Tinta Media - Mantan Anggota DPR RI Hanafi Rais S.I.P., M.P.P. menegaskan bahwa deklarasi kemerdekaan seorang muslim adalah ketika dia bersyahadat.
“Kemerdekaan bagi seorang muslim dimulai dari kemerdekaan pemikirannya. Deklarasi kemerdekaan seorang muslim adalah ketika dia bersyahadat. Dia meniadakan segala bentuk sesembahan, kecuali hanya menyembah Dzat Yang Maha Menciptakan,” tuturnya kepada Tinta Media, Kamis (17/8/2023).
Putra sulung mantan Ketua MPR-RI Amien Rais itu melanjutkan, men-declare pertama kali dengan kata "laa" ("tidak") ketika mengucap "laa ilaaha" adalah komitmen untuk menolak segala bentuk rupa kuasa manusia atas manusia.
“Cukup Sang Pencipta yang berhak berkuasa dan mengatur hidup manusia. Syahadat menjadi komitmen kemerdekaan kita semua untuk lepas dari segala bentuk penjajahan pemikiran, penjajahan manusia atas manusia, penjajahan kapital, sekaligus juga penjajahan nafsu atas akal,” imbuhnya.
Ia berharap, Indonesia yang mengakui Ketuhanan Yang Maha Esa sudah semestinya menegakkan komitmen di atas untuk menjadi negara yang merdeka seperti Yang Maha Esa inginkan dalam deklarasi syahadat tersebut tadi. “Jika tidak, maka kita belum pantas disebut merdeka, kita masih tetap terjajah. Merdeka itu sejak dari pikiran!” tandasnya.
Salah Sejak Awal
Hanafi menilai, Indonesia masih terjajah karena pemikirannya salah sejak dari semula. “Begitu kita mengakui Ketuhanan Yang Maha Esa, ketika kita sudah bersyahadat, maka segala bentuk turunan dari keyakinan dan pengakuan itu mestinya mewujud dan mengikat dalam kebijakan negara, perbuatan para pembuat kebijakannya, dan sikap masyarakatnya,” paparnya.
Negara yang mengakui Tuhan tapi menjalankannya dengan cara dan aturan yang bukan dari Yang Maha Benar, nilainya, maka memunculkan kekacauan demi kekacauan.
“Yang lebih gawat adalah ketika kita tidak lagi sadar bahwa kita ini sedang terjajah karena merasa manfaat yang dinikmatinya sekarang lebih baik daripada jaman nenek moyang kita. Ini adalah buah hegemoni pemikiran utilitarianisme. Yang dilihat hanya manfaatnya saja. Pemikiran semacam ini konsekuensi dari akidah yang memisahkan urusan rakyat, urusan negara, urusan umum dari agama atau ranah Tuhan (sekulerisme),” urainya.
Bertanya
Dalam pandangan Hanafi, untuk mencapai kemerdekaan hakiki, seluruh elemen negara dari elit politik, tentara, hingga level massa wajib kembali bertanya dan merekonstruksi pemahaman tentang makna syahadat dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa karena ini jadi pondasi kebangkitan umat dan bangsa.
“Mayoritas kita percaya Tuhan tapi kok terjajah, tapi kok tidak maju, tapi kok terbelakang? Maka jawabannya satu, kita bisa jadi sekedar percaya saja, tapi belum menjadikan Yang Maha Benar ini menjadi energi pendorong satu-satunya yang membangkitkan perubahan dan kemajuan kolektif. Dan itu sama sekali bukan wishful thinking (berangan-angan) karena Rasulullah saw dan para khalifah setelahnya pernah meneladankan pada kita, dan itu nyata!” pungkasnya. [] Irianti Aminatun.
“Kemerdekaan bagi seorang muslim dimulai dari kemerdekaan pemikirannya. Deklarasi kemerdekaan seorang muslim adalah ketika dia bersyahadat. Dia meniadakan segala bentuk sesembahan, kecuali hanya menyembah Dzat Yang Maha Menciptakan,” tuturnya kepada Tinta Media, Kamis (17/8/2023).
Putra sulung mantan Ketua MPR-RI Amien Rais itu melanjutkan, men-declare pertama kali dengan kata "laa" ("tidak") ketika mengucap "laa ilaaha" adalah komitmen untuk menolak segala bentuk rupa kuasa manusia atas manusia.
“Cukup Sang Pencipta yang berhak berkuasa dan mengatur hidup manusia. Syahadat menjadi komitmen kemerdekaan kita semua untuk lepas dari segala bentuk penjajahan pemikiran, penjajahan manusia atas manusia, penjajahan kapital, sekaligus juga penjajahan nafsu atas akal,” imbuhnya.
Ia berharap, Indonesia yang mengakui Ketuhanan Yang Maha Esa sudah semestinya menegakkan komitmen di atas untuk menjadi negara yang merdeka seperti Yang Maha Esa inginkan dalam deklarasi syahadat tersebut tadi. “Jika tidak, maka kita belum pantas disebut merdeka, kita masih tetap terjajah. Merdeka itu sejak dari pikiran!” tandasnya.
Salah Sejak Awal
Hanafi menilai, Indonesia masih terjajah karena pemikirannya salah sejak dari semula. “Begitu kita mengakui Ketuhanan Yang Maha Esa, ketika kita sudah bersyahadat, maka segala bentuk turunan dari keyakinan dan pengakuan itu mestinya mewujud dan mengikat dalam kebijakan negara, perbuatan para pembuat kebijakannya, dan sikap masyarakatnya,” paparnya.
Negara yang mengakui Tuhan tapi menjalankannya dengan cara dan aturan yang bukan dari Yang Maha Benar, nilainya, maka memunculkan kekacauan demi kekacauan.
“Yang lebih gawat adalah ketika kita tidak lagi sadar bahwa kita ini sedang terjajah karena merasa manfaat yang dinikmatinya sekarang lebih baik daripada jaman nenek moyang kita. Ini adalah buah hegemoni pemikiran utilitarianisme. Yang dilihat hanya manfaatnya saja. Pemikiran semacam ini konsekuensi dari akidah yang memisahkan urusan rakyat, urusan negara, urusan umum dari agama atau ranah Tuhan (sekulerisme),” urainya.
Bertanya
Dalam pandangan Hanafi, untuk mencapai kemerdekaan hakiki, seluruh elemen negara dari elit politik, tentara, hingga level massa wajib kembali bertanya dan merekonstruksi pemahaman tentang makna syahadat dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa karena ini jadi pondasi kebangkitan umat dan bangsa.
“Mayoritas kita percaya Tuhan tapi kok terjajah, tapi kok tidak maju, tapi kok terbelakang? Maka jawabannya satu, kita bisa jadi sekedar percaya saja, tapi belum menjadikan Yang Maha Benar ini menjadi energi pendorong satu-satunya yang membangkitkan perubahan dan kemajuan kolektif. Dan itu sama sekali bukan wishful thinking (berangan-angan) karena Rasulullah saw dan para khalifah setelahnya pernah meneladankan pada kita, dan itu nyata!” pungkasnya. [] Irianti Aminatun.