MENUNGGU RESPONS MAHFUD MD SOAL 'TANTANGAN' DEBAT KHILAFAH - Tinta Media

Jumat, 11 Agustus 2023

MENUNGGU RESPONS MAHFUD MD SOAL 'TANTANGAN' DEBAT KHILAFAH

Tinta Media - Lagi-lagi, video Mahfud MD yang ngeyel soal mana dalil baku Khilafah dalam Al Qur'an beredar di beranda Sosial Media. Beberapa kali juga, sejumlah sahabat menanyakan tantangan itu pada penulis. 

Sebenarnya, penulis sudah lama melayani tantangan debat Khilafah yang diajukan oleh Mahfud MD. Saat itu, bersama sejumlah tokoh dan ulama Jabodetabek, penulis selaku ketua KPAU (Koalisi Persaudaraan dan Advokasi Umat) mendatangi kantor Kemenkopolhukam.

Penulis menyerahkan surat permohonan audiensi terkait pernyataan Mahfud MD yang menyebut Khilafah tak baku dan haramnya mendirikan negara seperti negaranya Nabi Muhammad Saw, pada 15 April 2022. Saat itu dalam suasana Ramadhan, kami sempat membuat konferensi pers didepan kantor Kemenkopolhukam.

Sampai saat ini, surat kami belum direspons oleh Mahfud MD. Meskipun menantang debat Khilafah, mengklaim jumlah yang kecil, sampai menuding cuma main di medsos, nyatanya surat resmi yang kami serahkan langsung ke kantor Mahfud MD untuk 'debat' Khilafah tak direspons.

Akhirnya, karena terlalu sering beredar video tantangan Mahfud MD tersebut, maka penulis berinisiatif membuat video yang menggabungkan tantangan Mahfud MD dan kedatangan penulis dan tim ke Kemenkopolhukam. Sekaligus, keterangan penulis yang siap menjelaskan dalil wajibnya Khilafah berdasarkan Al Qur'an, as Sunnah dan Ijma' Sahabat.

Dalil al-Qur'an tentang Khilafah diantaranya bahwa Allah SWT telah
berfirman menyeru Rasul Saw:

"Karena itu, putuskanlah perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu."

(TQS al-Maidah [5]: 48).

"Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan, janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka, dan berhati-hatilah terhadap mereka supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian wahyu yang telah Allah turunkan kepadamu."

(TQS alMaidah [5]: 49).

Seruan Allah SWT kepada Rasul saw. untuk memutuskan perkara di tengah-tengah mereka sesuai dengan wahyu yang telah Allah turunkan juga merupakan seruan bagi umat Beliau. Mafhûm-nya adalah hendaknya kaum Muslim mewujudkan seorang hakim (penguasa) setelah Rasulullah saw. untuk memutuskan perkara di tengah-tengah mereka sesuai dengan wahyu yang telah Allah turunkan. 

Perintah dalam seruan ini bersifat tegas karena yang menjadi obyek seruan adalah wajib. Sebagaimana dalam ketentuan ushul, ini merupakan indikasi yang menunjukkan makna yang tegas. Hakim (penguasa) yang memutuskan perkara di tengah-tengah kaum Muslim setelah wafatnya Rasulullah saw. adalah Khalifah, sedangkan sistem pemerintahannya adalah sistem Khilafah. 

Apalagi penegakan hukum-hukum hudûd dan seluruh ketentuan hukum syariah
adalah wajib. Kewajiban ini tidak akan terlaksana tanpa adanya penguasa/hakim, sedangkan kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengan adanya sesuatu maka keberadaan sesuatu itu hukumnya menjadi wajib. 

Artinya, mewujudkan penguasa yang menegakkan syariah hukumnya adalah wajib. Dalam hal ini, penguasa yang dimaksud adalah Khalifah dan sistem pemerintahannya adalah sistem Khilafah.

Adapun dalil dari as-Sunnah, di antaranya adalah apa yang pernah diriwayatkan dari Nafi’. 

Ia berkata: Abdullah bin Umar telah berkata kepadaku: Aku mendengar Rasulullah saw. pernah bersabda:

"Siapa saja yang melepaskan tangan dari ketaatan, ia akan menjumpai Allah pada hari Kiamat kelak tanpa memiliki
hujjah, dan siapa saja yang mati, sedangkan di pundaknya tidak terdapat baiat (kepada Khalifah), maka ia mati seperti kematian Jahiliah."

(HR Muslim).

Nabi saw. telah mewajibkan kepada setiap Muslim agar di pundaknya terdapat baiat. Beliau juga menyifati orang yang mati, yang di pundaknya tidak terdapat baiat, sebagai orang yang mati seperti kematian Jahiliah.

Baiat tidak akan terjadi setelah Rasulullah saw. kecuali kepada Khalifah, bukan kepada yang lain. Hadis tersebut mewajibkan adanya baiat di atas pundak setiap Muslim, yakni adanya Khalifah yang dengan eksistensinya itu terealisasi adanya baiat di atas pundak setiap Muslim. 

Adapun dalil berupa Ijmak Sahabat maka para Sahabat—semoga Allah meridhai mereka—telah bersepakat atas keharusan mengangkat seorang khalifah (pengganti) bagi Rasulullah saw. setelah Beliau wafat. Mereka telah bersepakat untuk mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah, lalu Umar bin al-Khaththab, sepeninggal Abu Bakar, dan kemudian Utsman bin Affan.

Sesungguhnya tampak jelas penegasan Ijmak Sahabat terhadap kewajiban pengangkatan khalifah dari sikap mereka yang menunda penguburan jenazah Rasulullah saw. saat Beliau wafat. Mereka lebih menyibukkan diri untuk mengangkat khalifah (pengganti) Beliau, padahal menguburkan jenazah setelah kematiannya adalah wajib. 

Para Sahabat, yang berkewajiban mengurus jenazah Rasul saw. dan menguburnya, ternyata sebagian dari mereka lebih menyibukkan diri untuk mengangkat khalifah dan menunda pemakaman jenazah Beliau; sebagian yang lain membiarkan penundaan itu; mereka sama-sama ikut serta dalam penundaan pengebumian jenazah Rasul saw. sampai dua malam. Padahal mereka mampu mengingkarinya dan mampu menguburkan jenazah Rasulullah saw. 

Rasul saw. wafat pada waktu dhuha hari Senin dan belum dikuburkan selama malam Selasa hingga Selasa siang saat Abu Bakar dibaiat. Kemudian jenazah Rasul dikuburkan pada tengah malam, malam Rabu. 

Jadi, penguburan jenazah Rasul saw. itu ditunda selama dua malam, dan Abu Bakar dibaiat terlebih dulu sebelum penguburan jenazah Rasul saw. 

Dengan demikian, realitas tersebut merupakan Ijmak Sahabat yang menunjukkan keharusan untuk lebih menyibukkan diri dalam mengangkat khalifah daripada menguburkan jenazah. Hal itu tidak akan terjadi kecuali bahwa mengangkat khalifah lebih wajib daripada memakamkan jenazah. 

Para Sahabat seluruhnya juga telah berijmak sepanjang kehidupan mereka mengenai kewajiban mengangkat khalifah. Meski mereka berbeda pendapat mengenai seseorang yang dipilih sebagai khalifah, mereka tidak berbeda pendapat sama sekali
atas kewajiban mengangkat khalifah, baik ketika Rasul saw. wafat maupun saat Khulafaur Rasyidin wafat. 

Walhasil, Ijmak Sahabat ini merupakan dalil yang jelas dan kuat atas kewajiban mengangkat khalifah.

Rasanya, masih banyak yang bisa penulis sampaikan kepada Mahfud MD agar dia tidak salah kaprah soal dalil wajibnya Khilafah. Kalaupun tidak sependapat, semoga saja penjelasan itu tidak membuat Mahfud MD menghalangi dakwah menunaikan kewajiban Khilafah.

Namun sayang, tantangan debat Mahfud MD tidak serius. Setelah penulis layani, penulis datangi kantornya, sampai saat ini tidak ada respons atas surat yang penulis sampaikan kepada Mahfud MD. [].

Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H.
Advokat, Pejuang Khilafah
https://vt.tiktok.com/ZSLP8d59E/


Rekomendasi Untuk Anda × +

Bagikan artikel ini

Silahkan tuliskan komentar Anda yang sesuai dengan topik postingan halaman ini.

Artikel Menarik Lainnya :