Tinta Media - Pengasuh Majelis Baitul Qur’an, Yayasan Tapin Mandiri Amanah Kalimantan Selatan, Guru H. Luthfi Hidayat mengungkapkan makna dari Surat Al Baqarah ayat 200 bahwa Allah memerintahkan untuk memperbanyak berzikir, mengingat kebesaran Allah Swt. dan agar dalam berdoa tidak hanya untuk kepentingan dunia.
“Makna Surat Al Baqarah ayat 200 adalah Allah mengingatkan kita untuk banyak mengingat Allah, agar dalam berdoa tidak hanya untuk kepentingan dunia,” ungkapnya dalam Kajian Jumat Bersama Al-Qur’an: Memperbanyak Menyebut Kebesaran Allah setelah Manasik Haji, di kanal Youtube Baitul Qur’an Ta’lim Center, Jumat (4/8/2023).
Ia lalu membacakan ayat tersebut,
فَإِذا قَضَيْتُمْ مَناسِكَكُمْ فَاذْكُرُوا اللَّهَ كَذِكْرِكُمْ آباءَكُمْ أَوْ أَشَدَّ ذِكْراً فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنا آتِنا فِي الدُّنْيا وَما لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ
“Apabila kalian telah menyelesaikan ibadah haji kalian, maka berzikirlah (dengan menyebut) Allah, sebagaimana kalian menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyang kalian, atau (bahkan) berzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang berdoa: “Ya Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia”, dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat.” (TQS. Al Baqarah [2]: 200).
“Imam Ibnu Katsir menjelaskan ayat di atas dalam tafsirnya bahwa Allah Swt. memerintahkan hamba-hamba-Nya agar banyak berzikir dengan menyebut nama-Nya seusai menyelesaikan amalan manasik haji,” ujarnya.
Sementara, lanjutnya, makna dari firman Allah Swt. tersebut, disebutkan oleh Imam Al-Qurthubi dalam tafsir Al Jaami’ li ahkamil Qur’an, yaitu apabila kalian telah melakukan salah satu perbuatan dalam ibadah maka berzikirlah kepada Allah dan sanjunglah Dia dengan segenap kemahaan Dia.
Guru Luthfi mengatakan, Imam Al Qurthubi telah menerangkan dalam tafsirnya tentang kebiasaan orang-orang Arab dahulu sehingga turun surat Al-Baqarah ayat 200 ini.
“Apabila telah menyelesaikan ibadah haji mereka maka mereka berdiri di jumrah, kemudian mereka membangga-banggakan nenek moyang mereka dan mengenang hari-hari para pendahulu mereka yaitu hari-hari kemenangan, kemuliaan, dan yang lainnya.”
Ia pun mengutip pernyataan salah seorang dari orang-orang Arab dahulu. “Ya Allah, sesungguhnya ayahku adalah seorang yang agung kubahnya, seorang yang besar mangkuknya, dan kaya raya. Maka berikanlah kepadaku seperti apa yang telah Engkau berikan kepadanya. (Dalam kondisi tersebut) dia tidak akan menyebutkan selain ayahnya.”
“Kemudian turunlah ayat ini dengan tujuan untuk memfokuskan diri mereka (orang-orang Arab dahulu) berzikir kepada Allah melebihi kefokusan mereka dalam mengenang nenek moyang mereka pada masa jahiliah,” terangnya.
Ia pun menjelaskan perkataan dari Ibnu Abbas, Atha’, Adh-Dhatlak dan Ar-Rubai bahwa makna ayat tersebut adalah berzikir (dengan menyebut nama Allah), seperti anak-anak kecil menyebut ayah dan ibu mereka. Yakni mohon pertolongan kalian kepada-Nya dan kembalilah kalian kepada-Nya, sebagaimana yang kalian lakukan terhadap orang tua kalian sewaktu kalian masih kecil.
“Kalimat berikutnya dalam ayat ini:
فَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَقُولُ رَبَّنا آتِنا فِي الدُّنْيا وَما لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلاقٍ
Maknanya dijelaskan oleh Imam Ibnu Katsir, bahwa ayat ini mengandung celaan sekaligus pencegahan dari tindakan menyerupai orang yang melakukan hal itu,” ucapnya.
Ia melanjutkan, diriwayatkan oleh Said bin Jubair dari Ibnu Abbas, bahwasanya ada suatu kaum dari masyarakat Badui yang datang ke tempat wukuf lalu berdoa memohon kepada Allah untuk menjadikan tahun saat itu sebagai tahun yang banyak turun hujan, tahun kesuburan, dan tahun kelahiran anak yang baik. Dan mereka sama sekali tidak menyebutkan urusan akhirat.
Ia menutupnya dengan menyatakan bahwa Allah Swt. membimbing para hamba-Nya untuk berdoa kepada-Nya, banyak berzikir kepada-Nya.
“Karena saat itu merupakan waktu terkabulnya doa. Dan Allah pun pada sisi lain mencela orang-orang yang tidak mau memohon kepada-Nya kecuali untuk urusan dunia semata dan memalingkan diri dari urusan akhiratnya,” pungkasnya. [] Ageng Kartika