Tinta Media - Ucapan Ulil Absar Abdalla yang membuat dikotomi Khilafah menjadi Khilafah Siyasiyah dan Khilafah Tsaqofiyyah dinilai membodohi umat.
"Demikianlah Ulil berkhotbah menggurui dan membodohi umat Islam," ujar Pakar Fikih Kontemporer KH Shiddiq al Jawi, kepada Tinta Media, Rabu (26/7/2023).
Menurutnya, ide Ulil ini perlu diberi kritik-kritik secukupnya. Kyai Shiddiq menyampaikan empat kritik terkait pernyataan Ulil tersebut.
Kritik yang pertama, dikotomi Khilafah Siyasiyah dan Khilafah Tsaqofiyyah yang diujarkan Ulil itu kontradiktif dengan fiqih Islam karena bertentangan dengan hukum wajibnya Khilafah. Dalam kitab-kitab fiqih, lanjut Kyai Shiddiq, Khilafah yang sinonim dengan Imamah itu, hukumnya adalah wajib.
”Para imam yang empat, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Ahmad, semoga Allah memberi rahmat kepada mereka, telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) adalah fardhu (wajib)," ungkapnya melalui kutipan kitab dari ulama bernama Abdurrahman Al-Juzairi, dengan judul "Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzāhib Al-Arba’ah", 4/516.
Kritik yang kedua, Kyai Shiddiq
menilai dikotomi yang dibuat Ulil tidak jelas dasarnya. Ketidakjelasan ini,
menurutnya, bisa karena dua hal. Pertama, karena ingin mencari jalan tengah,
yaitu di satu sisi mengakui Khilafah, tapi di sisi lain tetap mempertahankan
NKRI.
"Ulil berusaha menyusun ide
agar dua hal tersebut (Khilafah dan NKRI) bisa terakomodasi semuanya. Maka Ulil
kemudian menggagas dikotomi Khilafah menjadi Khilafah Siyasasiyah dan Khilafah
Tsaqofiyyah. Padahal hakikatnya sistem republik yang terkandung dalam NKRI itu
sesungguhnya adalah konsep sekuler. Sistem republik sebagai konsep pemerintahan
yang lebih praktikal adalah hasil revolusi Prancis (tahun 1789), bukan berasal
dari khazanah fiqih Islam," tegasnya.
Kedua dikotomi yang dibuat Ulil, menurut Kyai Shiddiq, didasarkan pada sikap mensakralkan NKRI sebagai sistem final yang bersifat suci yang tidak bisa diubah secara absolut. "Sikap memfinalkan NKRI itu justru bertentangan dengan sejarah bentuk negara di Indonesia yang ddinamis dan bertentangan pula dengan aspek normatif dalam UUD 1945, khususnya UUD 1945 yang asli," tulisnya.
Kritik yang ketiga, Kyai Shiddiq
menilai tidak tepat ucapan Ulil bahwa Khilafah Tsaqofiyyah itu dilestarikan di
pesantren dalam bentuk ilmu, salah satunya tentang thareqat yang banyak
berkembang di pesantren. "Menurut saya, ungkapan Ulil ini tidak
proporsional, karena thareqat ini posisinya hanya sebagai salah satu unsur dari
kultur pesantren," ujarnya.
Kritik yang keempat, Kyai Shiddiq
menilai keliru perkataan Ulil yang bilang bahwa Thareqat Naqsabandiyah, yang
banyak diamalkan di pesantren, didirikan pada masa Khilafah Utsmaniyah.
"Secara historis, Ulil
keliru. Karena thareqat Naqsabandiyah lahir sebelum eksisnya Khikafah
Utsmaniyah. Thareqat Naqsabandiyah pertama kali muncul pada abad ke-14 M di
Turkistan. Pencetusnya bernama Muhammad bin Muhammad Baha’udin al-Bukhari, yang
kemudian mendapatkan gelar Syah Naqsyaband. Dia dilahirkan tahun 618 H dan
meninggal tahun 719 H, atau hidup antara 1317-1389 M," tuturnya.
Padahal, menurut penelusuran Kyai
Shiddiq, Khilafah Utsmaniyyah baru eksis sebagai Khilafah yang meneruskan
estafet kekhalifahan Khilafah Abbasiyah ketika Sultan Salim I di Turki berkuasa
pada 1512-1550 M.
Kyai Shiddiq menyatakan bahwa tidak benar kata Ulil bahwa Thareqat Naqsabandiyah didirikan pada masa Khilafah Utsmaniyah. "Ini salah secara historis. Ulil tidak teliti," pungkas Kyai Shiddiq. [] Hanafi