Tinta Media - Kasus korupsi semakin merajalela dari tahun ke tahun, seolah tidak ada habisnya. Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mencegah kasus ini pun tidak efektif untuk mengurangi jumlah tindak korupsi. Termasuk di Kabupaten Bandung, banyak oknum instansi pemerintah yang tersandung kasus korupsi. Dadang Supriatna selaku bupati Bandung, mengungkapkan komitmennya untuk mewujudkan Good and Clean Government di lingkungan Pemkab Bandung. Ia juga berharap Pemkab Bandung dapat memerangi korupsi di wilayah pemerintahannya.
Dadang juga mengungkapkan bahwa ia telah melakukan banyak hal untuk mencegah korupsi, di antaranya melaksanakan reformasi birokrasi, perbaikan layanan publik dan penguatan, serta pengawasan secara lebih transparan dan akuntabel.
Hal tersebut disampaikannya dalam pelaksanaan acara sosialisasi penguatan anti korupsi di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bandung, pada Senin, (24/07/2023). Acara tersebut juga dihadiri oleh para anggota DPRD, sekretaris daerah, para asisten dan staf ahli, jajaran BUMD, dan kepala desa/lurah se Kabupaten Bandung. (Detik.com)
Jika kita cermati, korupsi seolah sudah menjadi budaya dan terjadi hampir di seluruh sektor, mulai dari level atas hingga level bawah. Berdasarkan data yang dirilis ICW (Indonesia Corruption Watch), ada 579 kasus korupsi yang telah ditindak di Indonesia sepanjang 2022. Jumlah itu meningkat 8,63% dibandingkan pada tahun sebelumnya, sebanyak 533 kasus.
Kasus korupsi ini terjadi di beberapa sektor, yaitu sektor utilitas 88 kasus, sektor pemerintahan 54 kasus, sektor pendidikan 40 kasus, sektor sumber daya alam dan perbankan sama-sama sebanyak 35 kasus. Yang paling banyak terjadi adalah di sektor desa pada 2022, yakni 155 kasus. (dataindonesia.id)
Korupsi merupakan kejahatan serius yang harus menjadi perhatian kita semua. Cara pandang hidup sekularisme, yaitu memisahkan agama dari kehidupanlah yang menjadi penyebabnya. Hal itu membuat para pejabat dan penguasa tidak segan menghalalkan segala cara demi memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri.
Selain itu, politik demokrasi juga membuat individu yang berupaya menginginkan kursi kekuasaan, harus menggelontorkan modal cukup besar saat kampanye. Sementara ketika menjabat, gaji yang didapatkan tidak sebanding dengan modal yang dikeluarkan. Sehingga, jalan yang mudah dan cepat pun di tempuh untuk mengembalikan modal saat pemilu, yaitu dengan korupsi.
Semakin merebaknya kasus korupsi juga disebabkan karena negara tidak tegas dan terkesan lemah dalam memberikan sanksi hukum terhadap para koruptor. Misalnya dalam beberapa kasus mega korupsi, pelaku hanya diberikan sanki ringan, yaitu beberapa tahun penjara dan denda.
Adapula pelaku korupsi yang ketika dipenjara mereka memiliki fasilitas mewah di dalam penjara tersebut. Padahal, mereka merugikan negara dan memakan uang rakyat dengan nominal yang terbilang fantastis.
Sanki penjara seperti ini tidak dapat menimbulkan efek jera bagi para pelakunya ataupun masyarakat. Akibatnya, dari tahun ke tahun kasus korupsi semakin menggurita.
Adanya lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi ( KPK ), juga tidak efektif mengurangi korupsi di negeri ini. Meskipun lembaga ini banyak menguak skandal mega korupsi, tetapi banyak juga yang kasusnya terhenti di tengah jalan atau di tepiskan. Belum lagi banyak kasus korupsi yang belum terkuak dan tidak tersentuh hukum. Jelas ini membuktikan bahwa Indonesia merupakan negara korup.
Demikianlah, selama sistem kapitalis liberalis demokrasi yang diterapkan, tidak akan pernah mampu menciptakan lingkungan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi. Kringinan untuk menghadirkan Good and Clean Government hanya akan menjadi khayalan belaka, selama ambisi para pejabat dan pemangku kebijakan dalam menjalankan kekuasaannya dijadikan sebagai ajang untuk mencari kekayaan dan kekuasaan.
Berbeda halnya dengan sistem Islam yang jelas melarang tindakan korupsi. Hal ini karena korupsi merupakan sebuah kejahatan yang serius dan juga dapat menimbulkan kerugian yang besar bagi negara maupun rakyat. Untuk itu, ada beberapa hal yang dilakukan oleh sebuah negara untuk mencegah terjadinya korupsi.
Pertama, negara mewajibkan syarat utama pengangkatan pejabat atau pegawai pemerintahan, yaitu memiliki keimanan dan ketakwaan yang kuat. Ini karena jabatan adalah amanah yang harus ditunaikan dengan baik dan akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak. Dengan landasan akidah yang kokoh, maka akan tercipta lingkungan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi.
Kedua, negara harus memberikan upah yang layak kepada pegawai pemerintah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, sehingga tidak akan terjadi tindak korupsi dan mereka akan berupaya sebaik-baiknya dalam melaksanakan tugasnya untuk meri'ayah atau mengurusi urusan umat.
Ketiga, memberikan sanksi yang tegas bagi para koruptor. Sanski yang diberikan juga harus dapat menimbulkan efek jera bagi para pelaku agar dapat mencegah kembali terjadinya korupsi dan juga mencegah orang lain melakukan hal yang sama.
Keempat, membentuk badan pengawas atau pemeriksa keuangan yang tugasnya mencatat dan menghitung jumlah kekayaan para pejabat pada saat sebelum dan sesudah menjabat.
Hal ini pernah dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, yakni mengangkat Muhammad bin Maslamah sebagai pengawas keuangan untuk mengawasi kekayaan para pejabat pemerintah dengan menghitung jumlah harta kekayaannya dari awal sampai akhir menjabat.
Apabila ada kejanggalan dalam penambahan hartanya, maka akan ditelusuri dari mana harta tersebut diperoleh, apakah sesuai dengan syariat Islam atau tidak. Jika tidak sesuai dengan syariat Islam, maka harta tersebut akan disita dan dimasukkan ke dalam kas negara.
Kelima, masyarakat juga harus ikut berperan menjadi penjaga serta pengawas dalam sistem pemerintahan. Apabila ada individu yang terindikasi melakukan korupsi, maka masyarakat harus segera melaporkannya kepada pihak berwenang.
Lima kebijakan tersebut dapat dijalankan dalam sebuah negara yang berasaskan akidah Islam, yaitu Khilafah Islamiyah, yang menerapkan Islam kaffah dalam pengaturan urusan rakyatnya. Dengan demikian, niscaya korupsi dapat dituntaskan hingga ke akarnya. Wallahu alam bi shawab.
Oleh: Dini A. Supriyatin, Sahabat Tinta Media