkahi oleh Allah Swt. Saatnya kita berbenah saatnya kita berubah,” pungkasnya. [] Irianti Aminatun.