Tinta Media - Seorang anak remaja menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Diketahui, korban merupakan warga kecamatan Ibun, Kabupaten Bandung, Jawa Barat.
Diawali dengan perkenalannya dengan seorang pria melalui facebook yang kemudain si pria menawarkan pekerjaan dengan gaji tinggi. Korban menyetujui tawaran tersebut dan akhirnya berjanji untuk bertemu di wilayah Karawang.
Dikarenakan usia korban saat itu masih dibawah umur, maka pelaku membantu membuatkan identitas palsu (KTP) dengan domisili Karawang. Setelah kartu identitas selesai, mereka kemudian berangkat bersama ke wilayah Bangka Belitung untuk mendapatkan pekerjaan yang dijanjikan.
Namun sungguh nahas, sesampainya di Bangka Belitung, wanita remaja tersebut malah menjadi korban perdagangan orang. Korban diiming-imingi pekerjaan yang layak dan upah tinggi. Namun, pada kenyataannya selama satu pekan di Bangka Belitung, korban hanya dipekerjakan sebagai pencari ikan dan dibebankan h
utang sebesar Rp3 juta.
Karena jeratan utang, korban tidak diperbolehkan untuk pulang sebelum melunasi utang tersebut dari hasil mencari ikan.
Sementara itu, Satreskrim Polresta Bandung, Polsek Ibun tidak bisa mengamankan tersangka yang memberangkatkan korban, sebab pembuatan KTP palsu tersebut ada di wilayah hukum Kepolisian Karawang, sehingga Satreskrim Polresta Bandung tak memiliki kewenangan untuk mengusut perkara ini.
Kejahatan TPPO sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Hanya saja, cara rekrutmen saat ini berkembang menyasar korban melalui daring (online). Pencegahan TPPO via daring pada akhirnya bukan satu-satunya menjadi tanggung jawab orang tua dalam pengawasan anak, tetapi negaralah yang memiliki tanggung jawab terbesar untuk melindungi rakyat dan generasi agar memberantas habis sindikat-sindikat perdagangan orang dan segala celah/peluang yang bisa menjadi jalan untuk menjaring korban-korban baru.
Namun, permasalahan TPPO ini seakan diabaikan oleh pemerintahan. Kalaupun ada upaya dalam pemberantasannya, tak pernah sampai pada akar permasalahan itu sendiri.
Sejatinya, selain disebabkan oleh faktor kemiskinan dan tidak adanya lapangan pekerjaan, permasalahan ini berakar pada rusaknya sistem kehidupan, sehingga rakyat mengambil jalan pintas demi memenuhi kebutuhan hidupnya.
Lemahnya pemahaman tentang Islam juga menjadikan orang mudah tergiur iming-iming, sehingga tak pernah berpikir panjang akan sebab akibatnya. Inilah watak kehidupan yang dianut oleh sistem kapitalisme sekulerisme, yang menafikan peran agama untuk mengatur kehidupan.
Akibat penerapan sistem ini, kemaksiatan kerap terjadi, permasalahan baru senantiasa muncul karena tidak terselesaikannya permasalahan sebelumnya.
Di era Digitalisasi ini, kejahatan, penipuan, dan kemaksiatan lainnya semakin marak. Sosial media, internet, gadget menjadikan semua kemaksiatan tumbuh subur karena tidak ada kontrol negara dalam media sosial. Sistem kapitalisme sekulerisme benar-benar telah melalaikan tanggung jawab negara terhadap rakyatnya.
Satu-satunya solusi untuk masalah ini tidak lain adalah dengan menerapkan aturan Islam secara kaffah. Sistem Islam mengharamkan berbagai macam penipuan di seluruh aspek mu'amalah, seperti jual beli, bisnis, politik, pendidikan dsb.
Pemimpin dalam Islam bertanggung jawab sepenuhnya atas urusan dan permasalahan umat. Maka dari itu, pemimpin dalam Islam wajib untuk melindungi dan menjaga rakyat, serta memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan bagi seluruh rakyat dengan sepenuh hati. Sebab, pemimpin dalam Islam sadar bahwa kepemimpinannya itu akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah kelak.
Oleh karenanya, negara akan menjatuhkan sanksi yang tegas bagi pelaku kejahatan sesuai dengan keterlibatan dan kejahatan yang mereka lakukan. Penerapan sistem sanksi Islam secara utuh ini akan dapat menyelesaikan, bahkan mencegah berbagai permasalahan, termasuk perdagangan orang. Maka, sudah saatnya kita kembali pada sistem Islam, agar keamanan dan kesejahteraan itu bisa terwujud. Wallahu'alam bishawab.
Oleh: Yuni Irawati
Ibu Rumah Tangga