Tinta Media - Direktur Indonesian Justice Monitor (IJM) Agung Wisnuwardana mengatakan, sungguh miris jika kritik dianggap fitnah.
“Sungguh miris, apabila kritik (materi dan visualnya) dianggap sebagai fitnah, hinaan, dan berita bohong,” ungkapnya dalam Program Justice Monitor : Ada Modus Baru Pembungkaman Hak Berpendapat? melalui kanal Youtube Justice Monitor, Senin (7/8/2023).
Modus itu muncul, sambungnya, lantaran penggunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang menjadi pasal karet.
“Imbasnya, kebijakan pemerintah yang berkuasa hanya menguntungkan segelintir orang dan merugikan masyarakat luas,” kritiknya.
Agung menegaskan, jika ada rakyat yang kritis atau berseberangan dengan pemerintah seharusnya jangan dianggap sebagai musuh serta menjeratnya dengan undang-undang.
“Undang-Undang yang kontroversial itu seolah-olah tujuannya memenjarakan orang yang kritis atau orang yang berlawanan dari rakyat, tapi membuat nyaman penguasa atau pejabat. Apabila arahnya ke sana tentu tidak boleh terjadi. Negara tidak boleh menempatkan rakyat sebagai musuh, tapi warga negara ada yang peduli, kalau ada yang salah, ada restorative justice (pengadilan yang melibatkan pihak terkait),dan begitu seharusnya,” tegasnya.
Agung menambahkan, bahwa kritik menjadi hal penting dari ekspresi konstruktif walaupun mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan, kebijakan dan tindakan pemerintah atau lembaga negara.
“Pada dasarnya kritik merupakan bentuk pengawasan, koreksi dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat. Saat ini tumbuh dan berkembang pula kualitas kontrol yang dihasilkan terhadap semua proses dan hasil pembangunan. Itu adalah hal yang wajar. Dengan fungsi itulah selayaknya kritik masyarakat tidak terbelenggu dengan ancaman delik dalam UU ITE maupun KUHP,” pungkasnya. [] Evi