Tinta Media - Menyoroti orang-orang yang berlaku curang, Ulama Aswaja KH. Rokhmat S. Labib menuturkan bahwa pada hari kiamat nanti, mereka akan berdiri di hadapan Tuhan pencipta semesta alam untuk menunggu diadili.
“Manusia pada saat itu berdiri di hadapan Allah Swt. menunggu diadili secara langsung. Tidak ada penerjemah antara hamba dengan Allah SWT,” ujarnya dalam kajian Tafsir Al-Wa’ie : Perhatikan! Pasti Kelak Kita akan Berhadapan Dengan Rabb Semesta Alam! Di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn, Rabu (9/08/2023).
Hal tersebut disampaikan ketika menjelaskan ayat 6 pada surat Al-Muthaffifin, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam.
"Ini lebih menunjukkan keagungan lagi. Ia berhadapan dengan Hakim yang tidak bisa diajak kerjasama, Hakim yang tidak bisa diajak kompromi, Hakim yang tidak bisa diajak damai. Ia berhadapan dengan Allah. Coba bayangkan, apa tidak menakutkan?" ajaknya.
Kiai Labib melanjutkan, penjelasannya bahwa berdiri dihadapan Rabbil alamin untuk mempertanggungjawabkan apa yang dikerjakan ini merupakan sebuah ancaman besar, karena manusia akan berhadapan dengan Rabb.
"Rabb disini bisa bermakna Khaliq (pencipta), bisa juga bermakna Malik (pemilik atau raja). Pemilik tidak hanya satu bangsa tetapi semua bangsa tertentu. Dan manusia tidak akan bisa lolos di akhirat," tandasnya.
Ada satu penjelasan dari al-Kasysyaf karya al-Zamakhsyari, lanjutnya, bahwa ini menunjukkan ancaman yang keras. "Mereka dibangkitkan hingga membuat merasa ketakutan karena harus mempertanggungjawabkan apa yang dia kerjakan,” terangnya.
Pada ayat 6 diatas, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam, sambung Kiai Labib, ayat ini merupakan kelanjutan dari ayat pertama, kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang. "Ini berbicara tentang ancaman keras kepada orang yang berbuat curang dalam seputar takaran dan timbangan. Ketika meminta takar pada orang lain dia minta lebih, tetapi begitu dia menakar atau menimbang untuk orang lain dia mengurangi jumlahnya," jelasnya.
Ini, sambungnya, seolah-olah hanya untuk para pedagang yang biasa menakar atau menimbang.
"Tetapi kalau kita lihat sekarang ini sebenarnya muamalah seperti itu banyak contohnya. Misalnya seorang pemborong ketika dia memborong pekerjaan rumah, lalu dia mengurangi takaran pasir dan semennya. Demikian juga misalnya pembuatan jalan yang dikurangi ketebalan aspalnya. Juga orang membeli satu kilo nyatanya yang diberikan satu kilo kurang atau satu liter ternyata yang diberikan satu liter kurang," ucapnya mencontohkan.
Intinya, ia melanjutkan, kalau dilihat, itu ada tindakan-tindakan yang sebenarnya mengurangi hak orang lain tidak sesuai dengan apa yang disepakati.
"Dalam bahasa Arab, muthaffif itu secara bahasa dari kata thafif artinya barang yang sedikit, barang yang remeh. Muthaffif itu orang yang mengambil sedikit, yang remeh. Bahkan karena saking sedikitnya sehingga tidak mudah diketahui oleh orang lain. Jadi kalau orang mengurangi timbangan tentu sangat sedikit. Kalau terlalu banyak tentulah konsumennya akan protes dan tidak akan mau,” imbuhnya.
Selanjutnya dikatakan, muamalah yang curang seperti itu Allah memberikan ancaman sangat keras berupa kalimat wailul lil-muá¹haffifÄ«n.
"Wail itu ungkapan untuk menunjukkan doa keburukan. Tetapi dalam konteks Al-Qur’an, yang dimaksud adalah ancaman yang keras yaitu neraka. Berarti tidak lain dia diancam untuk mendapatkan siksa yang sangat pedih,” paparnya.
Dua Makna
Kiai Labib meberangkan, pada ayat sebelumnya yakni ayat 4 dikatakan, tidaklah orang-orang itu menyangka bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan.
"Dalam ayat ini kata yadhunnu (menyangka) yang asalnya dari kata dhanna, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Faris dalam kitab Maqayis al-Lughah, adalah kata yang menunjukkan dua makna yang berbeda," terangnya.
Makna pertama itu, ucapnya, artinya yakin, yang kedua maknanya syak atau ragu. Kemudian diantara ulama memberikan dua makna itu. Makna pertama, apakah mereka tidak yakin bahwa mereka akan dibangkitkan? Atau bisa juga makna yang kedua, apakah mereka tidak menyangka bahwa mereka akan dibangkitkan? Kedua-duanya ada kemungkinan.
“Maka ayat ini merupakan ancaman tambahan ketika berbuat curang meski mungkin lolos di dunia. Tetapi kamu tidak akan lolos di akhirat. Kamu pasti akan dihidupkan kembali untuk menerima balasan atas apa yang kamu kerjakan,” pungkasnya. []Langgeng Hidayat
“Manusia pada saat itu berdiri di hadapan Allah Swt. menunggu diadili secara langsung. Tidak ada penerjemah antara hamba dengan Allah SWT,” ujarnya dalam kajian Tafsir Al-Wa’ie : Perhatikan! Pasti Kelak Kita akan Berhadapan Dengan Rabb Semesta Alam! Di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn, Rabu (9/08/2023).
Hal tersebut disampaikan ketika menjelaskan ayat 6 pada surat Al-Muthaffifin, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam.
"Ini lebih menunjukkan keagungan lagi. Ia berhadapan dengan Hakim yang tidak bisa diajak kerjasama, Hakim yang tidak bisa diajak kompromi, Hakim yang tidak bisa diajak damai. Ia berhadapan dengan Allah. Coba bayangkan, apa tidak menakutkan?" ajaknya.
Kiai Labib melanjutkan, penjelasannya bahwa berdiri dihadapan Rabbil alamin untuk mempertanggungjawabkan apa yang dikerjakan ini merupakan sebuah ancaman besar, karena manusia akan berhadapan dengan Rabb.
"Rabb disini bisa bermakna Khaliq (pencipta), bisa juga bermakna Malik (pemilik atau raja). Pemilik tidak hanya satu bangsa tetapi semua bangsa tertentu. Dan manusia tidak akan bisa lolos di akhirat," tandasnya.
Ada satu penjelasan dari al-Kasysyaf karya al-Zamakhsyari, lanjutnya, bahwa ini menunjukkan ancaman yang keras. "Mereka dibangkitkan hingga membuat merasa ketakutan karena harus mempertanggungjawabkan apa yang dia kerjakan,” terangnya.
Pada ayat 6 diatas, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam, sambung Kiai Labib, ayat ini merupakan kelanjutan dari ayat pertama, kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang. "Ini berbicara tentang ancaman keras kepada orang yang berbuat curang dalam seputar takaran dan timbangan. Ketika meminta takar pada orang lain dia minta lebih, tetapi begitu dia menakar atau menimbang untuk orang lain dia mengurangi jumlahnya," jelasnya.
Ini, sambungnya, seolah-olah hanya untuk para pedagang yang biasa menakar atau menimbang.
"Tetapi kalau kita lihat sekarang ini sebenarnya muamalah seperti itu banyak contohnya. Misalnya seorang pemborong ketika dia memborong pekerjaan rumah, lalu dia mengurangi takaran pasir dan semennya. Demikian juga misalnya pembuatan jalan yang dikurangi ketebalan aspalnya. Juga orang membeli satu kilo nyatanya yang diberikan satu kilo kurang atau satu liter ternyata yang diberikan satu liter kurang," ucapnya mencontohkan.
Intinya, ia melanjutkan, kalau dilihat, itu ada tindakan-tindakan yang sebenarnya mengurangi hak orang lain tidak sesuai dengan apa yang disepakati.
"Dalam bahasa Arab, muthaffif itu secara bahasa dari kata thafif artinya barang yang sedikit, barang yang remeh. Muthaffif itu orang yang mengambil sedikit, yang remeh. Bahkan karena saking sedikitnya sehingga tidak mudah diketahui oleh orang lain. Jadi kalau orang mengurangi timbangan tentu sangat sedikit. Kalau terlalu banyak tentulah konsumennya akan protes dan tidak akan mau,” imbuhnya.
Selanjutnya dikatakan, muamalah yang curang seperti itu Allah memberikan ancaman sangat keras berupa kalimat wailul lil-muá¹haffifÄ«n.
"Wail itu ungkapan untuk menunjukkan doa keburukan. Tetapi dalam konteks Al-Qur’an, yang dimaksud adalah ancaman yang keras yaitu neraka. Berarti tidak lain dia diancam untuk mendapatkan siksa yang sangat pedih,” paparnya.
Dua Makna
Kiai Labib meberangkan, pada ayat sebelumnya yakni ayat 4 dikatakan, tidaklah orang-orang itu menyangka bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan.
"Dalam ayat ini kata yadhunnu (menyangka) yang asalnya dari kata dhanna, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Faris dalam kitab Maqayis al-Lughah, adalah kata yang menunjukkan dua makna yang berbeda," terangnya.
Makna pertama itu, ucapnya, artinya yakin, yang kedua maknanya syak atau ragu. Kemudian diantara ulama memberikan dua makna itu. Makna pertama, apakah mereka tidak yakin bahwa mereka akan dibangkitkan? Atau bisa juga makna yang kedua, apakah mereka tidak menyangka bahwa mereka akan dibangkitkan? Kedua-duanya ada kemungkinan.
“Maka ayat ini merupakan ancaman tambahan ketika berbuat curang meski mungkin lolos di dunia. Tetapi kamu tidak akan lolos di akhirat. Kamu pasti akan dihidupkan kembali untuk menerima balasan atas apa yang kamu kerjakan,” pungkasnya. []Langgeng Hidayat