Tinta Media - Pasca pandemi Covid-19, masyarakat gemar melakukan "healing" dengan berwisata alam. Pemerintah menanggapi kecenderungan ini dengan mengeluarkan Program Desa Wisata (DW). Menurut Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparenkraf), tahun 2023 ini telah ada 4.674 desa wisata di seluruh Indonesia, bertambah 36.7 % dari tahun sebelumnya. Salah satunya adalah desa Alamendah yang baru-baru ini diresmikan dan mendapat bantuan dari Menparenkraf Sandiaga Uno.
Desa Wisata (DW) adalah sebuah program unggulan dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) yang menjadikan desa sebagai destinasi wisata dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan keindahan alam dan usaha produktif sesuai potensi desa yang bersangkutan. Selain itu, DW juga diharapkan dapat mengurangi arus urbanisasi dari desa ke kota, membantu UMKM masyarakat, dan meningkatkan pembangunan infrastruktur desa.
Pelaksanaan DW dilakukan dengan cara mengenalkan semua aspek pedesaan pada wisatawan, sehingga di sana terlibat masalah sosial, ekonomi, dan budaya. Pengelolaan DW tidak hanya dilaksanakan oleh masyarakat desa, melainkan dilibatkan juga unsur Pemerintah Daerah, pelaku bisnis pariwisata/ pengusaha, komunitas/masyarakat, akademisi, dan media. Kerja sama kelima unsur ini dikenal dengan nama Kolaborasi Pentahelix.
Kriteria suatu desa menjadi DW antara lain memiliki potensi alam atau buatan yang unik, jarak tempuh tidak terlalu jauh dari pusat kota, memiliki akses yang mudah ke lokasi dan masyarakat mendukung dengan menyediakan rumahnya sebagai "homestay" bagi wisatawan yang menginap. Masyarakat dan wisatawan dapat saling berinteraksi. Selain itu, harus tersedia fasilitas air bersih, listrik, telepon dan rumah makan.
DW memang menjanjikan kemajuan bagi desa, tetapi bila ditelisik, ada beberapa hal yang harus diperhatikan seperti:
Pertama, membangun infrastruktur dan fasilitas yang melibatkan banyak pihak memberikan peluang untuk terjadi bocornya dana (korupsi) di beberapa tempat, misalnya dalam perizinan, pembangunan infrastruktur, penyediaan fasilitas umum dan lain-lain. Terbukti dengan ditemukannya kasus dugaan korupsi seperti di Kab. Sleman dan Aceh yang dilakukan oleh pejabat daerah.
Kedua, membangunan DW hanya untuk desa yang dekat kota, lalu bagaimana dengan desa-desa yang jauh dari kota, bahkan di pedalaman? Apakah mereka tidak mendapat perhatian?
Banyak desa yang kondisinya memprihatinkan, tetapi belum tersentuh pembangunan dan tidak terperhatikan oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah. Jalanan rusak berkilo-kilo meter, jembatan ambruk tidak kunjung diperbaiki, sekolah hampir ambruk, sarana kesehatan jauh, dll.
Infrastruktur jalan dan fasilitas umum seperti itu tidak mungkin dibangun oleh warga desa sendiri, tetapi harus oleh pemerintah. Ini menunjukan bahwa pemerintah mengadakan pembangunan kalau pasti menghasilkan pemasukan. Orientasi ekonomi sangat kental dalam program DW ini.
Ketiga, yang penting adalah adanya arus budaya asing yang masuk ke desa. Masyarakat desa di Indonesia umumnya beragama Islam dan perilakunya santun. Sementara, budaya asing yang berpaham liberalisme membawa kebiasaan berpakaian terbuka, pergaulan bebas seperti L68T, narkoba, minuman keras atau makanan haram, sangat bertentangan dengan Islam, tentu berbahaya bagi akidah masyarakat. Bergaul dengan wisatawan asing, bisa meruntuhkan akidah dan perilaku santun kaum muslim pedesaan.
Demikianlah negara dengan sistem kapitalisme mengembangkan pariwisata, memakai segala potensi negeri, termasuk desa untuk kepentingan ekonomi semata. Negara menjadikan pajak pariwisata sebagai penggerak ekonomi tanpa mempertimbangkan kerusakan yang ditimbulkan.
Berbeda dengan Khilafah, dalam mengembangkan pariwisata didasari oleh penerapan hukum Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Khilafah akan menetapkan objek dan pelayanan wisata hanya yang makruf dan mencegah kemungkaran.
Alam dan peninggalan budaya Islam dikelola dengan tujuan untuk menanamkan pemahaman Islam kepada para wisatawan. Peninggalan budaya non-Islam yang tidak digunakan untuk ibadah oleh pemeluknya akan dihancurkan demi menjaga akidah kaum muslimin. Makanan minuman hanya disediakan yang halal dan thayib.
Daerah wisata oleh Khilafah hanya dijadikan sarana dakwah, tidak dieksploitasi untuk kepentingan ekonomi karena Khilafah mempunyai sumber tetap perekonomian negara, yaitu pertanian, perdagangan, industri, dan jasa. Sumber keuangan Khilafah juga didapat dari zakat, jizyah, kharaj, fa'i, ghanimah, dan dharibah.
Wallahu a'lam bish shawwab.
Oleh: Wiwin, Sahabat Tinta Media