Tinta Media - Polemik penolakan pembangunan pasar Banjaran di Kabupaten Bandung memasuki babak baru. Sebelumnya, pemerintah Kabupaten Bandung dan Paguyuban Warga Pasar Banjaran menjalin Kesepakatan lewat akta perdamaian. Kini, para pedagang kaki lima (PKL) yang merupakan korban dari revitalisasi pasar Banjaran telah melaksanakan aksi unjuk rasa ke Jakarta, Senin (24 /07/2023).
Mereka yang tergabung dalam Panguyuban PKL dengan tegas menolak upaya revitalisasi pasar oleh pihak swasta. Selain itu, mereka melaporkan Bupati Bandung Dadang Supriatna ke Komnas HAM dan Mabes POLRI, dengan aduan dugaan korupsi dalam revitalisasi pasar tersebut.
Para PKL pun dikabarkan mengalami tekanan agar mereka mau menyetujui proses revitalisasi pasar. Mereka mengalami intimidasi dan kekerasan saat pembongkaran kios-kios (15)07/2023).
Bupati Bandung, Dadang Supriatna bersikeras menyebutkan bahwa pembangunan (revitalisasi) Pasar Banjaran bukanlah upaya swastanisasi, melainkan upaya kerjasama berbagai pihak sesuai dengan porsinya, yakni menggandeng Pemerintah Daerah selaku pelaksana pembangunan dan pengelola, dan para pedagang sebagai penggerak pasar.
Adanya dugaan korupsi di dalam revitalisasi pasar sesungguhnya bukanlah merupakan hal yang baru terjadi, sebagaimana pembangunan infrastruktur atau sarana prasarana umum untuk rakyat lainnya. Fakta tersebut merupakan sebuah keniscayaan dari kerusakan sistem yang diterapkan pada saat ini, yaitu sistem kapitalisme-sekularisme demokrasi.
Sistem ini sangat memberikan peluang terhadap praktik-praktik korupsi yang digunakan oleh para oknum penguasa atau para pejabat nakal di jajaran aparatur pemerintahan, mulai dari jual beli kebijakan, gratifikasi, suap- menyuap, hingga pungli dan lain sebagainya.
Hal tersebut terjadi karena mahalnya biaya politik atau jabatan di pemerintah. Ketika jabatan atau posisi kekuasaan tersebut didapatkan, ini adalah kesempatan untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan. Selain itu, gaya hidup materialistis dan hedonis menjadikan kebahagiaan hidupnya hanya sebatas pada materi saja. Karena itu, mereka menghalalkan berbagai macam cara untuk mendapatkannya, termasuk memanfaatkan posisi jabatan yang dimiliki.
Kebijakan yang dibuat hanyalah untuk memenuhi kepentingan diri dan kelompoknya, serta para kapitalis yang ada di belakang mereka. Jadi, bukan untuk kepentingan rakyat. Inilah praktik politik transaksional yang khas dalam demokrasi.
Alhasil, negara yang mayoritas penduduknya beragama muslim ini, justru subur dengan budaya korupsi.
Selama sistem aturan kehidupan kapitalisme-sekularisme-liberalisme masih diterapkan di negeri ini, maka korupsi tersebut tidak akan pernah berhenti.
Pembangunan atas nama rakyat hanyalah alat untuk menjadi ladang korupsi. Pada akhirnya, adanya revitalisasi pasar atau pembangunan sarana prasarana umum bukanlah untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, melainkan hanya untuk segelintir orang saja. Dengan demikian, kondisi para pedagang pasar tidak akan pernah lebih baik malah membebani.
Berbeda dengan pembangunan sarana prasarana umum dalam sistem Islam. Ketika Islam di tetapkan, tidak akan pernah ada lahan tumbuh suburnya korupsi karena dilandaskan pada politik negara yang menganut unsur ria'yah (pengaturan).
Sebagaimana sabda Rasulullah saw. Yang artinya:
" Imam (pemimpin/khalifah) adalah pengatur urusan rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang diurusinya." (HR Bukhari-Muslim)
Keberadaan penguasa di dalam Islam adalah untuk menerapkan aturan Islam, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Hal itu dilakukan semata-mata untuk kepentingan umat (rakyat). Negara menyediakan berbagai sarana pemenuhan kebutuhan rakyat, mulai dari kebutuhan primer, seperti sandang, pangan, dan papan, juga kebutuhan asasi rakyat, seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
Hal ini diwujudkan dalam bentuk pembangunan infrastruktur sarana umum, semisal pembangunan jalan, jembatan, rel kereta api, pasar, sekolah, rumah sakit, dan lain sebagainya, sepaket dengan sarana-prasarana pelayanannya, yang dapat menunjang pemenuhan kebutuhan rakyat.
Jikapun ditemukan praktik korupsi oleh pejabat atau aparatur pemerintahan, maka negara akan memberikan sanksi yang tegas terhadap pelaku, sehingga memberikan efek jera, baik kepada pelaku maupun kepada masyarakat secara umum.
Selain itu, sistem Islam pun akan melakukan kebijakan yang bersifat preventif (pencegahan), agar korupsi tidak terjadi. Mulai dari uji kelayakan para calon pejabat atau aparatur pemerintahan, penghitungan dan pelaporan kekayaan pribadi sebelum menjabat, ketika menjabat, dan sesudah menjabat. Ketika dipastikan ada kelebihan harta di luar yang seharusnya, maka harta tersebut harus diserahkan ke Baitul Mal.
Selain itu, negara juga menyiapkan SDM rakyat yang berkepribadian Islam untuk menopang pelaksanaan syariat Islam kaffah, hal ini dilakukan melalui penyelenggaraan pendidikan Islam yang berkualitas. Ini menjadi hal yang sangat penting, sehingga negara Islam yang tegak dan peradaban Islam yang akan dijalankan, diisi dan digerakkan oleh kaum muslimin yang memiliki ketakwaan yang tinggi, demi kemuliaan Islam dan kaum muslimin. Wallahu'allam Bishawab.
Oleh: Yuli Ummu Shabira
Sahabat Tinta Media