Tinta Media Semakin diperhatikan, dunia pendidikan di Indonesia tampaknya semakin suram. Dari hari ke hari, tidak pernah luput dari berbagai problematika, baik berkaitan dengan birokrasi administrasi sekolah, kurikulum, kualitas tenaga pendidik maupun siswa, dan lain sebagainya.
Persoalan demi persoalan dalam sistem pendidikan ini seakan tidak ada habisnya. Inilah keniscayaan sebuah sistem pendidikan yang dibangun di atas konsep sekulerisme (pemisahan antara agama dan kehidupan) serta kapitalisme (mencari keuntungan materi). Sebab, dua konsep ini tidak sesuai dengan fitrah dan kebutuhan umat manusia. Alih-alih melesat maju, pendidikan menjadi limbung tak terarah.
Pertama, dilihat dari segi kurikulum pendidikan Indonesia. Tentu masyarakat sudah tidak asing dengan tradisi "gonta-ganti" kurikulum yang entah apa tujuan dan perbedaan esensinya. Terkadang hanya berganti nama kurikulumnya saja, tetapi pelaksanaan pembelajaran tidak jauh berbeda. Banyak waktu dan biaya yang dihabiskan demi sosialisasi kurikulum baru, tetapi hasil pendidikan sama saja.
Terbaru, kurikulum merdeka digadang-gadang akan menjadi kurikulum yang lebih efektif bagi peningkatan kualitas peserta didik. Sebagaimana namanya, kurikulum merdeka pada dasarnya memberikan kebebasan kepada siswa untuk memilih sendiri cara belajar yang efektif bagi dirinya. Meski diramu sedemikian rupa sehingga terdengar baik dan menarik, tetapi jelas kurikulum ini mengandung unsur liberalisme.
Sangat mengkhawatirkan, sebab konsep kehidupan liberal mulai dimasukkan lewat kurikulum pendidikan. Selain itu, merdeka belajar justru akan membuat pendidikan semakin kacau karena kondisi tiap sekolah di Indonesia yang tidak sama. Ada sekolah dengan fasilitas yang bertaraf internasional, tetapi masih sangat banyak sekolah yang minim fasilitas, bahkan bisa dikatakan tidak layak. Jika kurikulum merdeka diterapkan, tentu pendidikan tidak akan sama rata. Sekolah dengan fasilitas lengkap akan melejit meninggalkan sekolah pinggiran yang gedungnya pun hampir roboh.
Kemudian fokus permasalahan yang kedua adalah birokrasi admistrasi sekolah yang amburadul. Baru saja masyarakat dihebohkan dengan persoalan penerimaan siswa baru melalui sistem zonasi.
Menggantikan cara penerimaan siswa baru sebelumnya yaitu dengan nilai tes, zonasi diharapkan memberikan keadilan dan kesempatan belajar sama rata. Inti tujuan sistem zonasi adalah agar siswa bisa bersekolah di sekolah yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Namun prakteknya, alih-alih memudahkan, akibat zonasi ini para siswa justru kesulitan mendapatkan sekolah.
Pasalnya, sistem ini sangat mudah dimanipulasi. Banyak nama-nama siswa yang diterima di sebuah sekolah, ternyata lokasi rumahnya sangat jauh dari sekolah. Nama-nama tersebut bisa diterima dengan jalan memanipulasi alamat rumah yang tertera pada Kartu Keluarga (KK).
Wali kota Bogor, Bima Arya bahkan menyempatkan diri "blusukan" untuk membuktikan alamat siswa yang diterima di SMP dengan jalur zonasi kabupaten Bogor. Hasilnya, sebanyak 155 siswa terbukti menggunakan alamat palsu. Faktanya, jual beli kursi siswa pun semakin subur. Muncul pertanyaan, apakah memang ini yang diharapkan dari sistem yang dirancang pemerintah? Ujung-ujungnya, mana yang bisa mendatangkan pundi-pundi uang. Sebuah kenyataan pahit kapitalisme yang harus ditelan oleh masyarakat.
Ketiga, bisa dikatakan paling krusial dalam sistem pendidikan adalah kualitas orang-orang yang ada di dalamnya, baik pengajar ataupun peserta didik. Bukan rahasia jika kondisi guru di Indonesia masih jauh dari sejahtera. Lebih-lebih bagi guru yang masih berstatus honorer, sangat jauh dari kata layak.
Menurut data Kemendikbud pada 2020, jumlah guru di Indonesia sekitar 3,87 Juta. Namun, tidak sampai setengahnya, yaitu hanya 1,15 juta guru yang mendapat tunjangan profesi.
Padahal, secara logis, minimnya gaji guru pasti akan berdampak pada kualitas pengajaran yang diberikan, kemudian akan menentukan kualitas siswa yang menjadi produk utama pendidikan. Maka tidak heran, dengan semua permasalahan yang terurai di atas, jika siswa di Indonesia terjerumus ke dalam berbagai jurang persoalan. Laman media setiap hari tidak pernah sepi dari pemberitaan kenakalan siswa, bahkan kriminalitas. Tak terhitung banyaknya kasus kriminal yang pelakunya masih berstatus siswa.
Di Mojokerto, dengan alasan dendam, seorang siswa SMP membunuh teman sekelasnya (kompas.com, 15/06/2023). Kendati tergolong di bawah umur, kasus asusila pun tak luput dari daftar tindakan kriminal oleh remaja atau siswa.
Baru-baru ini, empat pelajar di Semarang terjaring razia Satpol PP ketika melakukan kegiatan asusila di sebuah hotel (TribunMedan.com, 15)07/2023).
Tawuran yang merupakan kebiasaan buruk lama para siswa pun masih marak hingga saat ini. Jumat lalu (21/07) enam orang pelajar di Bekasi digelandang ke kantor polisi lantaran nongkrong sambil membawa sajam. Diduga kuat mereka akan melakukan aksi tawuran. Inilah potret kelam dunia pendidikan Indonesia. Tujuan mulia pendidikannya hanya menjadi slogan yang tidak pernah terwujud.
Pendidikan berlandaskan kapitalisme dan sekulerisme sampai kapan pun tidak akan membentuk karakter generasi yang kokoh dan berkualitas. Sistem pendidikan terbaik hanya bisa diwujudkan oleh Islam. Apabila menilik pada sejarah, terbukti Islam pada masa kejayaannya merupakan mercusuar pendidikan bagi dunia. Sistem pendidikan Islam yang bertumpu pada petunjuk Al Qur'an dan Sunnah, yang hanya bisa diwujudkan dalam sistem kehidupan Islam, adalah satu-satunya sistem yang mampu mencetak generasi cerdas, tangguh, serta beriman dan bertakwa kepada Allah Swt. Di tangan generasi seperti merekalah harapan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa dan negara, bahkan seluruh umat manusia bisa diwujudkan. Wallahu a'lam bisshawab.
Oleh: Dinda Kusuma W T, Sahabat Tinta Media