Tinta Media - Perbedaan pandangan adalah hal yang wajar selama pandangan tersebut memiliki argumentasi dan dalil.
Dalam kasus yang sedang dihadapi KPK terkait dugaan korupsi Basarnas, Saya berpendapat bahwa KPK telah sesuai hukum dan tidak melebihi kewenangannya. Hal ini berdasarkan dalil sebagai berikut:
Pertama, Merujuk Pasal 198 ayat (1), (2) dan (3) Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer bahwa menjelaskan Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Sedangkan proses penyidikan dilakukan oleh tim gabungan yang terdiri dari PM, Oditur dan penyidik umum. Tetapi perlu diketahui tim gabungan dibentuk berdasarkan keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Hukum dan HAM (Kemenkumham). Selama belum ada keputusan bersama Menteri Pertahanan dan Keamanan dengan persetujuan Menteri Hukum dan HAM (Kemenkumham) maka KPK dapat memungkinkan penyelidikan dan penyidikan berdasarkan Pasal 42 UU KPK yang berbunyi Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada peradilan militer dan peradilan umum. Terlebih lagi KPK telah menyatakan sejak awal KPK telah melibatkan Pusat Polisi Militer atau Puspom TNI untuk melakukan penyelidikan hingga penyidikan kasus tersebut;
Kedua, Bahwa perlu diketahui Basarnas merupakan lembaga nonkementerian dan bukan institusi militer, sehingga siapa pun pemimpinnya merupakan penyelenggara pemerintahan. Sehingga KPK memiliki kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang melibatkan Penyelenggara Negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tipikor yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau Penyelenggara Negara sesuai Pasal 11 ayat (1) huruf a UU 19 tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Ketiga, Bahwa perlu dilakukan audit apakah kerugian dugaan tindak Pidana tersebut lebih banyak merugikan kepentingan umum atau atau kepentingan militer. Untuk menentukan apakah lingkungan peradilan militer yang berwenang memeriksa dan mengadili suatu perkara, diukur dari segi “titik berat kerugian” yang ditimbulkan tindak pidana itu. Apabila titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletak pada kerugian lebih banyak pada kepentingan umum dan karenanya perkara pidana itu harus diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Apabila titik berat kerugian ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut terletakpada lebih banyak kepentingan militer sehingga perkara pidana itu harus diadilioleh Peradilan dalam lingkungan militer. Hal ini berdasarkan Pasal 200 Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer ;
Keempat, Bahwa jika KPK sudah merasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kenapa KPK meminta maaf?.
Demikian.
Oleh: Chandra Purna Irawan, S.H., M.H.
(Ketua LBH Pelita Umat dan Mahasiswa Doktoral)